Konten dari Pengguna

Politik Pengetahuan: Menjadi Marhaenis yang Ilmiah

Aji Cahyono
Mahasiswa Master Kajian Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Awardee Research Megawati Fellowship Program
7 November 2024 12:09 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aji Cahyono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kunjungan Presiden Sukarno dalam Pekan Buku Indonesia tahun 1954. Sumber: Arsip Nasional
zoom-in-whitePerbesar
Kunjungan Presiden Sukarno dalam Pekan Buku Indonesia tahun 1954. Sumber: Arsip Nasional
ADVERTISEMENT
Pejuang-Pemikir & Pemikir-Pejuang, motto perjuangan yang sering didengungkan oleh sejumlah aktivis mahasiswa—khususnya tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang tersebar di seluruh Indonesia. Bagaimana framework atau cara kerja Pejuang-Pemikir & Pemikir-Pejuang dalam menghadapi perkembangan zaman yang semakin maju, namun dihadapkan dengan sejumlah kompleksitas masalah bangsa yang pelik dan bias. Harapan besar, jangan sampai kader Marhaenis terjebak dan kehilangan arah, sehingga mengalami dilematis—dalam ruang pengabdian, dan tidak mempunyai prinsip nilai fundamental sebagai moral force.
ADVERTISEMENT
Perjuangan politik tidak serta merta dimaknai sebagai 'kekuasaan' melainkan adalah 'keberpihakan'. Oleh karena itu penulis mendalilkan pentingnya 'politik pengetahuan' dimaksudnya tidak hanya sebatas mengedepankan material-oriented, melainkan ideal-oriented. Politik pengetahuan dengan mengedepankan ideal-oriented adalah mengedepankan tradisi ilmiah. Sebagaimana kultur perjuangan Marhaenis dalam politik pengetahuan adalah 'keberpihakan terhadap kaum marhaen' berjuang untuk kemanusiaan yang universal, dengan penyelidikan ilmiah. Baik skala kecil maupun besar.
Penulis dalam hal ini bukan memposisikan sebagai ‘ahli’ dibidangnya, melainkan tulisan ini bagian dari cara kerja pengamatan reflektif. Harapan penulis, kader Marhaenis mampu memanfaatkan public sphere dalam kerangka kerja kebangsaan, sebagai check and balance, atau mitra kritis atau kolaborasi (rakyat-negara) dalam membangun sebuah bangsa yang besar, bangsa Indonesia. Hanya kerja-kerja produktif-ilmiah, memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan peradaban bangsa, sebagai perbendaharaan science. Penulis meyakini, semakin banyaknya membangun kerangka paradigma produktif, semakin memperkuat solidaritas Marhaenis, dengan satu rasa dan satu nasib dalam perjuangan Front Marhaenis.
ADVERTISEMENT
Disisi lain, harapan besar, muncul adanya perdebatan yang argumentatif (tanpa menggunakan sentimen) dengan cara kerja yang ilmiah—dengan berkarya, baik itu melalui artikel populer, jurnal ilmiah, atau agenda-agenda debat publik (seperti tradisi intelektual di University of Oxford, Inggris—dengan membawa dalil argumentasi melalui hasil ilmiah). Oleh karena itu, dalam konteks keadaan bangsa Indonesia saat ini, dirasa perlu cara pandang ilmiah dalam menguraikan berbagai persoalan bangsa yang kompleks—dengan menghadirkan rekomendasi yang solutif. Penulis berharap ada kader-kader yang mampu mengkritisi atau menggugat tulisan ini dengan tulisan lain, baik berbentuk anti-tesis atau sintesis, dengan kerangka kerja ilmiah.
Namun sejumlah penelusuran penulis dan berkoneksi dengan beberapa jaringan Marhaenis—banyaknya populasi kader berstatus ‘Marhaenis,’ masih minimnya bergerak dalam memproduksi ilmu pengetahuan secara ilmiah. Hingga saat ini, kecenderungan kader Marhaenis menempatkan diri sebagai ‘konsumen’ ilmu pengetahuan, bukan menempatkan diri sebagai ‘produsen’ ilmu pengetahuan. Jika lebih dominan sebagai ‘konsumen’ ilmu pengetahuan dan mengabaikan peran ‘produsen’ ilmu pengetahuan—dikhawatirkan terjebak dalam satu sudut pandang (yang melahirkan cara pandang eksklusif).
