Sudut Pandang Toponimi: Diplomasi dan Harmonisasi Nama Geografis (2)

Aji Putra Perdana
Seorang Geograf(er) yang mengamati lingkungan sekitar dari sudut pandang geografi. Pemerhati Peta dan Toponim. Saat ini bekerja di Badan Informasi Geospasial.
Konten dari Pengguna
5 November 2021 15:11 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aji Putra Perdana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tulisan kelanjutan dari topik sebelumnya yang membahas penamaan dan kaitannya dengan diplomasi antarnegara dan harmonisasi wilayah. Fokus pembahasannya adalah nama jalan atau dikenal juga sebagai odonim.
ADVERTISEMENT
Jika kita cermati belakangan ini, tren penamaan fitur geografis secara umum di Indonesia adalah penggunaan bahasa asing atau bahkan penggunaan nama orang yang masih hidup. Nah, jalan sebagai salah satu fitur geografis strategis tentunya tidak luput dari tren tersebut.

Mengapa muncul tren menggunakan bahasa asing, padahal tidak ada nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau keagamaan?

Pertanyaan yang menarik dengan jawaban sederhananya bahwa toponimi mempunyai nilai komoditas. Saya pernah menulis opini tentang komodifikasi toponim dan penggunaan Bahasa Indonesia.
Definisi dari komodifikasi toponim itu sendiri adalah transformasi toponim sebagai obyek yang bernilai ekonomi, sehingga penggunaan namanya dapat dipasarkan dan memikat pembeli.
Terlebih di tengah situasi pandemi dan upaya pemulihan ekonomi, maka kecenderungan komodifikasi toponim sepertinya akan memikat. Di sisi lain, kita mempunyai regulasi penamaan baik dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, maupun Peraturan Presiden.
ADVERTISEMENT
Dari sisi Undang-Undang, kita dapat melihat adanya kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Pasal 36 Ayat (3) UU No 24 Tahun 2009 tersebut dengan jelas menerangkan adanya kewajiban untuk menggunakan Bahasa Indonesia untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merk dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, hingga organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut dalam Pasal 36 Ayat (4) bahwa:
Ketentuan tersebutlah yang diadopsi sebagai prinsip utama dalam penamaan geografis sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi.
ADVERTISEMENT

Mengapa fenomena penamaan jalan menggunakan nama diri orang meningkat?

Pernahkah kita iseng mencermati nama jalan di sekitar kita? Adakah yang menggunakan nama diri orang, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal?
Berita terkait nama jalan, belakangan ini menimbulkan kontroversi bahkan menyerempet ke pokok bahasan agama. Topik usulan nama jalan yang kontroversial ini akan diulas di bahasan berikutnya.
Kembali ke fenomena penggunaan nama diri orang sebagai nama geografis. Nah, sebenarnya fenomena penamaan fitur geografis yang menggunakan nama diri orang bukanlah hal baru.
Hal ini makin menarik karena tren yang ada di Indonesia adalah penggunaan nama tokoh di luar negeri yang belum tentu mempunyai kontribusi atau malah menimbulkan kontroversi.
Satu hal yang perlu kita ketahui bahwa penggunaan nama diri orang sebagai nama fitur geografis berkaitan erat dengan motif penamaan. Penggunaan nama diri orang sebagai nama geografis pada awal mulanya berkembang dari motif posesif atau kepemilikan.
ADVERTISEMENT
Meskipun, kita ketahui bersama bahwa kenyataannya penamaan tersebut tidak dapat serta merta dimaknai sebagai bentuk kepemilikan yang sesungguhnya. Penggunaan nama diri orang sebagai nama jalan identik dengan upaya kita memperingati atau menghormati jasa orang tersebut.
Nah, belakangan ini sebagai implikasi dari gencarnya kerja sama bangsa Indonesia, maka nama jalan makin populer sebagai alat diplomasi bagian dari asas resiprokal (asas timbal balik dan manfaat).

Praktik Penggantian Nama Jalan dengan Nama Orang yang Masih Hidup

Contoh nyata yang dapat kita lihat adalah penamaan ruas Jalan Tol Layang Jakarta Cikampek II Elevated yang diganti menjadi Jalan Tol Layang MBZ Sheikh Mohamed Bin Zayed. Penggantian nama sebagai bentuk penerapan asas resiprokal.
Tol Layang Mohamed Bin Zayed (MBZ). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Nama Jalan Presiden Joko Widodo dinilai berada pada lokasi strategis, di salah satu ruas jalan utama, membelah ADNEC (Abu Dhabi National Exhibition Center) dengan kawasan yang ditempati sejumlah kantor perwakilan diplomatik.
ADVERTISEMENT
Ada harapan bahwa pertukaran nama jalan tersebut memiliki magnitudo yang sama, meskipun dari sisi panjang jalan dan jenis jalannya berbeda kelas.
Saya pun menelisik mengapa di Uni Emirat Arab (UEA) berani menamai jalan dengan menggunakan nama orang yang masih hidup. Hal ini tentunya bertentangan dengan resolusi PBB yang meminta:
Ternyata tren penamaan jalan menggunakan nama diri orang di UEA dimulai pada tahun 2013. Mereka mulai menggunakan nama diri pemimpin besarnya sebagai upaya mengenang dan menghargai kontribusi mereka.
Kemudian, merembet ke penggunaan nama diri tokoh atau pemimpin dari sejumlah negara sahabatnya. Tahun 2019, mereka meresmikan jalan King Salman bin Abdulaziz Al Saud sebagai salah satu ruas jalan di Abu Dhabi.
Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk penghargaan atas kontribusi dan bagian dari penguatan hubungan bilateral. Kasus yang sama juga terjadi pada penamaan Jalan Presiden Joko Widodo pada tahun 2020, bagian dari penguatan hubungan kerja sama dua negara.
ADVERTISEMENT
Nah, terdapat satu hal yang mungkin belum banyak diketahui oleh kita semua adalah UEA belum memiliki National Names Authority (NNA), termasuk belum tentu UEA mempunyai regulasi khusus yang memuat prinsip penamaan sebagaimana rekomendasi dalam resolusi PBB.
Oleh karena itu, wajar kiranya mereka memberlakukan konsep penamaan fitur geografis dengan penggunaan nama diri orang yang masih hidup.
***
Nasi sudah menjadi bubur, Jalan MBZ telah diresmikan meskipun pada kenyataannya tidak sesuai dengan prinsip nama rupabumi sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi.