Konten dari Pengguna

Bahaya Pasal Superbody Penyidikan dalam RUU Polri

Aji Pangestu
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
29 Juli 2024 9:08 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aji Pangestu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi foto seragam Polri / Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi foto seragam Polri / Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada Mei lalu Dewan Perwakilan Rakyat mulai menggodok draf Revisi Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (RUU Polri). Alasan RUU Polri dibahas untuk menyamakan dengan beberapa RUU lembaga negara yang sudah disahkan lebih dulu seperti UU Kejaksaan.
ADVERTISEMENT
Tidak lama setelah itu, melalui rapat paripurna pada 29/5 Revisi UU Polri disetujui menjadi RUU dan sudah diusulkan kepada Presiden Joko Widodo. Saat ini draf terus bergulir dan sudah sampai tahap perancangan di Komisi III DPR.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan akan melanjutkan pembahasan RUU Polri setelah masa reses. Masa reses senator Senayan berlangsung pada 12 Juli-15 Agustus 2024. Artinya dalam waktu dekat kita akan disuguhkan UU Polri yang baru.
Sebagai warga negara yang baik tidak ada satu pun orang yang akan menolak adanya perbaikan dalam tubuh Polri. Polri dibentuk untuk melindungi masyarakat Indonesia dan menjaga keamanan negara. Sepak terjang Polri tidak bisa dilepaskan sejak awal kemerdekaan bahkan hingga hari ini.
ADVERTISEMENT
Untuk menegaskan betapa pentingnya peran Polri, Mahfud MD bahkan sampai mengatakan "Lebih baik 60 tahun dengan polisi jelek, daripada semalam tanpa Polisi. Semalam saja tidak ada polisi, besoknya negara hilang,"
Namun demikian, Polri juga bukanlah lembaga negara yang tanpa cacat, belakangan lembaga ini justru mendapat banyak stigma buruk di kalangan masyarakat. Pelan-pelan kepercayaan publik mulai terkikis karena kinerja Polri yang lambat dan tidak memuaskan.
Ditambah lagi angka kasus kekerasan, salah tangkap, dan pembunuhan akibat ulah polisi yang semakin tinggi. Sehingga memunculkan tagar-tagar tertentu seperti percuma lapor polisi, no viral, no justice dan seterusnya.
Jika melihat fenomena tersebut sulit rasanya untuk tidak curiga bila tiba-tiba ada aturan yang tergesa-gesa digodok dan hendak disahkan dengan kilat. Padahal pasal-pasal yang ada banyak menuai kontroversi.
ADVERTISEMENT
Atas argumen itu, ini berarti bahwa RUU Polri harus dikawal dengan serius. Artinya kita tidak boleh membiarkan DPR secara ugal-ugalan dalam mengesahkan suatu aturan, karena aturan yang dibuat akan berdampak pada seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan draf RUU Polri yang beredar termuat banyak pasal yang perlu dikaji lebih lanjut. Salah satu aturan yang bermasalah itu terdapat pada Pasal 16 ayat 1 huruf p.
Dalam pasal itu disebutkan Polri menerima hasil Penyelidikan dan/atau Penyidikan dari Penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lainnya untuk dibuatkan surat pengantar sebagai syarat sah kelengkapan berkas perkara yang akan diserahkan kepada penuntut umum.
Legalisasi pasal superbody penyidikan dalam RUU Polri ini bermasalah setidaknya karena tiga hal. Pertama, pasal tersebut akan memunculkan hiper-regulasi dan disharmonisasi legislasi.
ADVERTISEMENT
Pasal ini memungkinkan Polri menjadi lembaga penegak hukum tertinggi melampaui lembaga negara yang lain. Jika aturan ini tetap dipaksakan untuk disahkah akan terjadi tumpang tindih kewenangan.
Selama ini aparat penegak hukum menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 sebagai pedoman dalam proses penangkapan, pemeriksaan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pembuktian.
Aturan RUU Polri yang baru melalui perubahan ketiga atas UU Nomor 2 Tahun 2002 akan bertolak belakang dengan KUHAP yang sedang berlaku sekarang.
Berbagai undang-undang yang tumpang tindih dapat menimbulkan konflik dalam interpretasi hukum. Ini bisa terjadi jika dua undang-undang atau lebih memberikan persyaratan atau kewajiban yang berbeda dalam situasi yang sama.
ADVERTISEMENT
Kedua, tumpang tindih undang-undang dapat berimplikasi pada adanya ketidakpastian hukum. Tumpang tindih undang-undang bisa membuat tidak jelasnya peraturan yang berlaku dalam situasi tertentu. Hal ini dapat membingungkan orang-orang yang mencoba mematuhi hukum.
Upaya memaksakan pengesahan pasal ini menimbulkan suatu kecurigaan baru. Mungkinkah pasal ini sengaja dibuat untuk mengamankan dan menguntungkan segelintir elite tertentu. Sebab dengan legalnya aturan ini Polri akan merasa punya legalitas untuk mengintervensi tugas lembaga lain termasuk KPK.
Hal ini dapat terlihat dari kasus penangan perkara korupsi Hakim Agung Gazalba Saleh yang ditangani KPK, tapi ditolak oleh tim penasihat hukum Gazalba dengan alasan KPK tidak punya wewenang menangani kasus tersebut karena tidak menerima surat pendelegasian dari Mahkamah Agung.
ADVERTISEMENT
Ketiga, perluasan wewenang Polri dapat mempengaruhi independensi lembaga penyidik lain. Pasal tersebut juga secara tidak langsung memaksa lembaga penyidik lain untuk meminta izin atau surat pengantar dari Polri sebelum melakukan penyidikan. Ini berarti bahwa kewenangan Polri akan bertambah besar. Kewenangan besar semacam ini akan menimbulkan masalah serius.
Hal ini mengingatkan kita seperti pada ambruknya independensi KPK ketika dibentuk Dewan Pengawas. Berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch Kinerja penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi sepanjang semester I tahun 2022 masih jauh dari target.
Pada Januari-Juni 2022 KPK hanya berhasil menangani 15 kasus korupsi dari 60 kasus yang ditargetkan. Upaya memperluas kewenangan Polri justru akan menambah kerusakan dalam tubuh KPK yang sudah hampir ambruk.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya kewenangan KPK yang akan digerogoti oleh RUU Polri tapi juga akan mencaplok kewenangan Kejaksaan. Dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan). Berdasarkan pasal 30 UU Kejaksaan, kejaksaan berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.
Salah satu bentuk kewenangan kejaksaan tertuang dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. JIka RUU Polri disahkan artinya kejaksaan perlu mendapat surat pengantar dari Polri sebelum menindak suatu kasus. Ini berarti bahwa independensi kejaksaan akan terkikis dan berada di bawah Polri secara hierarkis.
Dengan demikian, tindakan mengesahkan pasal superbody penyidikan lebih banyak mendatangkan bahaya dan kerugian daripada klaim-klaim keuntungan yang disampaikan pemerintah. Ekses negatif keberadaan pasal ini akan memunculkan masalah yang tidak ringan. Untuk itulah RUU Polri perlu dikaji dan ditinjau secara serius.
ADVERTISEMENT