Saya dan Toponimi (2)

Aji Putra Perdana
Seorang Geograf(er) yang mengamati lingkungan sekitar dari sudut pandang geografi. Pemerhati Peta dan Toponim. Saat ini bekerja di Badan Informasi Geospasial.
Konten dari Pengguna
23 Agustus 2021 9:57 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aji Putra Perdana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Semalam (22/8), hati saya berontak dan memori saya perlahan membuka kenangan lama. Keduanya menggerakkan saya untuk segera menuliskan bagian ke-2 kisah perjalanan belajar tentang toponimi.
ADVERTISEMENT
Ide awal penulisan ini mau mengambil judul Kita dan Toponimi, karena sejatinya kita semua berinteraksi dengan yang namanya toponimi. Apalagi di zaman sekarang, toponimi ada di genggaman kita pada gawai dan aplikasinya.
ilustrasi toponimi pada aplikasi di gawai kita. Kredit Foto: Photo by Sebastian Hietsch on Unsplash
Zaman sebelum ada gawai, toponimi itu melekat di memori kita. Dikenal pula sebagai bagian dari peta mental. Masih adakah yang ingat jika kita tanya alamat? Kita akan diarahkan dengan penanda lokasi dan nama geografis/ nama rupabumi tertentu.
Oleh karena itu, kita semua sejatinya adalah seorang toponymist. Toponimi merupakan ilmu yang sebenarnya melekat dengan kehidupan kita semua dalam kesehariannya.
Berikut saya lanjutkan, kisah kenangan saya dalam upaya belajar tentang toponimi yang tak akan saya lupakan. Izinkan saya melanjutkan cerita antara Saya dan Toponimi. Semoga teman-teman pembaca kumparan berkenan untuk mengikutinya.
ADVERTISEMENT

Apalah arti sebuah nama (unsur geografis/ unsur rupabumi/ tempat)?

"Apalah arti sebuah nama?", quote penggalan yang kerap saya pergunakan sebagai pembuka untuk mengenalkan toponimi. Diambil dari petikan kisah Romeo dan Juliet karya William Shakespeare.
(Quote from Romeo and Juliet by William Shakespeare, ca. 1600)
Manusia dapat memberi nama suatu tempat sesuai dengan kehendaknya, hingga diperoleh konsensus dalam suatu kelompok tentang nama tempat tersebut. Penamaan yang diberikan pada tempat tersebut sebagai penanda/ identitas sekaligus menjadi pembeda.
Berbagai referensi menyatakan bahwa kecenderungan manusia untuk memberi nama diri adalah bentuk perwujudan jati diri. Acapkali penamaan yang diberikan untuk suatu tempat atau unsur geografis/ unsur rupabumi berkaitan dengan suatu makna dan cerita.
Namun, ada pula nama yang tanpa makna dan tidak ada cerita di dalamnya. Sekadar nama sebagai identitas diri dari unsur geografis/ unsur rupabumi tersebut.
ADVERTISEMENT
Kurang lebih itulah gambaran di awal yang saya peroleh pada tahun 2011 hingga awal 2012, semasa mengenal dan menggali toponimi. Ternyata mencari materi tentang satu pertanyaan dasar yaitu "What's in a (geographical) name?" membutuhkan penggalian yang lama.
Hingga sekarang pun saya masih cukup kesusahan untuk mencari pengertian sederhana untuk dikisahkan. Sering kali ilustrasi yang saya kenalkan menggunakan perumpamaan bahwa penamaan unsur geografis ini layaknya orang tua kita memberikan nama ke kita.
Orang tua kita tentunya menaruh harapan besar terhadap nama yang disematkan untuk kita. Kelekatan manusia terhadap sebuah nama cukup tinggi, hingga jika cermati maka nama belakang menjadi identik dengan nama keluarga atau marga.
Lalu benarkah nama itu cukup berarti? Masih ingatkah dengan lagu "Ibu Kita Kartini"? Silahkan teman-teman pembaca kumparan mencermati liriknya.
ADVERTISEMENT
Terdapat lirik: "...Harum Namanya" Selain jasa, perjuangan, dan kebaikan seseorang, maka keharuman nama akan selalu dikenang.
Saya masih ingat cerita seorang pengajar yang mengatakan bahwa nama diri kita dan nama tempat kita dilahirkan menempel terus, sejak akta lahir, identitas diri (KTP, SIM, dan sebagainya) hingga nanti pada papan nisan. Hingga pada tiap doa yang dipanjatkan untuknya kelak.
Rasanya saya merinding jika mengingat dan merasakan betapa lekatnya nama dalam kehidupan hingga kematian kita nanti.
Kesimpulan sederhananya dari perjalanan mencari "apalah arti sebuah nama?" adalah saya menemukan nama itu akan berarti, jika kita mampu memaknainya.
Kemudian, kadang tidak semua nama perlu dicari artinya, karena nama yang mungkin tak mempunyai arti tentunya mempunyai cerita di balik penamaannya. Sejarah pemberian nama yang layak kita lacak dan mendokumentasikannya.
ADVERTISEMENT
Mengumpulkan informasi arti dan/atau makna dari sebuah nama geografis/ nama rupabumi, kemudian sejarah penamaannya merupakan dua hal yang sampai sekarang cukup susah untuk didata secara komprehensif.
Lain kali saya akan membahas integrasi toponimi dan diagnosis yang dikembangkan oleh almarhum Prof. Sunarto. Saya cukup senang telah berkesempatan mengundang dan menyaksikan beliau dalam workshop toponimi sebagai bagian dari penelitian saya.
Meskipun, rasanya baru bertemu dalam acara singkat tersebut. Saya mencoba belajar dari beliau dalam tempo singkat. Beliau mengenalkan hubungan toponimi dengan geografi. Termasuk, cara penggalian makna sebuah toponim telah beliau bagikan.

