Konten dari Pengguna

GMNI dan Pencarian Format Kaderisasi

Aji Cahyono
Mahasiswa Master Kajian Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Awardee Research Megawati Fellowship Program
19 Mei 2023 14:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aji Cahyono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Puluhan mahasiswa yang tergabung sebagai aktivis GMNI PC Malang melakukan aksi di depan kantor DPRD Kota Malang. kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Puluhan mahasiswa yang tergabung sebagai aktivis GMNI PC Malang melakukan aksi di depan kantor DPRD Kota Malang. kumparan.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bagi kalangan aktivisme mahasiswa Indonesia maupun alumni dari organisasi kemahasiswaan, pasti tidaklah asing mendengar nama ‘Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia’ (GMNI). Organisasi yang di deklarasikan pendiriannya 23 Maret 1954, Kongres I di Balai Pemuda, Surabaya. Awal mula lahirnya GMNI merupakan fusi dari tiga organisasi, yakni Pertama, Gerakan Mahasiswa Marhaen yang berbasis di Yogyakarta. Kedua, Gerakan Mahasiswa Merdeka berbasis di Surabaya. Ketiga, Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia berbasis di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, sejauh penelusuran penulis, organisasi GMNI telah melahirkan beberapa tokoh. Baik dalam skala lokal, kedaerahan, nasional hingga internasional. Ada yang menjadi seorang ideolog, akademisi, tokoh politik, lawyer, birokrat, hingga seorang pengacara hingga berjuang dalam aktivisme sosial yang tersebar dimana-mana.
Sederet tokoh Alumni GMNI, misalnya dari tokoh Politik yakni Megawati Soekarnoputri, Hasto Kristiyanto, Ahmad Basarah, Bambang Wuryanto, Aria Bima, Sirmadji, Eva Kusuma Sundari, Dwi Rio Sambodo, dll merupakan tokoh politik dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Dari Golkar, misalnya yakni Theo L. Sambuaga, Palar Batubara, Ganjar Razuni, dll.
Begitupun juga ada yang pernah menjabat sebagai Gubernur, Misalnya Soekarwo, Frans Lebu Raya, Ganjar Pranowo, Awang Faroek, Sinyo Harry Sarundajang, dan tak dapat disebutkan satu persatu hingga kepala daerah tingkat II dan anggota legislatif higgga skala Nasional, Daerah tingkat I hingga tingkat II. Hingga ada yang menjadi akademisi hingga peneliti, misalnya Karyono Wibowo, Darmansjah Djumala, Ikrar Nusa Bhakti, dll. Dan tak bisa disebutkan satu persatu.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, dengan keberhasilan kader dalam proses distribusi di lahan pengabdian hingga menjadi tokoh, yang menjadi kunci adalah kaderisasi sebagai platform penggemblengan. Meskipun penulis dalam hal ini jarang/minim pengalaman mengisi ruang – ruang kaderisasi. Berdasarkan pengamatan penulis, Penggemblengan dalam arti yakni bagaimana mencetak kader yang mampu menghadapi globalisasi dan tantangan zaman. Kaderisasi tidak hanya sekedar ceremony yang bersifat formal, melainkan yakni informal dan non-formal yang berkelanjutan.

GMNI, Mau dibawa Kemana ?

