Sudut Pandang Toponimi: Penamaan GOR Sasana Emas Greisya-Apriyani (1)

Aji Putra Perdana
Seorang Geograf(er) yang mengamati lingkungan sekitar dari sudut pandang geografi. Pemerhati Peta dan Toponim. Saat ini bekerja di Badan Informasi Geospasial.
Konten dari Pengguna
29 Agustus 2021 12:11 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aji Putra Perdana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagai pemerhati peta dan toponimi, tentunya saya memiliki kegundahan apabila terdapat penamaan unsur geografis (dikenal sebagai nama geografis/ nama rupabumi/ toponim) di Indonesia yang tidak sesuai dengan prinsip nama rupabumi.
ADVERTISEMENT
Padahal, saat ini Pemerintah Indonesia telah memiliki prinsip nama rupabumi sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2021.
Berikut saya berikan pengantar tentang fenomena penamaan dan contoh kasus yang telah terjadi di Indonesia, kemudian pada bagian berikutnya akan saya sampaikan peta masalah dan usulan kebijakan penggunaan nama orang yang berjasa atau berprestasi sebagai nama geografis/ nama rupabumi.

Apalah Arti Sebuah Penamaan?

Penamaan adalah kecenderungan dasar manusia; sama seperti nama membantu untuk menciptakan identitas yang berbeda untuk seorang individu, demikian halnya dengan penamaan unsur geografis yang dilakukan untuk membantu membedakan satu tempat dari yang lain.
Memberi nama unsur geografis dengan nama diri adalah salah satu cara masyarakat menandai lahan tersebut; satu cara mereka menandakan bahwa hidup mereka di sana dan kontribusi mereka untuk itu penting.
ADVERTISEMENT
Penamaan untuk penghargaan atau peringatan (commemorative naming) ternyata mampu memberi mereka rasa memiliki, meyakinkan ingatan yang terus-menerus tentang mereka dan perbuatan mereka.
Oleh karena itu, masyarakat memberi nama sungai, gunung atau lembah membantu menciptakan nuansa yang akrab, sering mengingatkan mereka tentang tempat, orang, atau waktu yang lainnya.
Ternyata, dalam proses penamaan ini berkaitan pula dengan aspek politik yang lazimnya terjadi berkaitan dengan penamaan unsur geografis di wilayah perkotaan, terutama penamaan jalan dan gedung/bangunan.
Acapkali toponim berkaitan dengan politik ini erat hubungannya dengan hegemoni ideologis, untuk melegitimasi penegasan spasial otoritas kedaulatan (kasus penamaan laut Natuna Utara) dan upaya untuk menunjukkan kekuatan simbolis.
Peresmian GOR Sasana Emas Emas Greisya-Apriyani. Kredit Foto: Instagram @aniesbaswedan
Ternyata penamaan gedung olahraga (GOR) Sasana Emas Greisya-Apriyani ini sebenarnya tidak sesuai atau bertentangan dengan prinsip penamaan unsur geografis/ unsur rupabumi yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah.
ADVERTISEMENT
Keinginan kita untuk memberikan penghargaan atau menjadikan peringatan terhadap jasa atau prestasi tokoh justru malah memantik bertentangan dengan regulasi yang sepertinya perlu lebih intensif disosialisasikan.

Kasus Penggunaan Nama Orang sebagai Nama Geografis di Indonesia

Kasus penamaan seperti itu bukan hal baru yang terjadi di Indonesia. Kita masih ingat adanya nama Bukit Soeharto diberi nama saat beliau masih hidup, kemudian di Jayapura ada nama Bukit Jokowi.
Kemudian di bulan April 2021, penamaan pantai di Kota Pariaman menggunakan nama Wapres Ma'ruf Amin, disusul penggantian nama Tol Jakarta - Cikampek II (Elevated) menjadi Jalan Layang MBZ Sheikh MOHAMED BIN ZAYED.
Kejadian lain, masih di bulan April pada minggu terakhir, terdapat polemik usulan penggantian nama Puncak Paku Mandeh di Pesisir Selatan, Sumatera Barat nama Puncak Jokowi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ternyata Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan sempat menyampaikan adanya pertimbangan untuk menamai kawasan Kota Tua Jakarta menjadi Batavia.
Seketika itu, saya pun langsung bertanya ke Bang JJ Rizal sebagai budayawan Jakarta melalui akun Twitter-nya. Mengingat Bang JJ Rizal salah satu tokoh budayawan yang paham seluk beluk Jakarta, dari perjalanan sejarah hingga toponiminya.
Berikut saya kutip jawabannya dari akun Twitter Bang JJ Rizal: "selain menyalahi amanah PP 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi, terlebih lagi pengubahan nama itu juga mengabaikan sejarah kawasan kota tua jakarta yang berlapis-lapis tak hanya sejarah kolonial, semoga Pak @aniesbaswedan dapat menimbang hal ini".
Mencermati fenomena tersebut, saya justru teringat saat survei toponimi di Natuna. Saya bertemu dengan salah seorang Kepala Desa yang mengantarkan saya berkeliling wilayahnya untuk merekam toponim jalan.
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba beliau menyampaikan bahwa penamaan jalan di wilayahnya melalui proses rembuk desa, kemudian apabila beliau juga menyampaikan bahwa penggunaan nama orang yang masih hidup sebagai nama jalan itu tidak diperbolehkan.
Salah satu kepala desa yang paham tentang prinsip penamaan dan sebelah kanan adalah foto papan nama jalan di wilayahnya. Dokumentasi Pribadi (Foto: Aji Putra Perdana)
Nama orang dapat digunakan apabila yang bersangkutan telah meninggal dunia dan berjasa untuk wilayahnya, namun penggunaannya juga menanti masa tunggu 5 tahun sejak meninggal.
Beliau menceritakan prinsip tersebut yang diperolehnya saat sosialisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi ke Pemerintah Daerah.
Jujur saat itu saya kaget dan terkesima karena ternyata sosialisasi yang dulu dilakukan ternyata sebagian terinfokan juga hingga ke Natuna. Lalu bagaimana situasi sosialisasi prinsip penamaan tersebut, pasca ditetapkanya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2021?
ADVERTISEMENT

