Konten dari Pengguna

Sungai Serang dan Sejarah Desa Muncar, Kabupaten Semarang

Aji Samsudin
Saya sedang mengenyam kuliah S1 di jurusan Ilmu Sejarah di Universitas Negeri Semarang.
23 Oktober 2024 18:48 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aji Samsudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sebagian Sungai Serang yang melewati Desa Muncar, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Sebagian Sungai Serang yang melewati Desa Muncar, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
ADVERTISEMENT
Suasana pagi terasa sejuk di Ngidam Muncar. Tempat itu merupakan sebagian kecil dari Desa Muncar, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang. Hamparan sawah di sana berwarna hijau terang. Sebuah joglo berdiri megah di depan jembatan gantung. Dan di bawah jembatan gantung itu terdengar riak sungai besar mengalir tenang. Ketika saya bertanya pada penduduk sekitar, mereka menyebut sungai itu sebagai “Sungai Serang”.
ADVERTISEMENT
Namanya unik, sebab jika merujuk pada tempat, Serang adalah nama wilayah di Provinsi Banten, yang mana tentu saja jauh dari desa ini. Kalau begitu, kenapa diberi nama Sungai Serang?
Dengan didasari rasa penasaran, saya coba bertanya pada penduduk di desa apakah ada alasan khusus yang mendasari penamaan Sungai Serang? Setelah bertanya sana-sini, satu jawaban yang saya dapat, bahwa penamaan sungai ini merujuk pada satu tokoh bernama Nyi Ageng Serang.
Siapa Nyi Ageng Serang? Dan apa kontribusinya pada masyarakat Desa Muncar? Tulisan ini akan menjawab dua pertanyaan di atas.
Nyi Ageng Serang
Di dalam tulisan Lasminah, Nyi Ageng Serang digambarkan sebagai tokoh wanita pejuang pada masa akhir naskah Gianti tahun 1755 hingga perang Diponegoro tahun 1825-1830. Nyi Ageng Serang bernama asli R.A. Kustiah Wulaningsih. Ia dilahirkan dari keluarga bangsawan. Ayahnya bernama Pangeran Panembahan Ranggo Notoprojo, yang merupakan kawan seperjuangan Pangeran Mangkubumi ketika perang menghadapi VOC (1746-1755) (Lasminah, 2007).
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 15 Februari 1755 ketika perjanjian Gianti dilangsungkan, Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Menyikapi pembagian ini, meskipun Pangeran Notoprojo menurut pada Pangeran Mangkubumi (yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono I), ia tetap memilih pamit dan berpisah dari hingar bingar kekuasaan.
Pangeran Notoprojo kemudian mengasingkan diri ke Desa Serang, Purwadadi. Di sinilah sang putri, Kustiah, tumbuh besar. Dalam catatan Lasminah, dijelaskan bahwa kelak Kustiah akan melaksanakan kawin simbolik dengan Putera Mahkota RM. Sundoro (yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono II). Selepas kawin simbolik, nama Kustiah menjadi R.A. Kustiah Wulaningsih Retno Edi (Lasminah, 2007).
Namun hubungan Kustiah dengan Sang Sultan tidak berlangsung lama. Ia yang lebih senang hidup di desa memilih untuk meninggalkan kerajaan. Sultan Hamengkubuwono II pun menghendaki permintaannya. Selama tinggal di desa itu, Kustiah bertemu dengan Pangeran Mutia Kusumawijaya yang kelak akan menjadi suaminya. Kustiah dan Panembahan Serang (gelar yang disematkan untuk Pangeran Mutia Kusumawijaya) hidup rukun dan dikaruniai seorang putri bernama Kustina.
ADVERTISEMENT
Pasangan suami-istri ini merupakan penentang kebijakan pemerintah kompeni Belanda (VOC). Sebagai bentuk protes, Panembahan Serang tidak mau menyerahkan hasil buminya pada VOC. Alhasil, ia ditembak mati karena dituduh sebagai pemberontak. Gugurnya Panembahan Serang ini membuat Kustiah harus membesarkan Kustina seorang diri.