Abad ke -21, tersiar beberapa kabar di sosial media, bahwa mahasiswa saat ini enggan atau kurang tertarik masuk kedalam organisasi ekstra mahasiswa, karena globalisasi dan banjirnya informasi yang menjadikan pemikiran yang serba instan, opportunisme - individualistik, hingga kultur toxic senioritas yang feodalistik. Meskipun tesis atau pernyataan diatas belum tentu benar atau salah, jika perlu ada saran atau kritik sebagai sebuah tradisi intelektual atau moralitas bagi kader GMNI. Menawarkan ide atau gagasan, bisa perlu terjadi adanya perdebatan ilmiah akademis, meskipun mendekati, baik konstruktif dan paradigmatik, bukan judge dengan fanatisme buta.
ADVERTISEMENT
Lantas, GMNI sebagai organisasi ekstra mahasiswa, bagaimana mampu menterjemahkan fenomena seperti itu ? tentunya harus diwaspadai dan deteksi dini bagi kalangan anggota, kader maupun alumni yang pernah berproses di GMNI. Pertama, evaluasi dini baik dalam skala komisariat, cabang, daerah hingga pusat. Bukan berarti bahasa ‘evaluasi’ itu negatif, melainkan merupakan sebagai upaya konstruktif organisasi. Ya meskipun sah-sah saja tidak dilakukan secara formal-kolektif, melainkan evaluasi individu anggota maupun kader secara non-formil. Kedua, memberikan kontribusi kepada masyarakat dengan menciptakan ide dan gagasan secara teoritis, kemudian dilaksanakan secara implementatif – praksis, untuk mematahkan persepsi negatif terhadap mahasiswa yang apatis terhadap organisasi eksternal mahasiswa. Karena dengan organisasi ekstra mahasiswa, pendalaman ilmu secara interdisipliner, multidisipliner, hingga transdisipliner, tidak terjebak pada dikotomis akademik.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, GMNI dihadapkan pada ujian yang serius, bahkan diksi ‘gotong royong’, yang sering di gaungkan oleh anggota dan kader, masih menjadi perdebatan untuk mencari format definisi ‘kolektif – kolegial’ maupun ‘gotong royong’ yang belum definitif. Obrolan tentang diksi ‘gotong royong’ dalam diskusi dan indoktrinasi kaderisasi dalam organisasi, namun masih minim secara praktik. Masih dijumpai banyaknya ketimpangan-ketimpangan antar anggota maupun kader. Fenomena vis a vis antar kader, jangan sampai mendestruksi organisasi hingga keberperanannya.
Mengutip dari Euforia, Reformasi dan Revolusi: Pergulatan Ideologi dalam Kehidupan Berbangsa (Soenarto HM, 2003), Hinu Endro Sayono, dalam kata pengantar dari buku tersebut, mengatakan bahwa Perjalanan bangsa Indonesia dalam mencapai cita – citanya diwarnai oleh romantika, dinamika dan dialektika. Dalam hal ini, menurutnya menggunakan konsep merdeka adalah melaksanakan Marhaenisme sebagai azaz perjuangan, serta merumuskan konsep perjuangan non – kooperatif (yang dimaksud yakni kolonialisme dan imperialisme), radikalisme (yang dimaksud yakni memberantas secara radikal hal yang negatif dan merugikan bagi bangsa dan Negara), self help dan self reliance. Oleh karena itu, kemerdekaan dapat diperoleh dari terbebas dari pengungkungan, penindasan, pemiskinan, pembodohan, dan penyengsaraan. Konsep merdeka harus dilaksanakan dengan cara ber-gotong royong secara kolektif, untuk kesejahteraan bersama secara kolektif dan meluas, tanpa terkecuali.
ADVERTISEMENT

Pencarian Format Baru Kaderisasi, Inventarisasi dan Distribusi

Sederet tokoh sekaliber yang disebutkan pada awal tulisan ini, saya meyakini bahwa keberhasilan sebuah tokoh tersebut tuntas dalam berkaderisasi, meskipun saya rasa perlu masukkan masukkan untuk memperkaya sudut pandang. Dalam hal ini, tentu menjadi pertanyaan tersendiri bagi penulis maupun kader di seluruh Indonesia, bagaimana merumuskan format kaderisasi yang ideal ? kok bisa ya ? Pada jenjang kaderisasi, di GMNI ada Pekan Penerimaan Anggota Baru (PPAB), Kaderisasi Tingkat Dasar (KTD), Kaderisasi Tingkat Menengah (KTM), hingga Kaderisasi Tingkat Pelopor (KTP). Terus bagaimana standarisasi dan pemerataan kaderisasi ?
Saya menduga bahwa terjadi dilematisasi bagi anggota maupun kader, ada yang semangat berorganisasi karena memberikan kebermanfaatan bagi individu maupu kelompok, baik skala kecil maupun besar. Begitupun sebaliknya, ada yang kendor atau ogah-ogahan dalam berorganisasi, karena tidak mendapatkan feeling atau kebermanfaatan bagi individu maupun kelompok. Tentu harus di diskusikan maupun di dialogkan dengan baik. Tentu sangat beragam studi kasusnya.
ADVERTISEMENT
Contohnya, yakni persoalan kaderisasi formal (baik pengkaderan PPAB, KTD, KTM hingga KTP). Pertama, format kurikulum kaderisasi, bagaimana memetakan materi wajib (dalam rangka pemerataan dan bahan bacaan dengan sumber terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan) dan materi lokal (sesuai dengan kultur dan kebutuhan lokalitas). Kedua, klasifikasi dan standarisasi narasumber. Studi kasusnya, masih banyak menjumpai komisariat lama (atau dikenal sebagai komisariat historis) yang mempunyai jejaring menyelenggarakan PPAB atau KTD dengan mengundang pemateri dengan sekelas KTP, begitupun komisariat baru yang terbentuk, belum tentu dapat mengundang narasumber berkelas KTP. Yang dikhawatirkan adalah terjadi segregasi atau ketimpangan dalam kaderisasi. Dan masih banyak studi kasus yang dapat di ulas.
Begitupun juga pentingnya inventarisasi anggota dengan cara tertib administrasi, untuk melakukan pemetaan dan kualitas kemampuan kader pada bidangnya di setiap komisariat, cabang, daerah hingga pusat. Peningkatan kualitas kaderisasi tidak hanya di pengkaderan formal, melainkan informal dan non-formal yang berkelanjutan, melakukan monitoring dan evaluasi (monev). Re-generasi pengabdian yang sesungguhnya, biar akurasi dalam kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan sosial diantara para anggota maupun kader, penjaringan kolektif dan meluas, jika dipandang perlu.
ADVERTISEMENT