Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.90.0
Konten dari Pengguna
Pendidikan Karakter didalam Al-Qur'an
22 Agustus 2017 23:35 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
Tulisan dari Aji Muttaqin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Era globalisasi telah membawa dampak luas di belahan bumi mana pun, tak terkecuali di negeri Indonesia. Dampak globalisasi diibaratkan seperti pisau bermata dua, positif dan negatif memiliki konsekuensi yang seimbang. Kompetisi, integrasi, dan kerjasama adalah dampak positif globalisasi. Sedangkan dampak negatif antara lain lahirnya generasi instan, dekadensi moral, konsumerisme, bahkan permisifisme. Selain itu dampak negatif lainnya adalah muncul tindakan kekerasan, penyalahgunaan obat-obat terlarang, seks bebas, dan kriminalitas. Semua hal negatif tersebut berujung pada hilangnya karakter bangsa.
ADVERTISEMENT
Jika dilihat dalam konteks pendidikan banyak perilaku tidak bermoral terjadi, antara lain kasus tawuran antar pelajar di beberapa sekolah, beredarnya video mesum yang pelakunya adalah siswa, penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya, bahkan beberapa remaja putri rela menjual “kegadisan” demi untuk membeli handphone (HP), membeli pakaian bagus atau mentraktir teman. Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI, 2003) menyatakan sebanyak 32% remaja usia 14 hingga 18 tahun di kota-kota besar Indonesia (Jakarta, Surabaya, dan Bandung) pernah berhubungan seks. Kasus lain berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN) hingga tahun 2008 pengguna narkoba di Indonesia mencapai 3,2 juta orang. Dari jumlah ini 32% adalah pelajar dan mahasiswa.
Dari data yang disampaikan oleh Agus Wibowo diatas, ini bukanlah problema yang sepele, karena anak bangsa yang telah kehilangan karakter akan berakhir kepada dekadensi moral yang pada akhirnya juga akan berakhir pada karakter suatu bangsa.
ADVERTISEMENT
Secara filosofis pendidikan karakter merupakan kajian ilmu yang paling rasional dan aktual karena membahas tentang tingkah laku manusia yang tidak lekang oleh perubahan zaman. Selain itu pendidikan karakter memiliki landasan normatif, menurut Hamdani Hamid & Beni Ahmad Saebani antara lain: a) Berasal dari ajaran Agama Islam, yaitu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, berlaku pula untuk ajaran agama lainnya yang banyak dianut manusia. b) Adat kebiasaan atau norma budaya. c) Pandangan-pandangan filsafat yang menjadi pandangan hidup dan asas perjuangan suatu masyarakat atau suatu bangsa. d) Norma hukum yang telah diundangkan oleh Negara berbentuk konstitusi, undang-undang, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang bersifat memaksa dan mengikat akhlak manusia.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pendidikan karakter memiliki landasan filosofis dan normatif sebagai pijakan dalam operasionalnya. Hal ini mengingat bahwa karakter merupakan pengetahuan yang memikirkan hakikat kehidupan manusia dalam bertingkah laku, sehingga diperlukan landasan sebagai pedoman dalam berinteraksi dan berasosiasi.
ADVERTISEMENT
Fungsi dan tujuan pendidikan karakter memiliki andil yang sangat besar dalam menentukan arah dan sebagai pedoman internalisasi karakter. Dengan fungsi dan tujuan tersebut diikhtiarkan terwujud insan kamil yang mempunyai posisi mulia di sisi Allah SWT. Secara garis besar pendidikan karakter merupakan jalan dalam mewujudkan masyarakat beriman dan bertaqwa yang senantiasa berjalan di atas kebenaran dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kebaikan, musyawarah, serta nilai-nilai humanisme yang mulia.
Lalu bagaimana peran agama islam dalam menyikapi fenomena ini?
Sejak 14 abad yang lalu atau sejak pertama Al-Qur’an diturunkan, Islam telah memberikan konsep-konsep tentang pendidikan karakter.
Salah satu ayat yang menerangkan tentang pendidikan karakter adalah Q.S Luqman ayat 12-24, Walaupun terdapat banyak ayat Al-Qur’an yang memiliki keterkaitan dengan pendidikan karakter, namun Q.S Luqman ayat 12-14 karena ayat ini mewakili pembahasan ayat yang memiliki keterkaitan makna paling dekat dengan konsep pendidikan karakter.
