Saya dan Toponimi (3)

Aji Putra Perdana
Seorang Geograf(er) yang mengamati lingkungan sekitar dari sudut pandang geografi. Pemerhati Peta dan Toponim. Saat ini bekerja di Badan Informasi Geospasial.
Konten dari Pengguna
27 Agustus 2021 8:14 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aji Putra Perdana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari Selasa (24/8), saat menulis draf kisah Saya dan Toponimi bagian ke-3, posisi saya sedang duduk di ruang tunggu Bandara Soekarno-Hatta menanti penerbangan menuju Kota Baubau via Makassar. Saya baru sempat lanjutkan kembali hari ini saat telah di Baubau (27/8).
ADVERTISEMENT
Mengingat kembali masa pertama kali saya mempunyai kesempatan untuk bergabung sebagai Delegasi Republik Indonesia dalam pertemuan ke-19 UNGEGN (United Nations Group of Experts on Geographical Names) Asia South-East and Pacific South-West (ASEPSW) Division.
Delegasi negara anggota UNGGEN ASEPSW yang hadir pada pertemuan ke-19. Kredit Foto: UNGEGN ASEPSW
Filipina, negara yang menjadi tuan rumah dalam pertemuan tersebut. Hubungan saya dan toponimi makin dekat seiring persiapan penyusunan laporan negara yang mesti disiapkan. Bagi saya, menghadiri pertemuan dua hari, 27-28 Februari 2012 di Filipina adalah pijakan untuk mengenal toponimi lebih dalam.
Sebagai salah satu Delegasi Republik Indonesia yang hadir dalam pertemuan divisi ke-19 UNGEGN ASEPSW, saya belajar bahwa toponimi lebih dari sekadar nama pada sebuah peta.
Lalu, apa saja yang saya pelajari dari perjalanan semasa Bakosurtanal hingga berkesempatan hadir pada pertemuan UNGEGN ASEPSW?
ADVERTISEMENT
Pertama, keberadaan divisi yang dibentuk berdasarkan kedekatan geografis maupun aspek linguistik atau kebahasaan ini suatu saat dapat juga dipisahkan berdasarkan pertimbangan kedua aspek tersebut juga.
Pertemuan ke-19 ini merupakan pertemuan terakhir dari divisi tersebut, karena dalam pertemuan tersebut disepakati untuk melakukan pemisahan kedua divisi. Usulan pemisahan ini telah muncul sejak pertemuan sebelumnya.
Pertimbangan mendasar karena kondisi geografis yang kerap kali menyusahkan untuk dihadiri secara penuh oleh semua negara anggota. Selain itu, pertimbangan kebahasaan juga mendasari alasan pemisahan Asia South-East dan Pacific South-West.
Negara anggota Asia South-East terdiri dari: Bhutan, Brunei Darussalam, Cambodia, Indonesia, Lao People's Democratic Republic, Malaysia, Myanmar, Philippines, Singapore, Sri Lanka, Thailand dan Vietnam.
Sedangkan, negara anggota Pacific South-West terdiri dari: Australia, Fiji, Nauru, New Zealand, Papua New Guinea, Samoa, Solomon Islands, Timor-Leste (East Timor), Tonga dan Vanuatu.
ADVERTISEMENT
Berpisahnya kedua divisi ini membawa dampak lebih mudahnya berkoordinasi dan bersinergi dalam tiap pertemuan dan agenda kerja tiap divisi.
Momen pertama kali mengikuti pertemuan UNGEGN ASEPSW. Dokumentasi Pribadi (Aji Putra Perdana)
Kedua, saya belajar tentang peran seorang geografer di bidang toponimi. Berikut saya quote salah satu paparan narasumber dari Filipina dalam Seminar UNGEGN ASEPSW. Beliau menyampaikan bahwa geografer berperan dalam interpretasi toponimi.
Dari situlah saya semakin sadar bahwa ternyata terdapat komunitas, pakar, dan pemerhati yang berasal dari berbagai latar belakang keilmuan dan lembaga/instansi menaruh perhatian terhadap toponimi.
Awal mula ditugaskan untuk belajar toponimi saya kerap merasa kesusahan mencari guru dan materi untuk dipelajari. Kesempatan yang diberikan oleh Almarhum Edwin Hendrayana (Kepala Pusat Pemetaan Dasar Rupabumi, Bakosurtanal) membuka wawasan saya.
Foto di atas diambil oleh almarhum Pak Edwin. Beliau adalah sosok yang menerima saya apa adanya, mengingat saya termasuk orang yang keras kepala dan terlalu sering bersuara.
ADVERTISEMENT
Beliau juga merupakan sosok yang "memaksa" saya untuk mengenal dan belajar tentang toponimi. Acapkali saya diminta hadir mewakili beliau dalam sejumlah pertemuan dengan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.
Ketiga, toponimi merupakan salah satu bidang keilmuan sekaligus bidang di pekerjaan yang kurang dilirik atau dilirik sebelah mata. Toponimi bakal dilirik secara penuh dan berlama-lama tatkala isu pulau atau ada konflik akibat peletakan toponimi pada peta.
ilustrasi peta kuno yang memuat toponim. Kredit Foto: Photo by Nik Shuliahin on Unsplash
Itulah yang saya rasakan pada awal bekerja untuk belajar mengenal toponimi dari sisi pengetahuan, teknis, sekaligus bagian dari pekerjaan rutin sebagai abdi negara.
Nah, saat itu Pusat Pemetaan Dasar Rupabumi, Bakosurtanal belum mempunyai bidang yang khusus menangani toponimi, sehingga jika beliau berhalangan maka disposisi akan turun ke saya dan Pak Widodo.
ADVERTISEMENT
Keempat, anak muda sok tahu tentang toponimi kerap diremehkan. Wajar rasanya bagi saya saat itu kerap sekali tidak dianggap "ada" kehadirannya.
Sebagai staf muda yang hanya hadir atas nama disposisi dari atasan kerap kali diremehkan, hingga saya senantiasa berusaha menyampaikan pendapat dan argumen saya. Lambat laun, dikenal sebagai sosok yang rewel.
Tampaknya, pesan almarhum Pak Edwin bahwa saya perlu belajar untuk lebih tenang dalam menyampaikan pendapat membekas dan mendidik saya secara perlahan. Bersama Pak Widodo lah saya belajar cara menjadi tenang dalam berpendapat.
Kelima, keberadaan sekretariat itu terlihat sepele tapi ternyata memegang peranan penting dalam kelancaran dan kejelasan koordinasi.
Pak Widodo juga merupakan senior sekaligus guru toponimi. Beliau inilah sosok yang mengelola kesekretariatan toponimi di Indonesia semasa TimNas Pembakuan Nama Rupabumi masih ada.
ADVERTISEMENT
Saya masih ingat keberadaan sekretariat yang sederhana ini di ruang utama Bakosurtanal (kini Badan Informasi Geospasial [BIG]). Segala sesuatu disiapkan dan dikoordinasikan dalam ruang kecil di pojokan.
Sebuah sudut ruangan yang mengajarkan saya dan belakangn ini baru makin saya sadari bahwa adanya kesekretariatan menjadi kunci berjalannya roda koordinasi.
Hingga, akhirnya ruangan itu pun tak lagi menjadi tempat kami berdiskusi. Kami digusur halus untuk pindah ke sebuah sudut lain di bawah tangga di Gedung Pusat Pemetaan Dasar Rupabumi berada.
Sampai tiba masanya TimNas Pembakuan Nama Rupabumi dibubarkan. Lenyap pula sekretariat tersebut, meskipun sempat ada sebuah kelompok kerja kesekretariatan TimNas Pembakuan Nama Rupabumi.
Namun, dukungan yang kurang kuat sehingga tetap saja kurang greget keberadaan dan urgensi toponimi. Nah, seiring berjalannya waktu, kini BIG mendapatkan amanah sebagai koordinator penyelenggaraan nama rupabumi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
***
Saya pun kembali bertanya, mampukah kita bersama menata dan merawat Indonesia melalui penamaan yang sesuai kaidah dan prinsip, sehingga melahirkan nama rupabumi baku?
Inilah celoteh saya bagian ketiga, untuk momentum dan kesempatan belajar ke markas besar PBB di New York, saya kupas lain kesempatan.
Tiap kita mempunyai jalan hidup masing-masing, selalu ada peluang dan tantangan dalam menjalani roda kehidupan ini. Senantiasa belajar dari lingkungan sekitar dan melakukan perbaikan diri semoga menjadikan kita lebih baik dari sebelumnya.
Salam Sehat dan Tangguh!