Konten dari Pengguna

BRIN dan Ekosistem Riset Nasional

ajisofanudin
Senior Researcher pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
24 Oktober 2024 13:43 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ajisofanudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Tata Kelola BRIN pada Pemerintahan Baru

ADVERTISEMENT
Aji Sofanudin
Senior Researcher pada Pusat Riset Agama dan Kepercayaan, BRIN
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Jl MH Thamrin No 8 Jakarta Pusat (sumber: dokumen pribadi)
Meskipun jumlah kementerian pada pemerintahan Prabowo bertambah banyak, namun belum ada satu kementerian pun yang spesifik membidangi riset dan inovasi. Dari 48 Menteri, 56 Wakil Menteri, dan 5 Kepala Lembaga pada kabinet Merah Putih, tidak ada kementerian riset. Menjadi pertanyaan, bagaimana dengan nasib para periset pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di bawah pemerintahan baru Prabowo.
ADVERTISEMENT
Keputusan Presiden Republik Indonesia No 133/P tahun 2024 tentang Pembentukan Kementerian Negara dan Pengangkatan Menteri Negara Kabinet Merah Putih periode tahun 2024-2029 tidak ada yang khusus membidangi riset dan inovasi. Ada yang mirip yaitu Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi yang "digawangi" Prof Satryo Soemantri Brodjonegoro. Tetapi tidak secara spesifik menyebut diksi riset dan inovasi. Mafhum, kementerian ini merupakan “pecahan” Kemendikbudristek (Nadiem Anwar Makarim) yang dibagi menjadi tiga kementerian: Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Prof Abdul Mu'ti); Kementerian Kebudayaan (Dr Fadli Zon); dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Prof Satryo Soemantri Brodjonegoro). Kejelasan masa depan BRIN menjadi pertanyaan pada banyak sivitas BRIN.
Ada beberapa prediksi terkait masa depan BRIN. Pertama, BRIN dikembalikan menjadi seperti semula, yaitu: LIPI, BPPT, BATAN, LAPAN, dan Badan Litbang pada Kementerian. Opsi ini sepertinya tidak akan diambil pemerintahan Prabowo, meskipun ada juga sebagian periset yang memimpikannya. Bagi periset ex-kementerian akan sulit untuk kembali lagi ke kementerian asal karena lembaga Litbang di K/L sudah bubar.
ADVERTISEMENT
Kedua, berdiri mandiri sebagai sebuah badan, sebagaimana saat ini. Secara faktual, BRIN berada di bawah "cantolan" Dewan Pengarah BRIN. Mafhum bahwa Ketua Dewan Pengarah BRIN adalah juga Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), yakni Megawati Soekarnoputri. Opsi ini, sepertinya kecil, dilihat dari konstelasi politik saat ini. Apalagi di media, Ibu Megawati Soekarnoputri pernah menyampaikan tidak mendapatkan gaji dari BRIN sebagai bakti kepada negara, karena sudah digaji dari BPIP.
Ketiga, tetap sebagai badan mandiri dengan betul-betul mandiri. Artinya, dalam struktur BRIN sudah tidak ada lagi dewan pengarah. Posisi seperti ini sangat memungkinkan karena secara substansi riset, sebenarnya peran dewan pengarah BRIN tidak begitu signifikan. Peran dewan pengarah sangat terasa di periode awal integrasi. Tetapi setelah terbentuk sepertinya BRIN berjalan sendiri. Sebagai contoh, topik riset di BRIN lebih banyak bersifat bottom up ditentukan oleh tim riset secara mandiri.
ADVERTISEMENT
Sehingga sangat mungkin, BRIN akan menjadi lembaga pemerintah yang berada di bawah koordinasi Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Beberapa kedeputian di BRIN, bisa jadi akan "lebur" menjadi kementerian. Sementara Organisasi Riset/Pusat Riset, akan tetap menjalankan fungsi yang sama. Wallahu'alam.
Namun, secara faktual Perpres No 139 tahun 2024 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kementerian Negara Kabinet Merah Putih Periode 2024-2029, tidak menyebutkan BRIN sama sekali. Bahkan, diksi riset dan inovasi pun tidak ada. Ada diksi riset, tetapi dalam konteks riset sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggim yakni riset dalam konteks Perpres 62 tahun 2021 tentang Kemdikdikbudristek. Sementara, tata kelola BRIN masih dengan regulasi lama, yakni Perpres No 78 tahun 2021 tentang BRIN. Istilah riset dan inovasi tidak ditemukan dalam Perpres No 140 tahun 2024 tentang Organisasi Kementerian Negara.
ADVERTISEMENT
Tulisan di bawah ini sekedar refleksi atas tata kelola BRIN di bawah Kepala BRIN, Bpk Laksana Tri Handoko atau yang populer dipanggil Pak LTH. Opini ini bersifat pribadi, dan tidak mewakili pandangan lembaga.
Ekosistem Riset Nasional
Dalam berbagai kesempatan, Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko seringkali menyebutkan tentang 3 arah dan 7 target BRIN. Arah BRIN meliputi: (1) Integrasi sumber daya IPTEK (manusia, infrastruktur, dan anggaran). Hal ini untuk meningkatkan critical mass, kapasitas dan kompetensi riset Indonesia dalam menghasilkan invensi dan inovasi sebagai fondasi Indonesia maju 2045; (2) Menciptakan ekosistem riset berstandar global, terbuka (inklusif) dan kolaboratif bagi semua pihak (akademisi, industri, komunitas, dan pemerintah); (3) Menciptakan fondasi ekonomi berbasis riset yang kuat dan berkesinambungan dengan fokus digital (green-blue economy).
ADVERTISEMENT
Adapun 7 target BRIN meliputi (1) Integrasi lembaga riset pemerintah sampai dengan 1 Januari 2022; (2) Transformasi proses bisnis dan manajemen riset secara menyeluruh untuk percepatan peningkatan critical mass sumber daya (manusia, infrasutruktur, anggaran) iptek; (3) Refocusing pada riset untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi berbasis sumber daya alam dan keanekaragaman (hayati, geografi, seni dan budaya) lokal, selain mengejar ketertinggalan iptek; (4) Menjadikan Indonesia sebagai pusat dan platform riset global berbasis sumber daya alam dan keanekaragaman (hayati, geografi, seni budaya) lokal; (5) Fasilitasi dan enabler industri nasional melakukan pengembangan produk berbasis riset, dan menciptakan industri dengan basis riset kuat dalam jangka panjang; (6) Menjadi platform penciptaan SDM unggul di setiap bidang keilmuan, dan wirausaha berbasis inovasi iptek; (7) Meningkatkan dampak ekonomi langsung dari "aktivitas" riset, dan menjadikan sektor iptek sebagai tujuan investasi jangka panjang serta penarik devisa.
ADVERTISEMENT
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa BRIN dibentuk bukan khusus untuk sivitas BRIN. BRIN dirancang terbuka (inklusif) untuk semua stakeholders riset: dosen, akademisi, praktisi, agamawan, ilmuwan, guru, dokter, pelaku usaha, aktivis sosial, dan sebagainya. Sivitas BRIN diperkenankan bekerja di tempat manapun (Work for Anywhere). Pengaturan presensi kerja ditentukan oleh masing-masing unit kerja OR/PR/kedeputian (Kebijakan ini akan ditinjau ulang berdasarkan paparan apel pagi Kepala BRIN, 7 Oktober 2024). Pendanaan riset bersifat terbuka, bahkan periset BRIN sendiri tidak bisa melakukan riset tanpa kolaborasi dengan mitra. Mekanisme riset bersifat kompetitif, tidak ada bagi-bagi ”kue riset”. Seluruh fasilitas infrastruktur riset di BRIN dapat diakses tidak hanya oleh periset Indonesia tetapi juga oleh pengguna global. Melalui facility sharing dan joint funding, infrastruktur BRIN terbuka untuk semua. Barangkali inilah yang disebut sebagai New Research Ecosystem in Indonesia.
ADVERTISEMENT
Problem Utama BRIN
Di banyak kesempatan, Kepala BRIN, LT Handoko menyampaikan ada berbagai problem riset dan inovasi di tanah air. Jika dipetakan setidaknya ada tiga jenis: SDM unggul, infrastruktur dan dana. Dari tiga hal tersebut, BRIN pada 2-3 tahun terakhir ini lebih fokus pada penataan infrastruktur. Hal ini terlihat dari renovasi besar-besaran di KST Cibinong Soekarno, KST Habibie Thamrin, KS Gatot Subroto, Karangsembung, dan sebagainya. Dua aspek lainnya yakni persoalan SDM dan pendanaan riset seperti tertinggal.
Proporsi masing-masing sebagaimana sering disampaikan yakni SDM 70 %; infrastruktur 20 %; dan pendanaan 10 % tidak proporsial. Proporsi SDM unggul yang paling besar dalam implementasinya belum mendapatkan perhatian yang memadai. Meskipun harus diakui tidak mudah mengintegrasikan periset di berbagai lembaga/badan seperti LIPI, BPPT, LAPAN, BATAN dan unit kelitbangan kementerian/lembaga menjadi satu . Proses integrasi SDM yang dilakukan oleh BRIN bisa dikatakan sukses. Dalam waktu sekitar dua tahun (2020-2021), proses integrasi ke dalam BRIN selesai.
ADVERTISEMENT
Namun, proses integrasi tersebut menyisakan berbagai permasalahan. Di antara yang terlihat nyata adalah soal budaya kerja yang berbeda di antara berbagai instansi. Kultur kerja instansi lama (ex Kementerian) tidak sama dengan kultur kerja di BRIN. Beruntung BRIN memiliki kepemimpinan yang strong. Model kepemimpinan ”strong” yang diterapkan Kepala BRIN LT Handoko sedikit banyak telah menjadikan LIPI sebagai rujukan. BRIN adalah LIPI Baru, sehingga budaya kerja di BRIN merujuk pada budaya kerja di LIPI. Meminjam istilah yang digunakan mantan Kepala Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN, Lilis Mulyani ada proses lipinisasi.
Meskipun tentu argumentasi ini tidak seluruhnya benar. Tentu ada dialektika di antara sesama periset. Ada proses saling mempengaruhi baik disengaja ataupun proses alamiah. Di samping tentu saja seiring perjalanan waktu LIPI sendiri mengalami perubahan. LIPI dulu, tentu tidak sama dengan BRIN sekarang.
ADVERTISEMENT
Kelembagaan BRIN
Dilihat dari kelembagaan BRIN, tampak jelas dibedakan (dipisahkan) berbagai fungsi, yakni fungsi pendanaan (input), fungi pelaksana (proses, substansi), dan fungsi out put (kebijakan, teknis). Fungsi input, terdiri atas Deputi Sumberdaya Manusia IPTEK (SDMI); Deputi Fasilitasi Riset dan Inovasi (DFRI); Deputi Infrastruktur Riset dan Inovasi (DIRI); dan Deputi Pendanaan Riset dan Inovasi (DPRI). Sementara fungsi executing agency (pelaksana) adalah Organisasi Riset dan Pusat Riset. Fungsi hilirisasi ada pada Deputi Kebijakan Riset dan Inovasi (DKRI); Deputi Kebijakan Pembangunan (DKP), dan Deputi Riset dan Inovasi Daerah (RIDA). Ketiga fungsi tersebut dipisahkan kelembagaannya secara tegas.
Di antara ketiga fungsi tersebut, hemat kami fungsi input/hulu mendapatkan perhatian yang paling menonjol yakni fungsi DIRI (Deputi Infrastruktur Riset dan Inovasi). Semua kedeputian, hanya memiliki tiga atau empat direktorat. Sementara DIRI memiliki 5 direktorat yaitu: (1) Direktorat pengelolaan koleksi ilmiah, (2) Direktorat pengelolaan armada kapal riset, (3) Direktorat pengelolaan laboratorium, fasilitas riset, dan kawasan sains teknologi, (4) Direktorat pengelolaan fasilitas ketenaganukliran, dan (5) Direktorat kemitraan infrastruktur riset dan inovasi. Ini menjadi indikator bahwa yang paling penting di dalam pengelolaan BRIN adalah infrastruktur, bukan manusia.
ADVERTISEMENT
Dalam realitasnya kebijakan BRIN selama ini lebih fokus terkait infrasruktur. Berbagai gedung dibangun seperti kawasan Cibinong, Thamrin, Gatot Subroto, Karangsembung, dan sebagainya. Tetapi aspek manusia dalam BRIN belum mendapatkan perhatian secara optimal. Apalagi kondisi periset OR/PR hemat kami seperti anak tiri, ”digebukin” dengan berbagai aturan/regulasi. Ditambah BRIN hanya menerapkan ”punishment” tetapi belum menerapkan ”reward”. Periset yang berkinerja rendah (di bawah ekspektasi) dipotong tunjangan kinerjanya. Sementara periset berkinerja tinggi (di atas ekspektasi) tidak mendapatkan reward apapun. Ditambah lagi standar keuangan di BRIN justru lebih rendah dari yang sudah ditetapkan kementerian keuangan. Ada kesan, seperti ”melarang” periset untuk melakukan pengumpulan data. Kebijakan ini hemat kami, tidak sesuai dengan best practice sejarah tata kelola lembaga riset dalam khazanah keislaman.
ADVERTISEMENT
Dalam sejarah peradaban Islam, pernah ada lembaga semacam BRIN pada masa Abbasyiah yang dikenal sebagai House of Wisdom atau Bait Al-Hikmah. Harun Al-Rasyid dan penggantinya Al-Ma’mun dikenal sebagai raja yang mencintai ilmu, sehingga mendorong semangat agama yang mencintai ilmu, mendorong lahirnya ilmuwan dan cendekiawan. Lembaga ini menjadi rujukan dan barometer perkembangan pengetahuan dunia pada masa itu. Pada masa itu lahir ilmuwan kondang seperti Jamsyid Giatsuddin Al-Kasyi (astronomi), Al-Khawarizmi (matematika), Al Farabi (filsafat), Jabir Ibn Hayyan (kimia), Ibnu Sina (farmakologi), dan lain sebagainya.
Raja mendukung penuh pengembangan ilmu pengetahuan di antaranya dengan melakukan penerjemahan besar-besaran berbagai disiplin ilmu. Kegiatan riset (penerjemahan) sepenuhnya diinisiasi dan didukung pendanaan penuh oleh negara, untuk kepentingan negara. Riset untuk kepentingan negara.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan BRIN sekarang, seperti menyerahkan kebijakan riset ini pada ”pasar”. Riset untuk kepentingan pasar. Hemat kami, untuk hal-hal yang terkait dengan kepentingan nasional, mestinya BRIN memiliki skema khusus dengan pembiayaan penuh dari negara bukan diserahkan kepada mekanisme pasar.
Saat ini, banyak periset membuat proposal dengan topik yang berbeda-beda sesuai dengan selera ”pasar” (target lembaga donor), bukan didorong oleh kepentingan besar negara. Jika dulu, Pak Habibie memiliki obsesi membuat pesawat terbang, saya belum dapat menangkap sebenarnya Pak LT Handoko memiliki obsesi apa untuk kemaslahatan bangsa.
Terlepas dari itu, BRIN di bawah nahkoda LT Handoko, sudah menerapkan merit system yang bagus di BRIN. Tidak mudah mengelola SDM BRIN dengan jumlah ribuan yang tersebar di berbagai daerah.
ADVERTISEMENT
Secara pribadi, saya kurang setuju sekiranya pimpinan BRIN berencana mewajibkan seluruh periset untuk bekerja di homebase kantor (wajib presensi di Jakarta). Karena itu artinya, mengembalikan penilaian kinerja berbasis proses, bukan out put.
Apakah tidak ada alternatif lain? Misalnya periset BRIN yang di daerah "wajib" berkolaborasi dengan kampus di lokasi tempat bekerja. Bukankah Periset bidang sosial humaniora tidak membutuhkan laboratorium khusus? Bagi periset bidang sosial keagamaan, labaoratoriumnya adalah masjid, gereja, dan rumah ibadah lainnya. Ormas keagaamaan, majelis-majelis agama, lembaga pendidikan keagamaan adalah laboratorium yang perlu dielaborasi oleh periset sosial keagamaan.
Bisa jadi periset di daerah, akan suka rela masuk full time, senin-jumat tetapi cukup di daerah/lokasi kerja daerah (CWS) dibandingkan harus masuk kerja satu atau dua hari, tapi di Jakarta/IKN.
ADVERTISEMENT
Namun, kalau sudah menjadi keputusan (hitam di atas putih), sebagai keluarga besar BRIN saya tentu akan tegak-lurus. Dalam bahasa agama, sami'na wa atho'na, kami mendengar dan kami taat.
Jakarta, 22 Oktober 2024
Aji Sofanudin
Peneliti pada Pusat Riset Agama dan Kepercayaan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Opini ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili lembaga