Konten dari Pengguna

Menakar Begal Konstitusi dan Politik Karbitan Jelang Pilpres 2024

Aji Cahyono
Mahasiswa Master Kajian Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Awardee Research Megawati Fellowship Program
31 Oktober 2023 16:40 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aji Cahyono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di pengujung kepemimpinan Presiden Jokowi yang akan berakhir pada tahun 2024, marak bermunculan kejutan politik menjelang pesta demokrasi. Mungkin bisa dikatakan di luar nalar.
ADVERTISEMENT
Beragam spekulasi maupun prediksi dari kalangan akademisi, pengamat politik, maupun saya—yang hobinya hanya ngopi karena gabut—dibuat takjub hingga bingung.
Menurut saya, mungkin saja ada hidden agenda (agenda tersembunyi) di balik pemilihan umum (pemilu) 2024. Salah satunya barangkali adalah mengenai pemilihan presiden (pilpres) yang sulit dicermati oleh publik maupun elite politik yang akan berkontestasi.
Terutama yang mengejutkan adalah fenomena perbedaan pendapat di antara hakim Mahkamah Konstitusi (MK) soal putusan Undang-Undang nomor 17 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU. No.7/2017 tentang Pemilu) Pasal 169 huruf q yang mengatur batas usia pencalonan presiden-wakil presiden sekurang-kurangnya 40 tahun.
Tepat pada Senin, 16 Oktober 2023 lalu, di Gedung MK, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, MK menyelenggarakan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) sebanyak empat kali dan membacakan enam putusan perkara yang terdaftar dan tercatat.
ADVERTISEMENT
Di antara putusan dengan delik pasal yang sama, dengan poin gugatan yang hampir sama oleh penggugat, secara umumnya, memberikan ruang bagi anak muda berpolitik, terutama dalam kontestasi pemilu presiden-wakil presiden.
Melalui Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, gugatan dengan nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, 55/PUU-XXI/2023, amar putusan menyatakan penolakan permohonan pemohon untuk keseluruhan. Meskipun terdapat dua hakim menyatakan dissenting opinion (pendapat berbeda), yakni Suhartoyo dan M. Guntur Hamzah.
Gugatan dengan nomor 91/PUU-XXI/2023 dan 92/PUU-XXI/2023, amar putusan di antara dua nomor gugatan tersebut, menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima. Sedangkan, nomor 90/PUU-XXI/2023, oleh penggugat bernama Almas Tsaqibbirru Re A, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta, amar putusan "mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian".
ADVERTISEMENT
Putusan tersebut menimbulkan gejolak, baik di antara para hakim anggota maupun ruang publik. Misalnya, dua hakim menyatakan alasan berbeda (concurring opinion), di antaranya Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Kemudian empat hakim yang lain menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion), di antaranya dari mereka yakni Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, Saldi Isra, dan Suhartoyo.
Dalam keterangan tersebut, Hakim Ketua Anwar Usman membacakan, bahwa keterangan pasal 169 huruf q, tentang batas usia capres-cawapres sekurang kurangnya berusia 40, mendalilkan "bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat".
Ia kemudian membacakan dalil putusan yang selengkapnya berbunyi "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah".
ADVERTISEMENT
Alasan paling mendasar yang diajukan oleh pemohon yakni karena adanya diskriminasi umur atau ageisme, kepala daerah yang berpotensial, hukum dipandang sebagai sarana menjamin perlindungan terhadap hak warga negara, serta yang menduduki kepala daerah terpilih dan teruji berpengalaman baik skala rovinsi maupun kabupaten/kota.
Pemohon mengakui dirinya sebagai pengagum dari Wali Kota Surakarta pada periode tahun 2020-2025 yaitu Gibran Rakabuming Raka, di mana sejak Gibran menjabat, pertumbuhan ekonomi di Surakarta meningkat 6,25 persen dari yang awal saat menjabat wali kota pertumbuhan ekonomi minus 1,74 persen.
Berdasarkan delik tersebut menyebutkan bahwa pemohon bernama Almas Tsaqibbirru Re A, kagum terhadap pemerintahan Gibran karena pertumbuhan ekonomi kota Surakarta, meningkat. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Surakarta tahun 2023, sebesar Rp 2,1 triliun.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Kementerian Keuangan melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Surakarta, alokasi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), wilayah Kota Surakarta sebesar Rp 2,98 triliun, termasuk alokasi dana Transfer Keuangan Daerah sebesar Rp 238 miliar.
