Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menakar Prospek Politik Luar Negeri Indonesia dalam Geopolitik Timur Tengah
11 Agustus 2024 12:00 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Aji Cahyono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dunia Arab & Persia/Dunia Islam (lebih familiar dikenal ‘Timur Tengah’, oleh akademisi Barat/Orientalis)— ditinjau dari sejarah panjang peradaban, melahirkan pemikir Islam yang berkontribusi bagi perkembangan dunia— tak hanya dunia Islam, melainkan bangsa Eropa pernah menikmati masa kejayaannya— saat dunia Islam mengalami perkembangan pesat.
ADVERTISEMENT
Pada masa Abbasiyah, kota Baghdad (saat ini menjadi ibukota Irak) menjadi pusat perdagangan sekaligus pergulatan pengembangan ilmu pengetahuan, yang melahirkan beberapa tokoh pemikir Islam, yang mampu berkontribusi dalam kontestasi ilmu pengetahuan— hingga tersebar dipenjuru dunia.
Beberapa tokoh pemikir Islam— misalnya al-Kindi (805 M-873 M) dikenal filsuf pertama kali didunia Islam atau Arab/ sebagai filsuf Arab pertama; Ibn Sina (980 M-1037 M) dikenal sebagai bapak kedokteran modern; Al-Ghazali (1058 M-1111 M) dikenal filsuf dan teolog muslim Persia, minat kajian pada tasawwuf; Ibn Rusyd (1126M-1198M) dikenal Aristotelianisme yang berminat bidang teologi, fikih, astronomi, fisika hingga kedokteran; hingga Ibn Khaldun (1332 M-1406 M) dikenal sejarawan muslim minat pada sosiologi dan ekonomi.
Namun, masa kejayaan kawasan Timur Tengah—penuh dengan pergulatan pemikiran dan terciptanya ilmu pengetahun, mengalami pergeseran kearah konflik meluas, berkepanjangan dan tidak menentu kapan usainya. Situasi geopolitik Timur Tengah, akhir-akhir ini menjadi perbincangan dunia— yang mana, perkembangan kontemporer saat ini, masyarakat internasional dihebohkan dengan kematian pemimpin politik senior Hamas, Ismail Heniyeh, tewas terbunuh akibat ledakan bom, saat menginap di Wisma Tamu Negara Nehzat, Kota Teheran (31/7/2024). Begitupun kematian Komandan Tinggi Kelompok Militan Hizbullah, Fuad Shukr, tertembak rudal oleh serangan Israel di Beirut Selatan, Lebanon (30/7/2024).
ADVERTISEMENT
Tak dapat dipungkiri, sejak kemunculan Israel sebagai negara nasional melalui deklarasi Balfour pada 1917— sebagai awal mula perseteruan konflik kawasan Timur Tengah hingga saat ini. Selain perseteruan antara Hamas-Israel, melainkan merembet perseteruan antara Israel dan Iran (meskipun tidak berbatasan secara langsung)— beserta proxy-nya. Sebelumnya, penyerangan Israel terhadap konsulat Iran di Damaskus, Suriah (1/4/2024)— termasuk dua jendral Iran meninggal dunia, Brigadir Jendral Mohammad Reza Zahedi dan Brigadir Jendral Mohammad Hadi Haji Rahimi.
Kematian dua jendral, menyebabkan Iran geram— dan menginginkan serangan balik terhadap Israel (14/4/2024) bertajuk Honest Promise (Operasi Janji Jujur) dengan menggunakan 170 pesawat nirawak, 30 rudal jelajah, dan 120 misil balistik— untuk menjaga kewibawaan sebagai negara yang berdaulat, tidak dapat diintervensi secara politik maupun ekonomi.
ADVERTISEMENT
Prediksi kekacauan kawasan Timur Tengah mengenai gelombang ketiga sebagai produk politik— diungkapkan Hooshang Amirahmadi, dalam artikel diterbitkan di The Cairo of Global Affairs, berjudul “Dark Geopolics of the Middle East” menakar gejolak Timur Tengah secara kontemporer menandai berkurangnya pengaruh Amerika diwilayah tersebut— serta terciptanya kekacauan politik yang meluas. Sebelumnya, gelombang pertama dimulai adanya kekaisaran Ottoman pasca Perang Dunia I. Sedangkan gelombang kedua pasca Perang Dunia II, melemahnya pengaruh kolonial dan kemunculan negara-bangsa bergerak kearah cita-cita nasional sebagai negara-bangsa yang merdeka.
