Konten dari Pengguna
PDI-P Mencari Identitas
7 September 2025 15:09 WIB
·
waktu baca 9 menit
Kiriman Pengguna
PDI-P Mencari Identitas
PDI-P Mencari Identitas, dengan partai berumur 52 tahun lamanya, semula PDI menjadi PDI-P. Sebagai rumah nasionalis dan kendaraan elektoral paling efektif membawa ajaran Bung Karno.Aji Cahyono
Tulisan dari Aji Cahyono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
52 tahun lamanya, sejak kelahiran dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) metamorfosis menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) tahun 1990-an, ia membawa beban ganda: sebagai “rumah besar nasionalis” sekaligus kendaraan elektoral paling efektif membawa ajaran Bung Karno era demokrasi elektoral.
ADVERTISEMENT
Gagasan normatif diusung PDI-P mengafirmasi Pancasila 1 Juni 1945, Trisakti dan Marhaenisme yang digagas Bung Karno sebagai rujukan etik dan politik. Dalam gerakan praktik, ia menavigasi lanskap politik ditandai persaingan kandidat-presidensial, koalisi mencair, dan insentif pemilu serentak mendorong hampir semua partai—termasuk PDI-P bargaining secara pragmatis.
PDI-P dihadapkan ditengah-tengah dualitas karakter, apakah saling bertegangan ataupun menyesuaikan dengan kebutuhan lanskap politik: Pertama, idealisme-optimisme, keinginan untuk memutakhirkan ajaran Bung Karno melalui kebijakan pro-rakyat; Kedua, realisme-pragmatis, kalkulasi politik yang adaptif dalam membentuk pencarian identitas PDI-P pasca Pemilihan Umum (Pemilu) dan memasuki era pemerintahan Prabowo periode 2024-2029.
Tulisan ini berupaya menelaah lebih jauh dilema identitas PDI-P dalam kerangka tiga lensa: 1) fondasi ideologi partai; 2) insentif struktural demokrasi elektoral Indonesia dan teori partai modern; dan 3) dinamika pasca 2024, relasi dengan Presiden Joko Widodo, posisi terhadap pemerintahan, serta performa elektoral. Apalah memang keduanya (idealisme-optimis dan/atau realisme-pragmatis) jalan berkelindan, saling menguatkan, atau mereduksi dalam menentukan arah PDI-P lima tahun mendatang.
ADVERTISEMENT
Fondasi Ideologi
Beberapa dokumen fundamental PDI-P menempatkan Pancasila 1 Juni 1945 sebagai asas partai dan menegaskan partai sebagai alat perjuangan membentuk karakter bangsa; rujukan Trisakti (berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan) menjadi bingkai strategis.
Menariknya, marhaenisme sering ditautkan sebagai “ideologi” PDI-P sebagai sumber nilai yang menjiwai praksis sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi; bukan tertulis eksplisit sebagai ideologi resmi dalam AD/ART mutakhir. Meskipun marhaenisme ditempatkan sebagai kajian akademik dan internalisasi bagi kader PDI-P maupun sebagai pisau analisis dalam membaca AD/ART partai.
Secara diskursif, elit PDI-P—khususnya Megawati Soekarnoputri secara konsisten menautkan marhaenisme dengan agenda kedaulaan pangan dan industrialisasi berbasis rakyat, sembari meluruskan kesalahpahaman yang kerap mengonotasikan dengan komunisme. Narasi ini menempatkan PDI-P pada spektum ideologi-politik bercorak nasionalis-sekuler kiri-tengah dengan aksen perlindungan rakyat kecil (marhaen) dan pemberdayaan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Demikian, idealisme-optimis PDI-P berakar dari keyakinan bahwa nilai-nilai yang diajarkan Bung Karno dapat dikonkretkan melalui kebijakan pro-kesejahteraan, kedaulatan sumber daya, dan afirmasi identitas kebangsaan yang inklusif. Tantangannya, bagaimana mempertahankan identitas programatik ditengah logika elektoral mendorong kompromi cepat dan koalisi transaksional.