Sebagai putra sulung Presiden Jokowi, tentu sangat diuntungkan, karena kebanjiran proyek dari pusat di kawasan Kota Surakarta (dikenal sebagai Kota Solo). Pembangunan infrastruktur secara masif, tentu membantu peningkatan ekonomi secara signifikan, dengan kota yang luasnya berkisar 44 kilometer persegi.
ADVERTISEMENT

Quo Vadis Putusan MK

Ilustrasi ruangan Mahkamah Konstitusi. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Per tanggal 23 Oktober 2023, MK kembali menggelar sidang putusan atas gugatan uji materiil Pasal 169 huruf q UU No. 7/2017. Gugatan dengan nomor perkara 107/PUU-XXI/2023, delik usulan ditambah "batas capres/cawapres maksimal berusia 70 tahun".
Kemudian di hari yang sama, nomor perkara 104/PUU-XXI/2023, pengusulan pemohon "orang yang sudah dua kali maju capres, tidak diperkenankan maju".
Kemudian perkara 102/PUU-XXI/2023, batas usia maksimal capres 70 tahun serta tidak pernah cedera karena terlibat pelanggaran HAM. Perkara nomor 96/PUU-XXI/2023, agar syarat usia capres-cawapres diturunkan menjadi 25 tahun. Perkara nomor 93/PUU-XXI/2023 meminta usia cawapres minimal berusia 21 tahun.
Di antara kelima putusan tersebut, sidang yang dipimpin oleh Ketua Hakim MK, menyatakan bahwa permohonan menyatakan “permohonan pemohon sepanjang pengujian norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tidak dapat diterima”, karena telah kehilangan objek.
ADVERTISEMENT
Setelah mengabulkan putusan 90/PUU-XXI/2023, hingga pantauan saya per tanggal 29 Oktober 2023, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 tentang tentang Pencalonan Pilpres, masih belum diubah.
Meskipun demikian, bahwa pasangan bacapres-bacawapres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, mendaftarkan diri ke Gedung KPU, Rabu (25/10/2023).
Berdasarkan pernyataan Komisioner KPU RI, Idham Holik, bahwa Putusan MK sudah berkekuatan hukum, erga omnes (berlaku terhadap semua hal terkait). Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari berpendapat bahwa jika proses revisi belum selesai hingga 13 November 2023, status Gibran masih tetap yakni sebagai cawapres.
Banjirnya gugatan yang dilayangkan pemohon terhadap putusan MK soal uji materiil batas pendaftaran capres-cawapres, menciptakan perdebatan pro dan kontra seiring dengan pendapat yang beragam.
ADVERTISEMENT
Namun, sejauh penelusuran saya, kalangan akademisi hingga praktisi mengkritik hingga merasa aneh terhadap putusan tersebut. Misalnya, pakar hukum dan politik UGM, Zainal Arifin Mochtar, dalam diskusi Election Corner bertajuk “MKDK: Mau ke Mana Demokrasi Kita” pada Kamis (19/10/2023). Ia merasa ada kejanggalan dalam putusan.
Pasalnya, gugatan sebelumnya ditolak, namun gugatan yang baru masuk tanggal 12 September, dengan Nomor. 90/PUU-XXI/2023, langsung diterima.
Meskipun putusan tersebut berdampak pada reputasi MK dan Hukum Indonesia, Sukri Tamma pakar hukum Universitas Hassanuddin, dibuat bingung dengan kondisi demokrasi, pasca disahkannya putusan tersebut.
Pasalnya, dalam sebuah sistem demokrasi membutuhkan hukum untuk memberikan batasan, serta menghindari adanya dominasi satu pihak saja, yang dapat mempengaruhi pihak lainnya.
ADVERTISEMENT
Hal janggal terdapat pada hakim MK tersendiri, yang beredar di media massa, yakni Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Sedangkan pernyataan Arief Hidayat, "Ada indikasi pertanyaan apakah Indonesia saat ini sedang baik-baik saja atau tidak? Saya mengatakan di berbagai sektor kehidupan bangsa Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Oleh karena itu harus hati-hati betul," kata Arief dalam acara Konferensi Hukum Nasional di Jakarta Pusat, Rabu (25/10/2023). Menurutnya, saat ini, lembaga yang saat ini bertugas, mengalami prahara.