ADVERTISEMENT
Allah SWT berfirman:
وَلَقَدۡ ءَاتَيۡنَا لُقۡمَٰنَ ٱلۡحِكۡمَةَ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِلَّهِۚ وَمَن يَشۡكُرۡ فَإِنَّمَا يَشۡكُرُ لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيد. وَإِذۡ قَالَ لُقۡمَٰنُ لِٱبۡنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَٰبُنَيَّ لَا تُشۡرِكۡ بِٱللَّهِۖ إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِيم. وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٍ وَفِصَٰلُهُۥ فِي عَامَيۡنِ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيۡكَ إِلَيَّ ٱلۡمَصِيرُ.
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kelaliman yang besar". Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”
ADVERTISEMENT
Aspek personal Luqman Jika dilihat dalam perspektif pendidikan yaitu bahwa kualitas manusia tidak dipandang dari sudut keturunan atau ras. Figur Luqman sebagai seorang pendidik memiliki kelebihan dalam kualitas kepribadiannya bukan kelebihan dalam bentuk kepemilikan berupa material maupun keturunan. Kelebihan dalam konteks ini yaitu hikmah. Luqman dipandang sebagai figur pendidik yang memiliki sifat dan perilaku yang menggambarkan hikmah. Dalam tafsir Ath-Thabari, hikmah diartikan sebagai pemahaman dalam agama, kekuatan berfikir, ketepatan dalam berbicara, dan pemahaman dalam Islam meskipun ia bukan nabi dan tidak diwahyukan kepadanya.
Implikasi dari makna hikmah bagi figur pendidik adalah bahwa seorang pendidik selain senantiasa berusaha meningkatkan kemampuan akademiknya, ia pun berupaya menselaraskan dengan amalannya. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam kitabul ‘ilmi bab Al-Igtibat fil ‘ilmi wal hihmah.
ADVERTISEMENT
ketika menjelaskan bolehnya hasad, salah satunya kepada seseorang yang Allah berikan hikmah lalu ia amalkan dan ajarkan kepada orang lain. Kemudian pada surah Luqman ayat 12 terdapat pula kata “syukur”. Konsep syukur dalam ayat ini, menyiratkan pemahaman pendidik terhadap dirinya sendiri yang menjadi bagian dari nilai pendidikan, yaitu sebagai salah satu syarat yang harus dimiliki oleh pendidik. Adapun makna syukur berarti meningkatkan seluruh potensi yang diberikan oleh Allah baik fisik, mental maupun spiritual. Adapun bentuknya, yaitu: Pertama, dengan mengucapkan Alhamdulillah. Kedua, dengan merasakan dan menikmati dengan segenap jiwa dan raga. Ketiga, menjadikannya sebagai pemicu untuk meningkatkan kualitas hidup, ibadah, amal baik dan prestasi.
Dalam ayat 13, Allah mengabarkan tentang wasiat Luqman kepada anaknya, yaitu Luqman bin ‘Anqa bin Sadun, dan nama anaknya Tsaran, agar anaknya tersebut hanya menyembah Allah semata dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun. Ungkapan “la tusyrik billah” dalam ayat ini, memberi makna bahwa ketauhidan merupakan materi pendidikan terpenting yang harus ditanamkan pendidik kepada anak didiknya karena hal tersebut merupakan sumber petunjuk ilahi yang akan melahirkan rasa aman. Sebagaimana firman Allah: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” Penyampaian materi pendidikan dalam ayat ini, diawali dengan penggunaan kata “Ya bunayya” (wahai anakku) merupakan bentuk tashgir (diminutif) dalam arti belas kasih dan rasa cinta, bukan bentuk diminutif penghinaan atau pengecilan. Itu artinya bahwa pendidikan harus berlandaskan aqidah dan komunikasi efektif antara pendidik dan anak didik yang didorong oleh rasa kasih sayang serta direalisasikan dalam pemberian bimbingan dan arahan agar anak didiknya terhindar dari perbuatan yang dilarang. Oleh karena itu, Al-Ghazali dalam “Ihya ‘Ulumuddin” menyebutkan bahwa salah satu diantara tugas pendidik ialah menyayangi anak didiknya sebagaimana seorang ayah menyayangi anaknya, bahkan lebih. Dan selalu menasehati serta mencegah anak didiknya agar terhindar dari akhlak tercela.