Tekanan Struktural
Beberapa literatur politik memberi kerangka untuk memahami pemahaman realisme-pragmatis. Otto Kirchheimer menyebut transformasi partai ke model catch-all: partai memperluas jangkauan pemilih, mengendorkan ikatan ideologis yang kaku, dan memaksimalkan perolehan suara melalui isu-isu populer. Dalam kondisi kompetisi yang ketat, partai menukar “kedalaman" ideologis dengan “jangkauan” elektoral.
Richard S.Katz dan Peter Mair dalam The Cartel Party Thesis: A Restatement, berargumen tentang cartel party: partai-partai mapan berkolusi dalam memanfaatkan sumber daya negara (subsidi, akses media, regulasi) untuk menekan kompetisi, membuat batas pemerintah-partai kian kabur, dan memprioritaskan keberlangsungan organisasi. Dalam konfigurasi ini, keberpihakan programatik kerap dinegosiasikan demi stabilitas koalisi dan akses sumber daya.
ADVERTISEMENT
Di negara demokrasi yang lekat dengan patronase seperti Indonesia, hubungan kandidat-pemilih seringkali bercorak klientelistik—pertukaran material selektif, jaringan perantara, dan mobilisasi berbasis personal. Herbert Kitschelt dalam Linkages Beween Citizens and Politicians in Democratic Polities, membedakan linkages programatik vs klientelistik, sementara studi tentang patronase di Indonesia memunjukkan kuatnya insentif praksis untuk “melakukan segalanya” (do-everything parties) memadukan retorika programatik dengan pembagian manfaat selektif demi kinerja elektoral.
Kerangka ini menjelaskan mengapa PDI-P (seperti partai besar lainnya) sering berada pada kontinum antara idealisme dan pragmatisme. Pada satu sisi, ia mengusung agenda kerakyatan dan kedaulatan. Sedangkan sisi lainnya ia menegosiasikan alokasi kabinet, koalisi parlemen, dan dukungan kepala daerah, bahkan ketika itu menuntut kompromi terhadap preferensi kebijakan awal.
ADVERTISEMENT
Pasca Pemilu 2024
Pemilu 2024 memaksa PDI-P melakukan introspeksi identitas. Secara elektoral, PDI-P tetap menjadi pemenang pemilihan legislatif (Pileg) dengan 25,38 juta suara (16,72%) memimpin atas Golkar dan Gerindra, meskipun mengalami penurunan dibandingkan 2019. Penetapan ini dikukuhkan dalam rekapitulasi nasional KPU pada 20 Maret 2024. Di Pilpres, pasangan yang diusung PDI-P (Ganjar Pranonowo – Mahfud MD) menempati posisi ketiga dengan 16,46%, sementara Prabowo-Gibran unggul jauh dengan 58,58%.
Dimensi identias makin diuji disaat renggangnya dengan kadernya, Joko Widodo, Presiden RI Ke-7 yang diusungnya dalam dua kali Pemilu (2014 dan 2019), mendukung Prabowo Subianto dengan Gibran Rakabuming Raka (Putra Presiden Joko Widodo). Pada April 2024, PDI-P menegaskan Jokowi dan Gibran bukan lagi kader, karena tidak sejalan dengan cita-cita politik PDI-P dan di luar garis partai. Peristiwa ini bukan hanya sekadar administrasi keanggotaan, ia memukul narasi kontinuitas PDI-P sebagai rumah politik Jokowi dua periode dan memaksa PDI-P mendesain ulang hubungan dengan basis pemilih Jokowi yang luas.
ADVERTISEMENT
Memasuki masa pemerintahan baru (Oktober 2024), Prabowo membentuk koalisi besar dengan kabinet gemuk, menggabungkan teknokrat dan politisi dari berbagai partai untuk menjamin stabilitas pro-pemerintah. Konfigurasi super-koalisi dapat menyempitkan ruang oposisi formal dengan kacamata “cartel party”—menggoda partai besar diluar pemerintah untuk merapat.
Di titik ini, manuver posisi PDI-P menjadi krusial. Pada Agustus 2025, Megawati menyatakan PDI-P berada diluar pemerintahan Prabowo Subianto, tetapi tidak menempakan diri sebagai oposisi maupun koalisi, menempatkan “posisi ketiga” yang dinamis. Strategi ini menjaga jarak ideologis sekaligus membuka kanal kerja sama isu atau legislasi tertentu. Contohnya realisme-pragmatis yang menghindari biaya politik oposisi frontal dalam sistem multipartai yang cenderung koalisi luas.