Mantan Hakim Konstitusi, I Dewa Gede Palguna, dalam diskusi Eksaminasi Publik Putusan MK diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UGM, menanggapi bahwa putusan tersebut merupakan open legal policy (wewenang pembuat UU, bukan kewenangan MK). Selain itu, legal standing pemohon tidak diuraikan secara gamblang dalam pertimbangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Berkaca pada peristiwa tersebut, maka dibentuklah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), mengacu pada Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023, tentang MKMK.
MKMK dibentuk oleh MK dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluruhan dan martabat. Selain itu MKMK bertugas untuk mengawasi kode etik dan perilaku hakim konstitusi.
Secara resmi, MKMK dibentuk beranggotakan tiga orang, terdiri dari Jimly Asshiddiqie (unsur Tokoh Masyarakat), Wahiduddin Adams (unsur Hakim Konstitusi), dan Bintan R. Saragih (unsur akademisi berlatar belakang bidang hukum). Mereka resmi dilantik pada Selasa, 24 Oktober 2023 di Jakarta.
Ketua MKMK, Jimly Asshiddiqie merasa keheranan dengan kondisi MK saat ini. Dalam sidang perdana MKMK dengan agenda klarifikasi pelapor dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi, ia mengatakan fenomena ini belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia diseluruh dunia, di mana semua hakim dilaporkan pelanggaran kode etik. Bahkan ironisnya, akal sehat dikalahkan dengan "akal bulus" (merebut kekuasaan) dan "akal fulus" (mencari kekayaan).
ADVERTISEMENT
Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Denny Indrayana, berharap pengumuman hasil sidang MKMK sebelum tanggal 8 November 2023.
Hal ini lantaran jika Gibran tak memenuhi syarat sebagai capres, maka Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung Prabowo sebagai capres, mempunyai space waktu untuk menggantinya, sebelum penetapan capres-cawapres pada 13 November 2023.

Menakar Begal Konstitusi dan Politik Karbitan

Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
Sejauh pengamatan saya sebagai penulis, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) melakukan proses recruitment keanggotaan hingga menjadi kader, melalui pembekalan kaderisasi. Sehingga output dan outcame kader diharapkan sudah siap penugasan ideologi maupun organsasi partai, baik secara fisik, mental, maupun pikiran untuk menjadi kepala daerah.
Sebagai kader yang menjadi petugas partai, harus siap dalam menjalankan amanat ideologi dan organisasi, selama tidak bertentangan dengan pembukaan UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Namun seolah sirna, publik digaduhkan dengan dugaan kuat manuver politik Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Surakarta yang masih aktif sebagai kader PDIP, memutuskan sebagai bacawapres Prabowo Subianto (Ketua Umum Partai Gerindra).
Meskipun demikian, berdasarkan kesepakatan musyawarah internal partai maupun koalisi partai, mereka bersepakat untuk mencalonkan Ganjar Pranowo-Mahfud MD sebagai bacapres-bacawapres. Hal tersebut menimbulkan spekulasi publik, apakah Gibran bermain dua kaki atau meninggalkan partai yang telah membesarkannya?
Jalan lain yang ditempuh oleh Gibran, mengundang kritik hingga protes di kalangan warga sipil. Meskipun, sebagai orang tua yang menjadi panutan bagi kalangan PDIP, Megawati Soekarnoputri, menginginkan anak-anaknya (baik itu anggota maupun kader partai) mewanti untuk silent, agar tidak terjadi kegaduhan di ruang publik.
ADVERTISEMENT
Namun seolah fenomena tersebut tak dapat dibendung, sejak kalangan warga sipil melancarkan kritiknya hingga protes. Misalnya tokoh budayawan Butet Kartaredjasa, sastrawan Goenawan Mohammad, hingga gerakan masyarakat sipil—terhadap dugaan putusan MK yang dipimpin oleh Anwar Usman (adik ipar Jokowi), yang memberikan peluang keponakannya, yakni Gibran.
Gelombang protes rakyat, menjadikan sejumlah tokoh elite di PDIP, bersuara atas fenomena tersebut. Misalnya, Hasto Kristiyanto (Sekjen PDIP) beserta jajarannya tidak percaya terhadap keputusan politik Gibran.
Adian Napitupulu mengungkapkan bahwa partainya tidak mendukung agenda atas usulan masa jabatan presiden tiga periode, karena taat dan patuh terhadap konstitusi yang telah menjadi konsesus bersama—karena PDIP sebagai partai pemenang, tidak ingin rakyat hilang kepercayaan terhadap partai berlambang banteng—dengan meng-iyakan usulan dari istana tersebut.
ADVERTISEMENT
Melalui pemberitaan media lain, kabar mengendung bahwa yang menginginkan penudaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden-wakil presiden tiga periode yakni sebagai berikut.
Pertama, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) jauh sebelum Kaesang Pangarep anak bungsu Presiden Jokowi menjadi Ketua Umum. Pernyataan disampaikan oleh Sekretaris Jendral, Dea Tunggaesti, yang menolak penundaan pemilu. Namun, ia mengusulkan untuk amandemen UUD dengan masa jabatan presiden berubah menjadi maksimal tiga periode.
Kedua, Partai Golkar, melalui pernyataan Ketua Umum Airlangga Hartanto, wacana perpanjangan masa jabatan presiden, berangkat dari aspirasi kalangan petani di Kabupaten Siak, Riau.
Ketiga, Partai Amanat Nasional (PAN), melalui pernyataan Zulkifli Hasan, mendukung penundaan pemilu. Misalnya karena dalam situasi pandemi, menjadikan kondisi ekonomi tidak stabil, hingga pembengkakan anggaran pemilu.
ADVERTISEMENT
Keempat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), melalui ketua umumnya Muhaimin Iskandar, mengacu pada analisis big data perbincangan media sosial. Dari 100 juta subjek akun, 60 persen mendukung penundaan pemilu dan 40 persen menolak.
Persaksian mata rantai menjadikan Gibran hingga rekayasa hukum di MK inilah—bagi saya—bisa disebut sebagai "begal konstutusi". Terkait hal itu, saya meminjam istilah dari Hakim Ketua MK, Arief Hidayat, bahwa sistem tata negara dan sistem bernegara sudah melenceng jauh dari UUD 1945.
Menurut dugaan saya, dugaan penyalahgunaan kekuasaan oleh Hakim MK Anwar Usman, merujuk pada UUD 1945 Pasal 24C ayat (5), hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Juga secara kode etik kehakiman, dugaan kuat Ketua Hakim MK Anwar Usman melakukan pelanggaran.
ADVERTISEMENT
Untuk menghindari conflict of interest (konflik kepentingan) yang menyangkut ketua hakim MK, seyogyanya bahwa UU No.17/2027 bersifat open legal policy, dikembalikan kepada pembuat UU, yakni lembaga legislatif, DPR RI.
Dirasa perlu untuk melakukan revisi, terhadap batas usia pencalonan capres-cawapres. Dalam hal ini, penggodokan uji materiil melalui rancangan undang-undang (RUU) terhadap revisi UU, melalui mekanisme Rapat Dengan Pendapat (RDP) di khalayak publik.
Mengapa demikian? Karena jika memberikan penyegaran bagi anak muda untuk berkontestasi melalui pilpres, maka selayaknya anak muda berpendapat atas rumusan UU tersebut.
Karena yang pasti, jika batas usia capres-cawapres dapat diturunkan jauh sebelum pendaftaran pilpres, maka anak muda yang berkontestasi dapat mempersiapkan diri jauh-jauh hari, dengan segala keterbatasan privilege di lain sebagai anak presiden dan/atau pejabat elite lainnya.
ADVERTISEMENT
Fenomena Gibran yang diklaim sebagai representasi anak muda sebagai cawapres, bagi saya sebagai penulis adalah "politik karbitan". Apalagi ditambah dengan kehadiran sosok Kaesang Pangarep, yang sebelumnya tidak tertarik dengan politik.
Baru masuk sebagai keanggotaan PSI, 60 jam tanpa proses kaderisasi berjenjang, dideklarasikan sebagai Ketua Umum PSI—yang konon kabarnya representasi dari anak muda.
Meskipun demikian, dualisme pendapat muncul. Pertama, publik tidak kaget karena Kaesang merupakan anak presiden dengan segudang privilege yang dimilikinya. Kedua, keanehan Kaesang mak ujug-ujug menjadi anggota PSI, hanya butuh dua hari langsung jadi ketum PSI.
Tentu bagi saya sebagai penulis, "politik karbitan" secara tak sadar akan membunuh demokrasi secara perlahan. Karena mengutamakan penguatan tradisi dinasti politik tanpa proses integritas, kemampuan dan kapasitas intelektual.
ADVERTISEMENT
Menutup "kran anak muda" dengan segudang kemampuan tanpa privilege kekuasaan, dikalahkan dengan segudang privilege kekuasaan tanpa mempunyai integritas.