Sebuah Renungan: Geografer Memaknai Perjalanan Acak Melihat Indonesia Kini

Aji Putra Perdana
Seorang Geograf(er) yang mengamati lingkungan sekitar dari sudut pandang geografi. Pemerhati Peta dan Toponim. Saat ini bekerja di Badan Informasi Geospasial.
Konten dari Pengguna
4 Desember 2021 7:43 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aji Putra Perdana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu saat memilah berkas foto pada gawai, saya menemukan foto saat melakukan perjalanan udara menggunakan pesawat terbang. Sebagai seorang geografer pikiran acak saya pun melayang ke mana-mana.
ADVERTISEMENT
Angan pun melayang pada renungan perjalanan di tengah situasi pandemi COVID-19. Terlebih menjelang libur nataru, pembatasan gerak akan makin diperketat.
Berikut sebuah renungan acak yang sempat menghinggapi pikiran saya dan rasanya lebih baik saya tuangkan dalam rangkaian celoteh. Harap maklum jika nanti isinya loncat ke berbagai pokok bahasan dan fenomena yang terpikirkan sepintas lalu, dari sudut pandang geografi.
Foto yang saya temukan pada gawai dan membuat saya merenung. Dokumentasi Pribadi (Foto: Aji Putra Perdana)

Memaknai Perjalanan dan Interaksi di Ruang Publik

Celoteh ini dimulai dari renungan saya saat menjalankan tugas dan mesti menggunakan perjalanan udara dan darat. Bagi saya jika membandingkan antara perjalanan darat versus perjalanan darat, maka tantangan tertinggi saat pandemi adalah perjalanan udara.
Perjalanan udara adalah salah satu cara bagi kita melakukan pergerakan dari satu tempat ke tempat lain. Risiko bertemu dengan banyak orang seakan lebih tinggi ketimbang kita melakukan perjalanan darat, dalam hal ini dengan kendaraan pribadi.
ADVERTISEMENT
Beda lagi konteksnya jika perjalanan darat dengan menggunakan transportasi umum. Beda juga, jika perjalanan udara dilakukan dengan menggunakan jet pribadi.
Ilustrasi Perjalanan Darat Menggunakan Kereta Api. Dokumentasi Pribadi (Foto: Aji Putra Perdana)
Mungkin, perbandingannya dapat pula diganti yaitu perjalanan menggunakan kendaraan umum versus kendaraan pribadi. Meskipun, kita juga mesti percaya bahwa penyedia layanan kendaraan umum pun mestinya telah berusaha menerapkan protokol kesehatan.
Namun, kesadaran tiap diri kita tetap menjadi kunci dalam interaksi yang terjadi tatkala bertemu di ruang publik. Kenyataan yang ada kehidupan sudah tampak kembali normal.
Kelelahan akibat pandemi atau kelalaian kita dalam menggunakan masker maupun protokol kesehatan lainnya dapat terjadi setiap saat, baik disadari maupun tidak.
Satu hal lagi, kejenuhan kita yang sempat terkunci geraknya membangkitkan euforia cukup tinggi untuk bergerak lebih jauh dari kediaman. Baik sekadar pulang kampung halaman, hingga menyempatkan liburan di akhir pekan.
ADVERTISEMENT
Seorang kawan bilang bahwa pertanda hidup era kenormalan baru telah bangkit adalah pergerakan kendaraan bermotor di jalan mulai ramai, warung hingga perhotelan mulai ramai tingkat huniannya, kemudian daerah wisata bergeliat memberikan daya tariknya.
Seorang kawan saya yang lain menunjukkan pertanda makin normalnya kehidupan di akhir tahun ini adalah postingan media sosial yang menyajikan foto berlatar lokasi nan indah.
Sahabat-sahabatnya yang tidak lagi berkisaran pada foto di halaman rumah atau kesibukannya bekerja/belajar dari rumah. "Upaya membahagiakan diri dan keluarga sebagai bagian dari menjaga kesehatan mental di tengah pandemi", ujar seorang kawan.