Secara normatif, pilihan “di luar tetapi tidak oposisi” memungkinkan PDI-P klaim idealisme-optimis: mengawal agenda kerakyatan, mengkritik inkonsistensi, dan menegaskan garis ajaran Bung Karno dalam mengawal isu pangan, industri, dan keadilan sosial. Namun secara strategis, ia memberi ruang pragmatis: bernegosiasi isu per isu; memanfaatkan komite legislatif, anggaran, dan jaringan kepala daerah; serta menahan opsi untuk bergabung jika kalkulasi elektoral berubah. Misalnya untuk mengamankan koalisi pilkada atau isu prioritas di DPR.
ADVERTISEMENT
Diantara Dua Kutub
Agar PDI-P dapat menjembatani diantara dua kutub, diantaranya: Pertama, mendefinisikan ulang marhaenisme sebagai platform kebijakan yang terukur. Alih-alih jargon normatif, PDI-P dapat menterjemahkan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam indikator kinerja: reformais tata niaga pangan, perlindungan petani-nelayan, substitusi impor strategis, industri hilir yang memihak pekerja, dan afirmasi UMKM. Karena marhaenisme tak termaktub eksplisit sebagai ideologi AD/ART, ruang inovasi kebijakan justru luas dan memungkinkan adaptasi tanpa menyalahi doktrin.
Kedua, memperkuat linkages programatik di tengah ekosistem patronase. Teori Kitschelt menunjukkan bahwa partai bisa menggeser relasi dari klientelisme ke programatik bila mampu menawarkan kredibilitas kebijakan dan mekanisme akuntabilitas. Untuk PDI-P, ini berarti memanfaatkan posisinya sebagai pemenang legislatif untuk menginisiasi agenda legislasi yang “mendarat” (pangan, jaminan sosial, upah layak, lingkungan hidup), serta membangun issue ownership yang membedakan mereka dengan koalisi pemerintah.
ADVERTISEMENT
Ketiga, mengelola ambiguitas strategis tanpa kehilangan jangkar etik. Model catch-all mengajarkan pentingnya merangkul koalisi pemilih luas, model cartel party mengingatkan risiko kooptasi negara. Jalan tengahnya: mengadopsi “pragmatisme berprinsip”—melalui akomodasi taktis pada level taktis (kompromi legislasi, koalisi pilkada) tetapi mempertahankan garis merah nilai (kebebasan sipil, anti-korupsi, keberpihakan pada kelas rentan). Di sini, disiplin internal dan pendidikan politik kader menjadi prasyarat agar negosiasi kekuasaan tak meluruhkan identitas.
Keempat, merumuskan hubungan baru dengan basis pendukung Jokowi tanpa bergantung pada figur. Putusnya ikatan formal memberi peluang PDI-P merumuskan ulang pernyataan—bahwa keberhasilan era 2014-2024 bukan semata “politik personal Jokowi” melainkan produk sinergi platform PDI-P (Pancasila 1 Juni 1945, Trisakti) dengan kepemimpinan eksekutif. Pendekatan ini menghindari polarisasi berkepanjangan sekaligus mengklaim kontinuitas programatik isu yang memang sejalan.
ADVERTISEMENT
Kelima, menata posisi kebijakan terhadap program unggulan pemerintah. Pemerintah baru mengusung target pertumbuhan tinggi, penguatan belanja pertahanan dan program makanan bergizi untuk anak. PDI-P punya dua pilihan: a) kooperatif-kritis, dengan mendukung program yang selaras dengan marhaenisme (gizi anak) sambil mengawasi tata kelola dan prioritas fiskal; atau b) alternatif programatik, menawarkan rancangan kebijakan tandingan berbasis data tentang efektivitas, targeting, dan keberlanjutan fiskal. Kedua opsi, identitas partai diuji di ranah kebijakan, bukan sekadar koalisi-oposisi.
Strategi Operasional
Pencarian identitas tidak hanya berkutat di wacana, ia mesti dikonkretkan dalam politik sehari-hari, melalui: Pertama, Legislasi dan Anggaran. PDI-P dapat memanfaatkan sebagai partai peraih suara terbanyak DPR periode 2024-2029 memiliki modal untuk memimpin secara strategis. Misalnya usulan RUU tentang pangan, perlindungan pekerja, dan tata kelola SDA—dengan memperkuat jejak rekam deliberatif (policy paper fraksi, regulatory impact assesment, konsultasi publik). Keunggilan substantif akan mempertebal citra programatik.