Pendek cerita saat Kustina tumbuh dewasa, ia dinikahkan dengan salah satu putra Sultan Hamengkubuwono II yang bernama Pangeran Aria Adipati Mangkudiningrat. Demikianlah Kustiah berbesan dengan Sang Sultan. Selepas pernikahan ini, Kustiah pun memutuskan untuk kembali ke Yogya. Di Keraton Yogya, Kustiah berinteraksi dengan para pangeran. Di antara pangeran-pangeran itu adalah R.M. Ontowiryo (selanjutnya dikenal sebagai Pangeran Diponegoro), Tom Alap-Alap, Hadiwijoyo, Diposono, Joyokusumo, dan juga Dewi Ratih (Istri Pangeran Diponegoro).
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1811, sebuah pergolakan terjadi di dalam keraton. Sultan Hamengkubuwono II diturunkan paksa karena dituduh mempersiapkan perlawanan terhadap Pemerintahan Daendels. Sebagai pengganti, ditunjuklah putra mahkota sebagai sultan yang baru. Sultan Hamengkubuwono II kemudian digelari Sultan Sepuh, sedangkan Sultan Hamengkubuwono III disebut sebagai Sultan Raja. Dinamika konflik yang terjadi di kerajaan ini diperparah dengan kehadiran Danureja II sebagai pendamping sultan. Danureja II memang bersinggungan dengan Sultan Sepuh, sehingga timbul anggapan bahwa ia yang membantu Daendels untuk menjatuhkan sang sultan.
Kondisi ini kemudian berubah saat Inggris datang dan mengalahkan Belanda. Sebagai pemimpin yang baru, Gubernur Jenderal Raffles menjadikan Sultan Sepuh sebagai seorang sultan lagi, dan Sultan Raja diturunkan kembali menjadi putra mahkota. Sultan Sepuh juga mengganti Patih Danurejo II dengan Sindunegoro.
ADVERTISEMENT
Perubahan situasi tidak membuat semuanya menjadi lebih baik. Pada peristiwa Geger Spei, Danurejo II mati terbunuh. Sultan Sepuh disalahkan atas kematiannya. Mengetahui itu, Raffles berharap agar Sultan Sepuh meminta maaf, sekalian juga meminta agar dia menyerahkan daerah-daerah tertentu pada Gubernur. Sultan Sepuh jelas menolak perintah Raffles. Maka darinya, Raffles pun mengirimkan tentara ekspedisi dan mengalahkan Sultan Sepuh. Sang sultan dan keluarganya, termasuk Pangeran Mangkudiningrat (menantu Nyi Ageng Serang), kemudian diasingkan ke Pulau Pinang dan Ambon.
Setelah peristiwa itu, Kustiah beserta putri dan cucunya meninggalkan keraton dan kembali lagi ke Serang. Ia menempati gedung Notoprojo yang telah lama ditinggalkan (Lasminah, 2007). Semenjak kembali ke Serang itulah R.A. Kustiah dijuluki R.A. Ageng Serang atau Nyi Ageng Serang oleh masyarakat setempat.
ADVERTISEMENT
Figur Nyi Ageng Serang telah dinobatkan sebagai seorang pahlawan nasional pada tanggal 13 Desember 1974. Penobatan itu dilaksanakan melalui Keputusan Presiden RI No. 084/TK/Tahun 1974 (Dari et al., 2021).
Nyi Ageng Serang dan Desa Muncar
Setelah menyelami kisah Nyi Ageng Serang, selanjutnya saya mencari tahu keterkaitan antara tokoh Nyi Ageng Serang dengan Sungai Serang yang melintasi Desa Muncar. Tentu saja proses penelusuran sumber saya lakukan dengan cara lisan. Alasannya karena masyarakat desa di Jawa tidak menurunkan kisah melalui tulisan, tetapi dengan cara lisan, sehingga mereka dapat dikategorikan sebagai masyarakat lisan.
Di momen seperti ini, tradisi lisan akan sangat membantu penelusuran. Tradisi lisan sendiri bisa dijadikan sebagai sebuah sumber sejarah. Pendapat ini diperkuat oleh tulisan sejarawan Belgia bernama Jan Vansina. Melalui bukunya yang berjudul De la tradition orale: essai de methode historique, Vansina maju memosisikan tradisi lisan sebagai sumber sejarah yang dapat menghadirkan fakta-fakta yang kredibel.
ADVERTISEMENT
Pendapat Vansina itu berdasar pada pemikiran bahwa testimoni yang terus membiak dan diwariskan dari generasi ke generasi, membentuk sebuah tradisi yang merangkum perjalanan sejarah masyarakat pendukungnya dari waktu ke waktu tanpa terikat pada tradisi tertulis (Purwanto, 2019, p. xxi). Oleh karena itu tradisi lisan dianggap merupakan representasi kenyataan dari masa lalu masyarakat pendukungnya (Purwanto, 2019, p. xxii).