Antara Peta, Tertib Administrasi Pemerintahan, dan Prinsip Penamaan

Saya merasakan betapa makin luasnya toponimi, beberapa tahun belakangan ini. Tatkala perkembangan pesat teknologi, hingga urgensi melestarikan toponim sebagai warisan budaya takbeda menjadi topik diskusi pakar toponimi di tingkat dunia.
ADVERTISEMENT
Awalnya, saya hanya mengenal tiga poin utama dalam toponimi dan kegiatannya di pemerintahan yaitu:
Sebagai seorang geograf(er) yang diterima di instansi pemerintah dengan tugas pokok dan fungsinya (saat itu) berkaitan dengan survei dan pemetaan, maka ekspektasi saya pertama kali mempelajari (tentunya wajar saja) jika tidak jauh dari: toponim dalam sebuah peta.
Bagaimana ukuran, warna, hingga jenis font toponim, termasuk tata letaknya pada muka peta, apakah mengikuti bentuk geometris unsurnya ataukah di titik tengah dari unsur tersebut. Berbagai hal teknis tersebut yang senantiasa menghantui dan saya tangkap.
ADVERTISEMENT
Bahkan, berdasarkan materi kuliah yang saya peroleh dari rekan kampus. Isi materi toponimi yang hanya bagian kecil dari materi kuliah memuat bagaimana kaidah peletakan toponimi pada sebuah peta.
Termasuk tentunya tata cara penulisan toponimi dan sedikit yang membahas bahwa ternyata toponimi cakupannya luas. Mengingat bidang keilmuan yang mempelajarinya dari mulai geografi, bahasa, sejarah, budaya, dan berbagai disiplin ilmu terkait lainnya.
Ternyata, selain toponimi dalam sebuah peta maka fungsi atau pemanfaatan lainnya adalah untuk menjaga ketertiban dalam administrasi pemerintahan. Mulai dari penamaan wilayah administrasi hingga identifikasi pulau berada di wilayah mana.
Kegiatan Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2006 diawali dengan pengumpulan dan verifikasi nama pulau. Konon pemantiknya adalah lepasnya sipadan ligitan dari NKRI.
ADVERTISEMENT
Saat saya menulis ini (23/8), Badan Informasi Geospasial (BIG) sedang menggelar rapat tentang kemajuan penelaahan nama pulau di Indonesia.
Dihadiri pula perwakilan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Pusat Hidro-Oseanografi TNI Angkatan Laut (Pushidrosal).
Kembali kisah saya zaman Bakosurtanal pada tahun 2011. Saat saya diterima di Bakosurtanal fokus kegiatan verifikasi nama geografis/ nama rupabumi telah bergeser ke peta jalan nama wilayah administrasi pemerintahan. Meskipun, kegiatan validasi dan verifikasi nama pulau tetap berlangsung, hingga saat ini juga.
Bersama dengan rekan sesama geograf(er) yang lebih dulu giat dalam toponimi di Kementerian Dalam Negeri, Tiyar (rekan satu angkatan semasa kuliah S1) dan Mas Hanafi (senior di atas kami satu tahun). Saya belajar banyak dari mereka berdua mengenai peran toponimi dalam tata pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Inilah foto kami bertiga, geograf(er) muda yang bekerja dan belajar untuk toponimi di kala itu. Sekarang, mereka berdua telah dipindah tugas mengurusi batas daerah dan desa, sedangkan saya masih berkutat di toponimi.
Tiyar, Mas Hanafi, dan Saya dari kiri ke kanan saat acara Seminar UNGEGN Tahun 2011. Dokumentasi Pribadi (Aji Putra Perdana)
Menertibkan dan menata nama geografis/ nama rupabumi di Indonesia agar baku sesuai kaidah penulisan dan prinsip penamaan bukanlah jalan yang mudah untuk ditempuh.
Perjalanan itu masih panjang, bahkan sampai sekarang pun masih terdapat nama yang belum sesuai dengan kaidah maupun prinsipnya. Contoh, prinsip penamaan yang sering dilanggar sampai sekarang dan malah semakin marak fenomenanya.
Prinsip penamaan tersebut yaitu prinsip harus menghindari penggunaan nama orang yang masih hidup sebagai nama geografis. Baru-baru saja, nama pasangan ganda putri peraih medali emas Olimpiade Tokyo diabadikan sebagai nama Gedung Olahraga.
ADVERTISEMENT
Sepertinya akan saya ulas terpisah juga mengenai penamaan tersebut. Beberapa waktu silam, sudah pernah saya ulas topik fenomena penamaan yang bertentangan dengan prinsip penamaan.
Lagi-lagi, kurangnya sosialisasi keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi ke berbagai Pemerintah Daerah, termasuk ke instansi pemerintah pusat melahirkan fenomena tersebut.
Ada yang bilang peraturannya kurang kuat karena tidak memuat sanksi. Oleh karena itu, memerlukan peraturan turunan di tingkat pemerintah daerah untuk memperkuat penerapan prinsip penamaan. Saya tidak akan membahas lebih dalam topik ini pada kisah Saya dan Toponimi.
Selain, pemahaman saya mengenai toponimi yang masih terbatas pada peta, tertib administrasi, dan prinsip penamaan ternyata tahun 2011 dan 2012 membawa saya ke dunia yang lebih luas.
ADVERTISEMENT
Akan saya tuliskan di edisi selanjutnya, bagaimana belajar toponimi dapat membawa saya ke Filipina dan New York. Belajar toponimi menjadi makin menarik dan membuka wawasan saya yang sempit tentang pemaknaan toponimi dan dampaknya bagi Indonesia.
***
Sekian dulu, cuplikan kisah perjalanannya, akan saya lanjutkan lain waktu lagi. Semoga tetap berkenan untuk mengikutinya. Inilah bentuk berbagi cerita sederhana ala ASN Menulis yang semoga dapat secara rutin saya tuliskan.
Konon katanya, sebuah tulisan adalah wujud peninggalan jejak yang semoga dapat menjadi bacaan bermanfaat bagi siapa pun yang membacanya.