ADVERTISEMENT
Kedua, Kepala Daerah dan Pilkada. Di level daerah, kombinasi program marhaen (harga gabah, akses kredit, irigasi, dan kesehatan primer) dengan inovasi tata kelola (transparansi APBD, e-procurement) dapat menjadi etalase identitas. Keberhasilan subnasional yang terukur akan mengimbangi persepsi transaksional di pusat.
Ketiga, Kaderisasi dan Meritokrasi. Mengatasi persepsi klientelisme dengan merit system dalam rekrutmen calon legislatif/kepala daerah, indikator kinerja berbasis hasil, serta pendidikan politik yang mengikat kader pada nilai partai, bukan sekadar jejaring patronase. Ini selaras dengan semangat menggeser linkage ke arah programatik.
Keempat, Komunikasi Publik Berbasis Data. Menyajikan capaian dan kritik dengan evidensi (angka kemiskinan, produktivitas pertanian, ketimpangan wilayah, beban fiskal). Ketika perdebatan dipindahkan dari retorika ke data, PDI-P lebih muda mengklaim posisi idealisme-opitimis yang rasional, bukan idealisme yang utopis.
ADVERTISEMENT
Prospek Kedepan
Bagaimana PDI-P dapat menjahit ulang bendera ide dan mesin kekuasaan, diantara dua pilihan yang dilematis (idealisme-optimis dan realisme-pragmatis) ? Bisa jadi diperlukan adalah sinkronisasi. Idealisme tanpa mesin organisasi akan mandul, pragmatisme tanpa jangkar nilai akan terseret arus oportunisme.
Tantangan PDI-P adalah “mendesain institusi internal” (aturan kandidasi, pendanaan, dan disiplin fraksi) membuat pragmatisme bekerja untuk idealisme. Model “pragmatisme berprinsip” mensyaratkan garis merah substantif (anti-korupsi, kebebasan sipil, dan keadilan sosial) yang tidak dapat dinegosiasikan, sementara taktik koalisi dan legislasi boleh dinegosiasikan sepanjang tidak menyentuk garis merah tersebut.
Selain itu, PDI-P memperkuat struktur organisasi dan meningkatkan komunikasi internal untuk menghindari fragmentasi dan menjaga soliditas partai. Penguatan basis massa melalui program pro-rakyat dan relevansi dengan isu kontemporer akan menjadi kunci dalam memenangkan hati pemilih.
ADVERTISEMENT
Dalam horizon menengah, ada tiga skenario: Pertama, Kooperasi Selektif Berkelanjutan. PDI-P tetap “di luar” tetapi berkolaborasi isu-spesifik demi manfaat publik. Identitas programatik menguat jika kolaborasi menghasilkan kebijakan pro-marhaen yang kentara (mis. Reforma agraria, gizi anak yang tepat sasaran); Kedua, Masuk Koalisi dengan Kontrak Programatik. Jika peta kekuatan di DPR/Pilkada mendorong, PDI-P bisa masuk pemerintahan “dengan syarat” agenda prioritas (kedaulatan pangan, industrialisasi hijau, perlindungan pekerja) dimasukkan sebagai policy contract, meminimalkan biaya reputasional “cartelization”. Ketiga, Oposisi Programatik. Jika diferensiasi kebijakan makin tajam dan super-koalisi menyerap hampir semua partai, PDI-P dapat mengisi kekosongan oposisi substantif—sebuah posisi yang berisiko di jangka pendek tetapi “bernilai identitas” dan “investasi elektoral” jangka panjang.
Apapun pilihannya, pembuktian identitas akan terjadi bukan pada pernyataan ideologis, melainkan konsistensi kebijakan dan kualitas tata kelola. Di sinilah marhaenisme sebagai nilai, Pancasila 1 Juni sebagai azaz, dan realitas elektoral sebagai constraint perlu dijahit ulang menjadi strategi yang mencapai hasil sekaligus menjaga jiwa partai.
ADVERTISEMENT

