Pemikiran Politik Megawati Soekarnoputri

Aji Cahyono
Magister Interdisciplinary Islamic Studies, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Awardee Research Megawati Fellowship Program
Konten dari Pengguna
22 Juli 2023 22:05 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aji Cahyono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Joko Widodo bersama Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menyapa simpatisan PDIP pada acara Bulan Bung Karno di GBK Sabtu (24/6). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo bersama Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menyapa simpatisan PDIP pada acara Bulan Bung Karno di GBK Sabtu (24/6). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam ingatan waktu kecil, saya mendapatkan indoktrinasi keagamaan Islam yang diajarkan, bahwa laki-laki yang menjadi pemimpin atau khalifah dari sebuah bangsa atau Negara yang mendiami. Namun, semua itu berubah, ketika mendapatkan pendidikan kesetaraan gender, baik dalam ruang lingkup keluarga maupun di ruang publik. Hal ini didasarkan pada pengamatan sekaligus pembelajaran dalam politik praksis, ketika menjadi peserta magang yang diselenggarakan oleh Fraksi PDI Perjuangan DPRD DKI Jakarta tahun Pertengahan Oktober 2019 s.d Maret 2020.
ADVERTISEMENT
Di lain sebagai putri kandung dari Presiden Republik Indonesia Pertama Soekarno (akrab sapaannya Bung Karno), Megawati Soekarnoputri dikenal sebagai satu-satunya tokoh politik perempuan di Indonesia yang membuktikan kesetaraan gender, perempuan mempunyai ruang yang se-luas luasnya dalam berpartisipasi untuk berkontribusi pada politik Indonesia di ruang publik. Dalam hal ini, sejak Megawati menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, sejarah menunjukkan keberhasilan memenangkan Pemilu pada tahun 1999, 2014 maupun 2019.
Misalnya, ketika PDI Perjuangan di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri menduduki peringkat pertama dalam perolehan suara pemilih. Misalnya, pada tahun 1999, dengan nomor 11, mendapatkan 35,6 juta suara partai dengan persentase 33,74% (kursi parlemen Senayan berjumlah 153 dari 500 kursi, 33,12%). Pada tahun 2014, nomor 4, memperoleh 23,6 juta suara partai, persentase 18,95% (kursi parlemen Senayan berjumlah 109 dari 560 kursi, 19,46%). Kemudian pada tahun 2019, dengan nomor 3, memperoleh 27 juta suara partai, persentase 19,33% (kursi parlemen Senayan berjumlah 128 dari 575 kursi, 22,26%).
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, bahwa pemilu tahun 2004 dan 2009, PDI Perjuangan kalah dengan kompetitornya. Dalam perolehan suara tahun 2004, PDI Perjuangan menempati posisi kedua, dengan perolehan suara partai 21 juta suara partai, persentase 18,53% (kursi parlemen Senayan 109 dari 550 kursi, persentase 19,82%). Sedangkan Partai Golkar, dengan Ketua Umum Akbar Tanjung, memperoleh 24,4 juta suara partai, persentase 21,58% (kursi parlemen Senayan 127 dari 550 kursi).
Kemudian pada tahun 2009, PDI Perjuangan menempati posisi ketiga, dengan perolehan 14,6 juta suara partai, persentase 14,03% (kursi parlemen Senayan 95 dari 560, persentase 16,96%). Posisi pertama dan kedua ditempati oleh partai Demokrat, dengan ketua Umum Hadi Utomo, mendapatkan suara 21,7 juta suara partai, persentase 20,85% (kursi parlemen Senayan 148 dari 560 kursi, persentase 26,42%). Kemudian partai Golkar, dengan ketua umum Jusuf Kalla, memperoleh 15 juta suara partai, persentase 14,45% (suara parlemen Senayan 106 dari 560 kursi, persentase 18,93%).
ADVERTISEMENT
Pengalaman empiris Megawati Soekarnoputri dalam memimpin partai politik sangat dinamis dan fluktuatif. Yang sebelumnya, terpilih menjadi ketua Umum 1993 Partai Demokrasi Indonesia (PDI) hasil kongres di Surabaya. Dalam rezim Orde Baru Soeharto adalah tantangan bagi Megawati, menghadapi tekanan dari rezim tersebut, hingga bertransformasi menjadi PDI Perjuangan, fokus perjuangannya tidak memandang suku, ras, agama maupun budaya tertentu, serta memperjuangkan harkat dan martabat manusia yang benar-benar merdeka. Bersatu, dan berdaulat.
Selain itu, Megawati Soekarnoputri, satu-satunya tokoh politik perempuan yang mampu bersaing dan memenangkan PDI Perjuangan dalam kontestasi politik, seperti Pemilu. Hal tersebut bagi penulis, bahwa PDI Perjuangan dalam perjalanan sejarah, minimal mencapai posisi 3 besar. Bagi Megawati, hampir secara keseluruhan dan dominan bahwa laki-laki menempati posisi sebagai ketua umum partai politik yang tersebar. Megawati mampu mematahkan stigma yang sempit, yang sebelumnya perempuan hanya urusan pekerjaan domestifikasi menjadi agen perubahan yang bertransformasi ke arah progresivitas.
ADVERTISEMENT

