Konten dari Pengguna

Selamatkan Ormas dari Tambang

Aji Pangestu
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
31 Juli 2024 12:21 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aji Pangestu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ilustrasi foto bekas lubanh tambang / Shutterstock
Belum usai kekecewaan publik karena Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang menerima tawaran mengelola tambang, kini disusul pula oleh Muhammadiyah yang menyambut gembira tawaran tersebut pada Ahad, 28 Juli lalu.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana PBNU, dengan alasan demi kepentingan umat Muhammadiyah juga tidak ragu-ragu mengambil kesempatan dan peluang yang ada tersebut. Keputusan dua organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam di Indonesia itu dapat dipahami karena alasan yang membolehkan hal itu cukup jelas.
Bukan hanya alasan keagamaan yang dipakai untuk membenarkan hal tersebut, melainkan berasal dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2024 yang merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dalam pasal 83A ayat 1 berbunyi "Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan". Dengan pasal tersebut maka tindakan yang diambil oleh sebagian ormas punya dasar yang cukup kuat.
ADVERTISEMENT
Namun, jauh sebelum aturan tersebut diterbitkan pada awalnya yang memiliki izin untuk mengelola tambang hanyalah badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah. Aturan tersebut terdapat dalam Pasal 68 sampai Pasal 75 PP Nomor 96 Tahun 2021. Aturan itu baru diubah dan diganti dengan PP Nomor 25 Tahun 2024, yang isinya memberikan kesempatan pada ormas untuk memiliki izin tambang.
Pemerintah mengklaim aturan tersebut diterbitkan sebagai bentuk apresiasi karena ormas keagamaan telah memiliki jasa yang penting pada masa-masa perjuangan Indonesia melawan penjajah. Jika dilihat dari tahun berdirinya Muhammadiyah lahir pada 1912 dan NU pada 1926. Artinya dua ormas besar ini memang terlibat langsung dan melalui masa-masa melawan penjajah dan ini memang fakta keras yang diketahui banyak orang.
ADVERTISEMENT
Namun, memberikan apresiasi dengan izin tambang setelah 78 tahun Indonesia merdeka agaknya alasan yang terlalu sulit untuk diterima. Apalagi Indonesia saat ini sedang mengalami fase transisi pergantian pemerintahan baru.
Sebagian orang yang membaca tawaran ini sebagai suatu bentuk kesempatan dan peluang, padahal apa yang dilakukan pemerintah itu harus dicurigai dan dipahami secara kritis. Sebagaimana ujar-ujar lama mengatakan tidak ada makan siang gratis. Ini berarti bahwa ada sebentuk tukar tambah kepentingan antara ormas di satu sisi dan pemerintah di sisi lain.
Lebih jauh lagi, kemurahan hati untuk memberikan izin tambang adalah upaya untuk menjinakkan masyarakat sipil agar pemerintah dapat leluasa mengeruk kekayaan alam, menggunduli hutan dan mengangkangi konstitusi, tanpa perlu khawatir mendapat kritik atau ancaman dari masyarakat sipil.
ADVERTISEMENT
Klaim ini bukan omong kosong mengingat dua ormas yang menyambut gembira tawaran tersebut adalah ormas yang memiliki massa terbanyak di Republik ini. Hasil riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA mencatat jumlah pengikut NU mencapai 56,9% di tahun 2023 dan jumlah pengikut Muhammadiyah sekitar 5,7 persen dari total populasi penduduk Indonesia.
Niat baik dua ormas tersebut yang menerima tawaran konsesi tambang, sebagai ikhtiar untuk memenuhi kebutuhan umat itu akan berbanding terbalik dengan ekses yang akan didapat. Alih-alih memberdayakan keputusan tersebut justru berbahaya dan dapat membawa bencana.
Ada tiga alasan yang bisa dikemukakan di sini mengenai bahaya yang akan timbul jika ormas tetap bersikukuh untuk menerima konsesi tambang tersebut.
Pertama, ormas akan terkooptasi oleh negara dan akan mudah disetir atas nama kepentingan nasional. Begitu ormas mendapat izin untuk mengelola tambang maka akan terjalin hubungan yang anomali antara ormas dan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Ormas yang semula adalah unsur yang di luar pemerintahan kini secara tidak langsung akan terjerumus ke dalam politik praktis. Masuknya ormas keagamaan dalam politik praktis akan membuat mereka lebih mudah didikte dari dalam.
Hal ini berbahaya bagi demokrasi karena akan membuat negara cenderung otoriter dan anti kritik. Mikal Hem (2023) mengatakan salah satu ciri khas negara otoriter adalah dengan menciptakan oposisi yang dapat dikendalikan. Dengan begitu seorang pemimpin otoriter dapat melanggeng kekuasaannya.
Kedua, ormas sebagai masyarakat sipil akan berhadap-hadapan langsung dengan anggota mereka sendiri. Dari total 280 juta rakyat Indonesia 159 juta diantaranya adalah anggota NU (LSI, 2023) dan 60 juta anggota Muhammadiyah (Kemenag, 2019). Artinya keputusan untuk mengelola tambang akan berpotensi besar bersinggungan dengan massa mereka sendiri di akar rumput.
ADVERTISEMENT
Konsekuensi dari keputusan tersebut tidak ringan karena akan memicu meletusnya konflik horizontal dan memakan banyak korban. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat sepanjang 2014-2019, ada 62 konflik tambang yang melibatkan masyarakat-perusahaan, masyarakat-pemerintah, dan sesama masyarakat. Tercatat 269 orang menjadi korban kriminalisasi akibat konflik.
Ini berarti bahwa klaim ormas yang menerima tambang dengan alasan kepentingan umat nantinya malah akan menjadi bumerang bagi umat itu sendiri. Tidak ada tambang seharga nyawa manusia.
Ketiga, hilangnya independensi ormas keagamaan dan melekatnya stigma buruk sebagai ormas perusak lingkungan. Tidak ada agama yang tidak mengajarkan untuk menjaga lingkungan. Ormas mestinya menjadi teladan bagaimana seharusnya menjaga lingkungan itu bukan malah merusaknya.
Tidak sepatutnya ormas main-main dalam sektor yang bukan domain mereka. Alih-alih menyambut tambang ormas seharusnya menyatakan perang pada pengrusakan lingkungan termasuk tambang. Kemudian menuntun umat untuk melakukan pertobatan ekologis.
ADVERTISEMENT
Tobat ekologis adalah perubahan cara kita memandang, berinteraksi dan berperilaku dengan alam. Artinya segala macam upaya untuk melakukan eksploitasi pada alam harus dihilangkan. Dengan cara itulah independensi ormas keagamaan akan tetap terjaga.
Sudah saatnya ormas keagamaan kembali ke khitahnya, untuk memelihara dan memperdalam penghayatan iman umatnya yang bermuara pada dijunjungnya HAM dalam hidup bermasyarakat.