Dengan berbekal pengetahuan itu, saya pun mencoba untuk bertanya pada masyarakat desa terkait mitos atau tradisi lisan yang berkembang di seputar Sungai Serang.
Salah satu penduduk yang saya tanyai bernama Marsudi. Ia adalah seorang pegiat kesenian rodat di salah satu dusun di Desa Muncar. Kebanyakan wawasan yang ia punya berasal dari kebiasaan masyarakat untuk mengadakan merti dusun, karena di momen itulah sejarah asal mula desa biasanya diceritakan.
ADVERTISEMENT
Beruntungnya, mendengar pertanyaan saya mengenai Sungai Serang, Marsudi dengan antusias menceritakan mitos penciptaan Desa Muncar dan hubungannya dengan Nyi Ageng Serang. Obrolan kami berlangsung di warung dekat joglo Ngidam Muncar. Dengan persiapan seadanya, saya coba untuk mencatat dan merekam segala informasi yang disampaikan oleh Marsudi.
Marsudi menjelaskan bahwa hubungan Nyi Ageng Serang dan Desa Muncar hadir pada eksistensi dua tokoh bernama Ki Koncer dan Nyi Koncer. Dua tokoh tersebut dipercaya dimakamkan di Dusun Ledok, Desa Muncar. Ki Koncer sendiri adalah prajurit Nyi Ageng Serang. Ia menemani Nyi Ageng Serang ketika membantu perjuangan Pangeran Diponegoro pada Perang Diponegoro (1825-1830).
Ketika hasil perang sudah terlihat, yaitu pasukan Pangeran Diponegoro yang berhasil dipukul mundur oleh Kolonial Belanda, pasukan Nyi Ageng Serang pun kembali ke Purwadadi melalui aliran Sungai Serang. Nyi Ageng Serang kembali dalam kondisi dikejar-kejar oleh pasukan kolonial. Pengejaran oleh pasukan kolonial ini membuat beberapa prajurit Nyi Ageng Serang harus bersembunyi di desa-desa di sepanjang aliran sungai. Salah satu prajurit yang memisahkan diri dan tinggal adalah Ki Koncer tadi.
ADVERTISEMENT
Dalam pelarian dan persembunyian ini, Ki Koncer memperistri seorang penduduk lokal bernama Nyi Koncer. Sepasang suami-istri ini yang nantinya dipercaya masyarakat sebagai pembentuk awal Desa Muncar. Maka melihat itu, dapat disimpulkan bahwa sejarah Desa Muncar erat kaitannya dengan tokoh Nyi Ageng Serang. Meskipun Marsudi juga masih ragu apakah penamaan sungai tersebut memang karena menjadi medan yang dilewati oleh Nyi Ageng Serang, atau sudah dari sebelumnya bernama Sungai Serang.
Akhir kata, masih banyak sekali sejarah sebuah desa yang bisa kita telusuri. Beberapa menimbulkan keraguan karena sumbernya yang berupa lisan. Namun kalau kita bisa memahami realitas masyarakat Jawa yang bertradisi tutur, maka pengetahuan seputar sejarah tersebut selalu terbuka lebar untuk didalami. Sejarah Desa Muncar ini hanyalah sebagian kecil dari narasi besar yang bisa disusun di kesempatan mendatang. Semoga sebuah riset yang lebih baik dapat dilakukan, dan narasi historis yang lebih akademik bisa dibentuk.
ADVERTISEMENT
Referensi
Dari, W., Pramudawardhani, I., & Andriyanto. (2021). Perjuangan dan Kegigihan Nyai Ageng Serangdalam Perang Diponegoro Tahun 1825-1830. Keraton: Journal of History Education and Culture, 3(2), 85–102.
Lasminah, P. (2007). Nyi Ageng Serang. Departemen Kebudayaan Dan Pariwisata Direktorat Jenderal Sejarah Dan Purbakala Direktorat Nilai Sejarah.
Purwanto, B. (2019). Belajar Dari Afrika: Tradisi Lisan Sebagai Sejarah Dan Upaya Membangun Historiografi Bagi Mereka Yang Terabaikan (A. Reza, Trans.). In Tradisi Lisan Sebagai Sejarah. Ombak.