ADVERTISEMENT
Cara berfikir ‘eksklusif’ inilah, yang kemudian akan melahirkan bibit-bibit ‘konservatisme’ atau ‘kolot’ dalam memahami ilmu pengetahuan—apalagi dikhawatirkan adalah ‘pengeramatan manusia’ atau ‘pengkultusan/penghambaan terhadap senior’ (dianggap sudah sukses secara materiil) dengan mengabaikan atau menolak tradisi diskursus. Jika menelaah lebih jauh cara berpikir Bung Karno, bahwa pemahaman ‘kolot’ atau ‘konservatisme’ adalah ‘haram.’—dan Sukarno tidak menginginkan anak ideologi Bung Karno mempunyai pemikiran ‘kolot’ sehingga melahirkan bibit pikiran ‘eksklusif.’
Studi kasus dilapangan, masih menjumpai kader Marhaenis terjebak dalam pusaran konflik politik yang berkepentingan, banyaknya intrik politik yang tidak membangun—dengan mudahnya terprovokasi dengan isu atau informasi yang parsial/sebagian, tanpa memahami isu atau informasi yang utuh melalui penyelidikan-penyelidikan ilmiah. Hal ini menurut dugaan penulis, hal ini yang melatarbelakangi perjumpaan penulis dengan kader Marhaenis, karena lemahnya tradisi diskursus dalam menguraikan beberapa fakta-fakta atau problematika sosial, yang menjadikan kolot.
ADVERTISEMENT

Inklusif dalam Pemikiran: Tradisi Ilmiah-Amaliyah

Penulis hanya sebatas belajar, merenung, serta memproduksi ilmu pengetahuan yang berlatarbelakang pendidikan Universitas Islam Negeri (UIN)—namun tak ingin kalah dengan kampus lain, terkhusus kampus-kampus umum dengan segundang prestasi dan mempunyai nilai sejarah yang lebih— yang di dalamnya terdapat mahasiswa, akademisi atau scholar yang berlatarbelakang Marhaenis. Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak sepenuhnya murni ‘ide’ penulis—melainkan hasil dialektika dan perjumpaan penulis dengan tokoh-tokoh nasional maupun dunia melalui dunia ‘ide’—melalui beberapa bacaan buku disertai diskusi.
Misalnya, mempelajari Sukarnologi, ilmu-ilmu yang mempelajari ketokohan ‘Bung Karno’—baik mengkaji perjalanan kehidupannya maupun ide-ide yang dikonstruksi oleh Bung Karno, ditelaah secara ilmiah. Penulis menyakini bahwa jikalau ‘ilmu pengetahuan’ dengan topik Bung Karno ditempatkan pada tradisi diskursus atau melalui proses dialektika, maka ilmu pengetahuan akan ‘hidup’ dan ‘menyala-nyala.’ Jika ‘ilmu pengetahuan’ tidak melalui proses dialektika, maka jangan berharap bahwa ‘ilmu pengetahuan’ akan tumbuh, justru akan lenyap dan mati, seperti ‘gelap-gulita’, hidup era modernitas namun mengalami era zaman kegelapan. Motto Pejuang-Pemikir & Pemikir-Pejuang tidak hanya digunakan sebagai jargon-jargon politik yang menggema, namun wajib memaknai secara mendalam melalui 'proses ilmiah.'
ADVERTISEMENT
Sebagai pembelajar ulung yang kuat dengan tradisi intelektual adalah hal yang sangat penting dan fundamental. Argumentasi ini didasarkan pada pengalaman Bung Karno tak hanya belajar ilmu-ilmu sekuler, melainkan juga mendalami ilmu-ilmu agama. Dalam buku langka yang dikutip penulis berjudul ‘Sukarno: an autobiography, as told to Cindy Adams’ terbit pada 1965, Bung Karno belajar Islam, saat pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan berkunjung ke Surabaya, dalam rangka tabligh (ceramah keagamaan) dekat rumah HOS. Tjokroaminoto (pimpinan Sarekat Islam) di kawasan Peneleh, Surabaya. Yang mana Bung Karno mengagumi tokoh Muhammadiyah, karena pemikiran Islam yang Modernis-Progresif.