Ternyata Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi Belum Dikenal Keberadaannya

Jika melihat situasi penamaan unsur geografis di Indonesia dalam tahun 2021 ini, sepertinya belum banyak yang mengetahui bahwa prinsip pemberian maupun penggantian nama unsur geografis di Indonesia kini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Sebelumnya, tertib penamaan tersebut diatur dalam Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, hingga sebelumnya dalam bentuk Peraturan Badan Informasi Geospasial.
Awal tahun 2021, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi telah ditetapkan Presiden Joko Widodo. Di dalam peraturan tersebut terdapat tentang prinsip penamaan unsur geografis, termasuk bagaimana penyelenggaraan nama rupabumi di Indonesia.
Unsur geografis atau unsur rupabumi bernama tersebut terdiri atas unsur alami dan unsur buatan. Unsur alami, misalnya gunung, sungai, laut, danau hingga unsur bawah laut seperti gunung api bawah laut, palung, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Kemudian, unsur buatan termasuk di dalamnya wilayah administrasi, permukiman, kampung, gedung/ bangunan, termasuk tentunya GOR.
Belakangan ini euforia kemenangan emas cabang olahraga badminton pada Olimpiade Tokyo 2020, pasangan Greysia Polii/ Apriyani Rahayu mendapat penghargaan dan hadiah dari berbagai pihak.
Hingga, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menjadikan nama GOR yang berada di kawasan Pusat Pelatihan Olahraga Pelajar (PPOP), Ragunan, Jakarta Selatan dengan nama “Sasana Emas Greysia-Apriyani.”
Peresmian nama GOR tersebut berlangsung pada pertengahan Agustus tepatnya hari Sabtu (14/08) bertepatan dengan peringatan hari pramuka.
Di balik pemberian nama pastinya tersirat sebuah harapan. Anies berharap bahwa penamaan GOR tersebut dengan nama Greysia-Apriyani dapat memotivasi generasi muda yang berlatih di kawasan PPOP tersebut untuk dapat berprestasi.
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian besar masyarakat tentunya ini adalah salah satu bentuk penghargaan, selain berbagai pemberian hadiah wujud apresiasi terhadap pasangan ganda putri tersebut.
Namun, ternyata bagi sebagian kecil kalangan yang memahami adanya Peraturan Pemerintah, termasuk alasan utama keharusan menghindari penggunaan nama orang sebagai nama unsur geografis.
Saya pun menyadari bahwa ternyata Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi belum disosialisasikan dengan baik.
Salah satu grup WhatsApp (WA) Toponimi yang berisi pakar, akademisi, praktisi, hingga pemerhati toponimi (penamaan unsur geografis/ unsur rupabumi) di Indonesia, kembali tergugah untuk mengingatkan Pemerintah.
Bahkan, mempertanyakan apakah keberadaan PP tersebut belum disosialisasikan ke Gubernur Se-Indonesia?
Salah satu perwakilan dari lembaga yang diberi wewenang menangani penyelenggaraan nama rupabumi dan tergabung pula dalam grup WA tersebut mengutarakan bahwa pandemi menjadi salah satu faktor belum optimalnya pelaksanaan sosialisasi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, masih digodoknya perangkat penyelenggaraan yang belum rampung (seperti aturan turunan, prosedur, dan petunjuk teknis) menjadi alasan lain belum dilakukannya sosialisasi ke pemerintah daerah hingga kementerian/lembaga secara menyeluruh.