Pemikiran Politik Megawati Soekarnoputri

Yang menjadi alasan bahwa PDI Perjuangan menempati perolehan suara terbanyak dalam perhelatan pemilu. Hal ini didasarkan pada tipologi pemikiran Politik Megawati Soekarnoputri tidak jauh beda dengan pemikirannya Bung Karno. Dalam pidato politiknya, cenderung dominan yang terinspirasi oleh ajaran Bung Karno, baik secara pemikiran maupun praktik politik berbangsa dan bernegara.
Selain itu, Konstruksi berpikir Bung Karno terinspirasi dari beberapa tokoh yang mempunyai ide yang progresif, misalnya yakni Karl Marx soal Materialisme dan Teori Perjuangan Kelas, George Wilhelm Freidrich Hegel tentang Dialektika hingga tokoh Pan-Islamisme, seperti Muhammad Abduh dari negeri Mesir. Tentu, ketersambungan pemikiran Bung Karno berasal dari sumber wahyu Rasulullah SAW melalui Al-Qur’an, yang kemudian perbuatan dan perkataan dari Rasulullah maupun Sahabatnya, menjadi sandaran bagi kehidupan umat manusia, yang tertuang dalam As-sunnah/Hadits yang Sahih.
ADVERTISEMENT
Ibarat kata, dalam tradisi intelektual politik Megawati Soekarnoputri mempunyai kesanadan yang otoritatif dengan pemikiran Bung Karno. Mengutip dari NU Online, meminjam definisi sanad, menurut Dr. Mahmud Thahhan, dalam ‘Taysir Musthalah al-Hadits’, Maktabah al-Ma’arif cetakan ke-10, tahun 2004, sanad secara bahasa merupakan al-mu’tamad, (tempat bersandar atau bergantung). Dalam bukunya Cindy Adams berjudul ‘Penyambung Lidah Rakyat Indonesia’, Bung Karno menggunakan diksi ‘Marhaenisme’ berasal dari kata ‘Marhaen’ (mencerminkan masyarakat yang mempunyai lahan maupun alat produksi, namun masih jauh dari kata sejahtera), berangkat dari perjumpaan Bung Karno di Bandung Selatan, ketika menjadi mahasiswa pada Technische Hoogere School (yang sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung) bertemu dengan petani asal Bandung Selatan.
Citra politik yang memperjuangkan kaum Marhaen diterjemahkan, agar dikenal oleh masyarakat yakni keberpihakan terhadap ‘wong cilik’ (bahasa Jawa yang diterjemahkan Indonesia yakni ‘orang kecil). Mengutip Pidato politik Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarno pada pembukaan HUT ke-43 & Rakernas I tahun 2016, menceritakan sejarah pertemuan Bung Karno dengan Petani.
ADVERTISEMENT
Hasil dari pertemuan tersebut, Bung Karno berupaya menyelami alam pikiran dan rasa dari petani bernama ‘Marhaen’ (Marhaen dilambangkan sebagai kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia, dll), sehingga terjadilah pergulatan pikiran dan perenungan rasa dari Bung Karno tersendiri, dalam mengkonsepsikan teori politiknya menjadi teori perjuangan, bernama Marhaneisme. Bagi Megawati Soekarnoputri, Marhaenisme merupakan teori progresif ke depan, revolusioner harus cepat, dan persatuan.
Dalam bukunya Di bawah Bendera Revolusi Djilid I, bahwa Marhaenisme mencakup sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Dalam pendefinisian Bung Karno, bahwa Sosio-Nasionalisme merupakan Nasionalisme Masyarakat, yang memanusiakan manusia, serta berlaku adil dan makmur (bukan nasionalisme nglamun, nasionalisme ‘kemenyan’, bukanlah nasionalisme ‘melayang’). Oleh karena itu, sosio-nasionalisme dapat diartikan memperbaiki keadaan-keadaan di dalam masyarakat, keadaan yang pincang menjadi keadaan sempurna, tidak ada kaum tertindas, tidak ada kaum yang celaka, serta kaum yang sengsara.
ADVERTISEMENT
Begitupun juga dalam menjalankan sosio-demokrasi, yang mempunyai makna demokrasi-masyarakat. Prinsip dalam sosio-demokrasi tidak bisa mengabaikan sosio-nasionalisme. Karena, sosio-demokrasi merupakan timbul karena sosio-nasionalisme. Secara tegas, dalam konsepsi sosio-demokrasi Bung Karno tidak hanya mengabdi kepentingan sesuatu gundukan kecil (kelompok kecil bernama oligarki, memperkaya segelintir kelompok, kapitalis pribumi), melainkan yakni mengakomodir kepentingan rakyat luas secara kolektif.
Inti dari sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi adalah mencari keberesan politik, keberesan ekonomi, keberesan negeri, dan keberesan rezeki. Karena sosio-demokrasi sejatinya adalah menjalankan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.