Corak pemikiran Bung Karno menempatkan pemikiran inklusif—dengan cara keterbukaan pemikiran (jangan sampai ‘keblabasan’ yang bergerak kearah liberalisme) diantara berbagai macam ide—kemudian berbagai ide gulung-menggulung, filterisasi hingga menjadi satu kesatuan ide yang berbentuk ‘paradigma.’ Cara pandang Bung Karno inklusif-dinamis tidak serta merta merujuk sepenuhnya menggunakan cara pandang Barat (bebas dan tanpa batas) dan tidak dimaknai ‘anti-Barat’, melainkan mempunyai versi dirinya sebagai bangsa ‘Timur’ dengan mempertimbangkan aspek norma maupun moralitas—yang terkandung dalam pembudayaan bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Meminjam teori Colin S. Gray dalam bukunya ‘War, Peace, and International Relations’ membagi dua aliran, idealisme-optimis dan realisme-pesimis. Dua aliran tersebut sebagai pisau analisa dalam sistem berpikir—penulis mengkonstruksi ciri-ciri pemikiran Bung Karno dibagi dalam kedua aliran tersebut melalui penyelidikan ilmiah. Contohnya, cara pandang idealisme-opitimis, Bung Karno menilai bahwa dibentuknya Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), agar tidak terjadi peperangan yang berkelanjutan—dengan cara mengambil jalan damai. Cara pandang damai tidak serta merta dimaknai perdamaian at any cost (dengan biaya berapapun), melainkan perdamaian yang sesungguhnya, dengan jalan kemanusiaan universal, tidak mengenal untung-rugi—dengan menempatkan bangsa yang setara.
Cara pandang idealisme-optimis tidak serta merta muncul secara tiba-tiba, melainkan melalui proses panjang dalam pergulatan pikiran dan batiniyah, dalam melihat realitas sosial yang kompleks, melalui penyelidikan ilmiah. Kemudian hasil dari penyelidikan ilmiah turut menjadi kontribusi dalam praktik amaliyah (perbuatan yang berbentuk kebermanfaatan secara luas). Misalnya, kajian titik temu antara faham Islamisme (spiritual) dapat bekerjasama dengan Nasionalisme (kebangsaan) dan Marxisme (kebendaan) dalam roh persatuan—sebelumnya menguraikan benang kusut apa yang dipertentangkan—jikalau pertentangan tidak perlu, kemudian tawaran apa yang dapat mempersatukan ketiga aliran tersebut.
ADVERTISEMENT
Sedangkan cara pandang realisme-pesimis adalah cara pandang yang tidak diinginkan oleh Bung Karno, karena dalil realisme-pesimis menganggap bahwa sejarah masa depan umat manusia selalu berulang—dengan konteks yang berbeda. Dalam artian, bahwa realisme-pesimis berkeyakinan bahwa perdamaian dengan cara berkonflik merupakan sesuatu hal yang wajar. Kritik penulis, bahwa cara pandang realisme-pesimis melihat perdamaian diciptakan dengan konflik, akan meninggalkan bekas beban sejarah.
Meminjam teori realisme Morgenthau, dalam konteks kepentingan nasional didasarkan pada ‘kekuatan.’ Dalam pemaknaan realisme dalam kepentingan nasional, menekankan kepentingan nasional adalah mempertahankan atau menambah kekuasaan (dengan artian hegemoni atau dominasi negara super power terhadap negara-negara berkembang, sesuai kepentingan bangsa yang dicengkramnya). Cara pandang Bung Karno tidak selaras dengan pandangan realisme-pesimis.
ADVERTISEMENT
Meminjam teori kepentingan nasional dengan madzhab realisme Morgenthau membagi tiga program diantaranya: mempertahankan negara, meningkatkan power atu menunjukkan power. Dalam artian bahwa jika ketiga program dijalankan secara beriringan, dikhawatirkan adalah mempertontonkan kesombongan ‘bangsa’ yang tidak selaras dengan ajaran Bung Karno. Hal ini terjerumus pada pemahaman bangsa yang 'chauvinisme.'