Petik Ajar dari Pandemi COVID-19 dan Kesadaran Geografis Kita

Nah, mari balik ke sudut pandang yang lebih random terkait pelajaran dari pandemi COVID-19. Kemudian, sejauh mana sebenarnya kita menyadari sebagai warga yang tinggal di daerah rawan bencana agar kesiapsiagaan kita makin meningkat.
ADVERTISEMENT
Telisik sederhana menunjukkan bahwa pandemi COVID-19 mengajarkan kita arti pentingnya sumbangsih gerak diri atau mobilitas kita terhadap bencana nonalam, kesehatan diri, hingga dampak masif pada keterpurukan perekonomian.
Upaya pemulihan perekonomian dan terus berputarnya roda kehidupan menjadi hal yang digesa di tengah peningkatan kesadaran diri terhadap kesehatan.
Di sisi lain, sebagai bangsa yang mempunyai keunikan karakteristik geografis berupa negara kepulauan dan topografinya yang beragam. Jika kita cermati berita kebencanaan belakangan ini, maka kita masih melihat berita sejumlah lokasi yang masih terendam banjir.
Ilustrasi daerah tergenang akibat banjir. Foto oleh Pok Rie dari Pexels
Bencana alam hidrometeorologi di tengah bencana nonalam pandemi COVID-19 tentunya perlu menjadi perhatian dari berbagai pihak. Saya senantiasa percaya bahwa Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah telah menyiagakan berbagai instrumen dan strateginya.
ADVERTISEMENT
Sosialisasi dan edukasi melalui berbagai kanal pun tampaknya telah dilakukan, salah satu yang saya sering cermati adalah akun media sosial BMKG yang senantiasa membagikan informasinya dengan apik dan mendalam.
Beberapa waktu silam sebelum ramai berita dan sosialisasi tersebut, seorang senior geografi mengingatkan urgensi kesadaran geografis, lebih lanjut beliau menggunakan istilah kesadarpedulian geografis suatu bangsa diperlukan di tengah situasi dan ancaman bencana alam dan nonalam.
Dimulai dari kesadarpedulian geografis para pemimpin bangsa atau pengambil kebijakan hingga tentunya kesadaran kita semua sebagai warga negara yang tinggal di negara dengan kekhasan kondisi geografisnya.

Bahasan Random Lainnya

Kompleksitas penanganan bencana bangsa ini tidak berhenti pada sekadar pandemi COVID-19 dan bencana hidrometeorologi, ditambah problematika sosial ekonomi dan perpolitikan nusantara menjelang 2024 makin menambah khasanah kompleksitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
ADVERTISEMENT
Kebhinekaan bangsa ini nan tunggal ika makin diuji. Salah satu ujian terdekat adalah libur nataru di tengah situasi tak menentu dan kekhawatiran lonjakan kasus COVID-19 pasca varian baru merajalela di sejumlah negara.
Topik menarik lainnya adalah bahasan perubahan iklim dan deforestasi yang mencuat dan mendapat kritikan dari sejumlah pihak.
Hal tersebut terjadi pasca Presiden Joko Widodo menyampaikan dalam KTT G20 bahwa Indonesia berhasil menurunkan deforestasinya ke titik terendah dalam 20 tahun terakhir.
Saya melihat adanya urgensi satu data satu peta dan pemahaman sejauh mana proses analisis atau perhitungan yang tepat agar tersedia rujukan yang sama.
Ilustrasi peta sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Foto oleh Leah Kelley dari Pexels
Beda metode dalam penelitian juga hal yang wajar, bahkan mungkin dilakukan untuk menguji hasilnya. Namun, adanya kesamaan kerangka kerja adalah sesuatu yang dapat diupayakan.
ADVERTISEMENT
Tentunya kritik membangun bagi jalannya pemerintahan itu tetap hal yang perlu dilakukan agar roda kehidupan demokrasi dapat berjalan dengan baik. Terlebih tren saat ini partisipasi publik makin dibutuhkan di berbagai lini kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Salah satunya di kegiatan gotong royong informasi geospasial melalui pemetaan partisipatif dan urun daya. Di kesempatan lain akan saya coba ulas.

Kesimpulan

Saya coba tutup renungan acak kali ini renungan terkait pandemi COVID-19. Gerak batas kita kembali dibatasi demi kebaikan dan kesehatan tiap warga negara. Berat rasanya pasca kita seakan kembali merasakan kehidupan normal baru.
Menyadari bahwa gaya hidup di era pandemi COVID-19 di antaranya menggunakan masker adalah suatu tantangan edukasi tiada henti. Pengenalan hidup di era baru melalui kepedulian kita terhadap protokol kesehatan adalah kunci.
ADVERTISEMENT
Dinamika kebijakan terkait pembatasan gerak pun perlu disikapi dari sisi positif sebagai langkah yang diambil Negara untuk melindungi warganya.
Tetap melangkah dan jaga protokol kesehatan. Sekian #celotehfulan