Konten dari Pengguna

Polemik Lembaga Kebudayaan Rakyat terhadap Manifes Kebudayaan 1950 - 1965

Ajie Dzulvian Akbar
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah
29 April 2022 12:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ajie Dzulvian Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejarah Sastra Indonesia, Polemik Lekra dengan Manikebu *Gambar hasil editan pribadi melalui apl Canva*
zoom-in-whitePerbesar
Sejarah Sastra Indonesia, Polemik Lekra dengan Manikebu *Gambar hasil editan pribadi melalui apl Canva*
ADVERTISEMENT
Tahun 1950 berdirilah di Jakarta Lembaga Kebudayaan Rakyat yang kemudian dikenal dengan sebutan Lekra. Sebagai sekretaris jenderalnya yang pertama bertindak A. S. Dharta. Rupanya pada mulanya Lekra ini belum lagi merupakan organ kebudayaan dari PKI. di antara yang hadir pada ketika pembentukan Lekra itu terdapat orang-orang yang kemudian menjadi musuh yang secara tak ampun di hantamnya, antara lain H. B. Jassin Achdiat K. Mihardja. Agaknya baru kemudian setelah PKI kian kuat kedudukannya, Lekra secara resmi menjadi organ kebudayaan. ‘Mukadimah’ Lekra menjadi dasar pendirian dasar sikap para anggotanya baru disusun beberapa tahun kemudian. Lekra dengan tegas menganut “seni untuk rakyat” tak henti-hentinya menghantam golongan yang menganut paham “seni untuk seni” atau yang berlainan dengan pendiriannya (Ajip Rosidi, 1991 : 163).
ADVERTISEMENT
Dengan apa yang di sampaikan Ajip Rosidi demikian, situasi yang terjadi di Indonesia pada saat itu ialah situasi panasnya dunia politik sehingga melahirkan karya-karya sastra yang mendalami politik pada masa itu. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan munculnya kelompok-kelompok sastra pada tahun 1950-an hingga 1965 secara utuh yang menyebabkan perdebatan terkait persoalan sastra.
Menurut Ariel Heryanto (1985 : 39) sastra politik bukanlah satu objek yang terpisah tidak berhubungan sama sekali. Menurut Ariel, hubungan antara sastra politik bukan sebagai hal yang mandiri yang mempunyai persinggungan-persinggungan di tepi wilayah masing-masing. Batasan-batasan yang membedakan sastra yang bukan sastra itu sendiri. sekaligus membentuk hubungan-hubungan kemasyarakatan yang ber-politik.
Masa itu terdapat berbagai kelompok sastra yang memberikan kesan pandangan terhadap politik. sehingga banyak perdebatan yang terjadi pada masa itu. dari banyaknya kelompok sastra yang lahir, perdebatan terkait sastra terdapat pada dua kelompok yaitu : Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) Manikebu (Manifes Kebudayaan). Polemik tersebut berlangsung secara berlarut-larut seiring berlangsungnya sosial-politik di Indonesia antara kelompok komunis non-komunis, di akhiri dengan terjadinya peristiwa G30SPKI diangkatnya pemerintahan masa orde baru.
ADVERTISEMENT
Lekra pada hakikatnya memiliki cenderung pandangan pada realisme sosial sering dianggap memiliki hubungan dengan tradisi paham politik kiri yang diidentikkan dengan PKI, di luar daripada itu Lekra adalah kelompok yang paling maju dalam bidang penerbitan, terlebih mungkin satu-satunya yang melangsungkan penerbitan karya sastra ke dalam bentuk buku, karangan yang ditulis di luar daripada anggota mereka pun di terbitkan, selagi di anggap oleh mereka menguntungkan, contohnya seperti Zaman Baru (1962) yaitu kumpulan sajak Sitor Situmorang yang di terbitkan oleh Lekra walaupun Sitor adalah orang dari LKN. sedangkan Manikebu adalah kelompok sastra yang berlandaskan Humanisme Universal atau berdasarkan kebudayaan, tentunya bertentangan dengan visi daripada Lekra.
Manifes Kebudayaan memiliki perbedaan terhadap Lekra, terkhusus dalam aliran seni. Manifes Kebudayaan ini lahir salah satunya di sebabkan karena adanya faktor politik. pada tanggal 17 Agustus 1963 Manifes Kebudayaan mengumumkan naskah pedoman para anggota, tidak hanya pedoman yang tertulis di dalamnya melainkan sikap terkait apa itu kebudayaan . Naskah pedoman tersebut di susun di tanda tangani oleh beberapa pengarang Jakarta, di antaranya H. B Jasiin, Wiranto Soekito, Goenawan Mohammad, Soe Hok Djin lain-lain.
ADVERTISEMENT
Manifes Kebudayaan banyak mendapat sambutan di berbagai pelosok bangsa Indonesia, khususnya para pengarang seniman kebudayaan yang berada di kota terpencil, mendapatkan teror dari Lekra beserta jajarannya, melihat Manifes Kebudayaan lahir sebagai tanda selamat. Dengan demikian mereka semua menyatakan mendukung Manifes Kebudayaan yang di terbitkan melalui majalah sastra para penerbit lain yang di pegang para pendukung dari Manifes Kebudayaan.
Dengan adanya Manifes Kebudayaan sangat mempermudah Lekra beserta jajarannya untuk menghancurkan orang-orang yang selama ini menentang Lekra di anggap sebagai musuh. Orang-orang yang menentang dari Lekra awalnya sulit untuk di hancurkan sebab tidak dapat di temukan secara terbuka, kemudian muncul secara terang-terangan, sehingga menjadi sasaran utama bagi Lekra sendiri. Surat kabar Majalah pada saat itu hampir keseluruhan di kuasai oleh PKI. Lantas surat kabar Majalah di jadikan senjata utama untuk menghancurkan kelompok Manifes Kebudayaan.
ADVERTISEMENT
Manifes Kebudayaan yang tahu akan hal tersebut tidak tinggal diam, Manifes Kebudayaan mempersiapkan dengan (KKPI) konferensi Karyawan Pengarang. konferensi ini berlangsung di Jakarta Maret 1964, menghasilkan (P.K.P.I) Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia, namun sebelum berjalan saat itu presiden mengatakan Manifes Kebudayaan terlarang, hal tersebut adalah guncangan besar bagi gerakan tersebut. Lekra memegang senjata yang cukup kuat untuk menghancurkan pengarang atau budayawan yang tidak sepaham dengan visi daripada Lekra.
Dengan dobrakkan yang di berikan Lekra terhadap Manifes Kebudayaan menyebabkan majalah sastra dituntut untuk dilarang untuk terbit, majalah lain yang di anggap sebagai dorongan Manifes Kebudayaan berhenti dengan sendirinya sebab terkena mental yang di derita akibat dari dobrakkan Lekra.
Polemik yang terjadi kita dapat melihat mengenai seni yang di perjuangkan dari kedua belah pihak, seni yang di perjuangkan oleh Lekra seni yang di perjuangkan oleh Manifes Kebudayaan. Lekra yang sejalan dengan program politik PKI memiliki kekuatan yang sangat membesar setelah menjadi bagian dari pemerintahan yang mendukung manifesto politik Soekarno, sehingga menyebabkan kekuatan non-komunis menjalankan kritik-kritiknya untuk sastra yang di susun oleh Lekra, Sastrawan non-komunis seperti H. B Jassin, Goenawan Mohammad, Soe Hok Djin, lain-lain. Mereka semua beranggapan bahwasanya sastra budaya memiliki nilai netral terhadap persoalan politik, tetapi mereka di tentang oleh Lekra yang beranggapan sastra harus memiliki nilai mengabdi terhadap rakyat revolusioner. Hal tersebut dapat terbukti, bahwa polemik antara dua kelompok bukan hanya terjadi dalam sebuah tulisan melainkan terjadi secara konteks
ADVERTISEMENT
DAFTAR PUSTAKA
Rosidi, Ajip, 1991. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, Bandung : Bina Cipta.
Muhammad Latief, Azhari, 2018. Skripsi: Politik Sastra: Konflik Aliran Sastra Antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Dan Manifes Kebudayaan (Manikebu) 1950-1965, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Heryanto, A. 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual, Jakarta : Rajawali.