Beberapa kemungkinan yang menandai adanya gelombang ketiga kekacauan kawasan Timur Tengah, yang disinggung oleh Amrahmadi, yakni: 1) failed state (negara gagal) melanda negara berkembang atau maju, yang terhimpit konflik kepentingan negara besar; 2) mempermalukan masyarakat yang mendiami; 3) anjloknya stabilitas perekonomian negara; 4) meningkatnya ketidaksetaraan dan pemiskinan masyarakat secara ekstrem; 5) kehancuran kawasan (seperti fasilitas dan lumpuhnya instrumen sistem kehidupan); 6) penjarahan sumber daya; 7) konflik secara geografis yang menjalar negara bersebelahan; 8) intervensi politik negara asing; 9) gerakan radikalisme yang masif.
ADVERTISEMENT
Beberapa contoh diatas, bisa jadi berdampak bagi perekonomian global— khususnya negara diluar kawasan Timur Tengah, yang menjalin hubungan baik dan intens— seperti Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani, pernah menyinggung tensi geopolitik (perseteruan Israel dengan negara Arab dan tetangga) berpotensi disrupsi tambahan rantai pasok— dan paling utama minyak dan gas, serta menyebabkan inflasi.
Tulisan Didik Prasetiyono, terbit di Jawa Pos (1/8/2024) bertajuk “Kematian Pemimpin Hamas dan Implikasinya bagi Indonesia” isi tulisan yang ditangkap penulis, ditengah ketidakpastian kawasan Timur Tengah penuh dengan konflik dan berimplikasi pada global dan menjadi peluang bagi Indonesia (sebagai negara yang aman, stabil dan damai)— dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, yang digadang sebagai ekosistem ekonomi dengan pertumbuhan yang meningkat.
ADVERTISEMENT
Didik juga menyinggung mengenai status ‘Indonesia’ sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB— berpeluang memerankan diplomasi bebas-aktif, sebagai ciri Politik Luar Negeri Indonesia— dalam pembukaan UUD ’45, dalam alinea keempat, berbunyi “Melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.’ Bagaimana dengan pemerintahan baru, Pasca Presiden Jokowi mendatang ?
Tantangan Pemerintahan Baru
Pesta demokrasi telah usai, saat Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) No.1/PHPU.PRES-XXII/2024 untuk pasangan calon (Paslon) 01 (Anies – Muhaimin) dan No.2/PHPU.PRES-XXII/2024 untuk paslon 03 (Ganjar-Mahfud), kedua gugatan tersebut ditolak secara keseluruhan. Hal tersebut menandakan era pemerintahan baru, yang akan dipimpin oleh Prabowo-Gibran, peserta Paslon 02 sebagai pemenang Pilpres, yang akan dilantik sebagai Presiden-Wakil Presiden pada 20 Oktober 2024 mendatang (PKPU No. 3 Tahun 2022).
ADVERTISEMENT
Tentunya, tantangan Prabowo dalam menjalankan politik luar negerinya— amat berat, untuk memulihkan reputasi politiknya. Framing publik menjalar berskala internasional, dalam catatan sejarah, Prabowo sebagai mantan jendral Koppassus, diduga terlibat dalam pelanggaran HAM— dan framing bahwa pemerintahan dipimpin oleh unsur militer, dikhawatirkan melemahnya demokratisasi dan bergeser kearah otoritarianisme (seperti era Orde Baru, Presiden Soeharto, yang semula jabatan terakhir Mayor Jendral).
Pesta demokrasi Pemilu 2024— yang memberikan kewenangan rakyat Indonesia dalam menentukan secara bebas dan sesuai hati nurani— memilih calon pemimpin, Prabowo-Gibran mampu menarik simpatik masyarakat melalui kampanye joged “gemoy” yang menarik perhatian pemilih— dalam versi KPU, memperoleh suara lebih 96 juta pemilih. Tentunya menjadi modal Prabowo untuk membersihkan framing publik atas tuduhan yang melekat pada dirinya— dengan mengembalikan kepercayaannya— tak hanya fokus masyarakat Indonesia, melainkan berskala internasional.
ADVERTISEMENT
Sebelum Pilpres 2024 digelar, Prabowo dalam pidatonya, saat diundang acara Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia (13/11/2023) di Jakarta, menyinggung mengenai arah Politik Luar Negeri Indonesia. Misalnya Prabowo sebagai Presiden, ia membawa gagasan mengenai politik tetangga baik (good neighbor) dan poitik bebas aktif non-blok (tidak memihak kekuatan blok manapun— yang saling merugikan). Entah siapapun yang menjabat sebagai Presiden, maka dalam prinsip kebijakan luar negeri Indonesia, berlandaskan pada Undang-Undang Hubungan Luar Negeri (UU Hublu) pasal 3 “Politik Luar Negeri menganut prinsip bebas aktif yang diabadikan untuk kepentingan nasional.”