ADVERTISEMENT
Dari segi anak didik, ungkapan “la tusyrik billah innassyirka lazhulmun azhim” (janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar) mengandung arti bahwa sesuatu yang tidak boleh dilakukan oleh anak didik tidak hanya sebatas larangan, tetapi juga diberi argumentasi yang jelas mengapa perbuatan itu dilarang. Anak didik diajak berdialog dengan menggunakan potensi pikirnya agar potensi itu dapat berkembang dengan baik. Komunikasi efektif antara Luqman dan anaknya mengisyaratkan bahwa hendaknya seorang pendidik menempatkan anak didiknya sebagai objek yang memiliki potensi fikir.
Dari segi lain, ungkapan “Janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar” menimbulkan rasa kehati-hatian di diri anak didik dalam melakukan kewajiban kepada Allah serta usaha untuk menghindar dari persoalan yang dilarang, sehingga dengan demikian materi pendidikan lebih mudah diterima anak didik.
ADVERTISEMENT
Adapun makna yang dapat diungkap dalam ayat 14 adalah bahwa pendidikan Luqman tidak terbatas pada pendidikan yang dilakukan orang tua kepada anaknya dalam keluarga, karena ayat yang berisi pesan berbuat baik kepada kedua orang tua ini diletakkan di tengah-tengah konteks pembicaraan peristiwa Luqman. Dengan demikian, wasiat Luqman kepada anaknya menjadi dasar bagi pendidikan pada umumnya baik dalam keluarga maupun yang lainnya, yaitu antara lain upaya mendidik anak untuk berbuat baik kepada orang tuanya.
Dalam ayat 14 ini materi berbuat baik kepada kedua orang tua disampaikan melalui anjuran untuk menghayati penderitaan dan susah payah ibunya selama mengandung. Metode seperti ini merupakan cara memberi pengaruh dengan menggugah emosi anak didik, sehingga berdampak kuat terhadap perubahan sikap dan perilaku sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
ADVERTISEMENT
Dalam ayat 14 dapat diungkap pula makna tujuan manusia yang terangkum dalam kalimat “ilayyal mashir”, yaitu kembali kepada kebenaran hakiki dimana sumber kebenaran itu sendiri adalah Allah semata-mata. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan hidup manusia adalah penyerahan diri secara total kepada Allah.
Adapun nilai karakter yang termaktub dalam QS. Luqman ayat 12-14 tadi, yang pertama, dari seorang Luqman, pendidik hendaknya mempunyai karakter hikmah, yakni berpengetahuan dan berilmu. Artinya, selain mempunyai pengetahuan, pendidik juga dituntut untuk mengamalkan pengetahuannya. Kedua, pendidikan karakter yang terdapat dalam QS. Luqman diatas adalah anjuran untuk menjadikan individu-individu yang bersyukur, syukur dalam artian tidak hanya mengucapkan Alhamdulillah, ,melainkan menikmati segala karunia Allah untuk pemicu dalam meningkatkan prestasi, ketiga nilai karakter yang ada pada ayat ini adalah menjadikan Tauhid atau Aqidah sebagai pondasi awal bagi anak sebelum anak mengenal disiplin ilmu pengetahuan yang lain. Keempat, Luqman memanggil anaknya dengan sebutan Ya Bunayya, padahal bahasa arab yang biasa digunakan adalah Ya Ibnii, Ya Bunayaa adalah bahasa yang sangat halus yang digunakan oleh orang tua kepada anaknya, nilai karakter yang ada pada ayat ini adalah, hendaknya bagi para pendidik untuk bertutur halus kepada anak didiknya. Kelima, pada ayat diatas juga diperintahkan untuk merenungi penderitaan seorang ibu yang mengandung anaknya dalam keadaan wahnan ‘ala wahnin, nilai karakter pada ayat ini adalah nilai bakti seorang anak kepada orang tuanya, khususnya kepada ibu. Keenam, penutup ayat ini Ilayyal Mashiir semua akan kembali kepada Allah, nilai karakter darinya adalah siapapun kita sebagai manusia pasti akan kembali kepada Allah, dan ini melahirkan nilai-nilai ketakwaan, karena hanya taqwa lah yang akan menjadikan manusia berbeda dihadapan Allah ketika kembali keharibaannya.
ADVERTISEMENT