Begitupun janjinya secara detail, tertuang dalam misi “politik luar negeri”, diantara 17 program, penulis menyinggung empat janji kampanye politik luar negeri 5 tahun mendatang, diantaranya Pertama, soal Indonesia berperan aktif dalam perdamaian dunia— melaui forum bilateral atau multilateral; Kedua, pemantapan supermasi dan kepemimpinan Indonesia berskala global, melalui pendekatan diplomasi yang bebas-aktif; Ketiga, memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatan Palestina, serta berinisiatif membuka Kedutaan di Palestina; Keempat, mengembalikan kewibawaan politik luar negeri Indonesia sebagai negara besar dan berdaulat, dimata internasional.
ADVERTISEMENT
Tantangan yang dihadapi oleh Prabowo saat ini adalah bagaimana memperkuat dalam negeri agar bangsa-negara tidak terpecah belah dan membangun kewibawaan bangsa, serta terlibat aktif dalam upaya komunikasi dengan negara-negara besar yang mempunyai pengaruh kawasan Timur Tengah— misalnya Amerika Serikat dan Tiongkok (Perang Dingin Kedua, yang sedang berseteru dan berkontestasi memberikan pengaruh dunia). Amerika Serikat lebih dominan membantu Israel melawan Palestina beserta aliansi yang mendukung— melalui pengiriman senjata, sedangkan Tiongkok sebagai aktor sekaligus tuan rumah, dalam Deklarasi Beijing untuk menyatukan perpecahan faksi di internal Palestina (seperti Hamas dan Fatah)— mencapai kesepakatan, serta membantu secara bertahap menuju kemerdekaan dan kedaulatan Palestina, secara de facto dan de jure.
Perbedaannya, mengapa Tiongkok lebih diperhitungkan dalam mediasi konflik internal Palestina daripada Indonesia? Pertama, Di Tiongkok, perpecahan politik dalam negeri— dapat direda dengan kesepakatan politik internal, mencegah adanya politik adu domba oleh pihak asing, meskipun intervensi kekuasaan lebih dominan dan mengarah pada otoritarianisme. Sedangkan di Indonesia, dinamika politik internal Indonesia lebih menguat, serta cenderung saling intrik antara kekuasaan dan oposisi tak berkesudahan, meskipun sistem bernegara cenderung mengedepankan mekanisme demokrasi. Kedua, mengenai ekonomi Tiongkok— telah merdeka, dan memberikan pengaruh berupa bantuan utang terhadap negara-negara yang berkembang. Sedangkan Indonesia, secara ekonomi belum berdikari— dan ketergantungan negara asing, untuk berinvestasi hingga utang untuk membiayai jalannya sebuah negara.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, pendapat penulis, langkah atau cara yang harus diperhitungkan Pemerintahan baru—dibawah kepemimpinan Prabowo-Gibran, diantaranya: Pertama, memperbaiki kondisi-kondisi dalam negeri— yang menyangkut kepentingan nasional, seperti halnya kemerdekaan dan kedaulatan penuh, pertahanan dan keamanan negara dan rakyatnya, kesejahteraan yang menyeluruh dan bersentuhan dengan kebutuhan rakyat, serta melestarikan identitas dan ideologi nasional;
Kedua, setelah poin pertama terpenuhi dan terlaksana— menyangkut hajat hidup keberlangsungan rakyat Indonesia, maka pentingnya kolaborasi antara rakyat dan negara— tidak mengenal untung-rugi, mengedepankan kesadaran kolektif untuk terlibat aktif dalam urusan politik luar negeri bebas-aktif, berprinsip pada internasionalisme/perikemaunisaan— dengan mengedepankan peaceful co-existence (hidup berdampingan secara damai), bukan competitive co-existence (hidup berdampingan secara kompetitif). Serta tidak mudah terintervensi oleh kekuatan dua blok besar secara politik dan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Kedua poin ini dapat terlaksana dengan baik dan sepenuhnya dengan keluhuran hati yang mendalam, baik pelaksana pemerintahan beserta rakyatnya, maka Indonesia— secara langsung dapat memberikan pengaruh besar dalam konstalasi politik internasional, terkhusus perjuangan bagi bangsa-negara yang belum mendapatkan haknya sebagai negara nasional yang merdeka dan berdaulat penuh. Pesan Bung Karno— bahwa perdamaian dan kesejahteraan dunia (Dibawah Bendera Revolusi Djilid I)— khususnya negara Timur Tengah diantaranya:
Pertama, bangsa merdeka tidak boleh diganggu— yang mengancam kedaulatan, serta usaha membangun negara dan masyarakat; Kedua, mengadakan hubungan persahabatan dengan semua bangsa dari berbagai ideologi (kecuali kolonialisme dan imperialisme beserta persifatannya). Prabowo sebagai Presiden, dapat mengingatkan kepada bangsa-negara untuk terlibat dalam upaya perdamaian dengan mengedepankan dialog atau perundingan, bukan penyelesaian dengan cara perang— penggunaan persenjataan canggih— yang tidak hanya memusnahkan manusia, melainkan ekosistem hingga peradaban manusia yang tak bersalah.
ADVERTISEMENT