Konten dari Pengguna

Tulisan Barbara Franco, Sejarah Publik, dan Nasib Sejarawan Akademis

Aji Samsudin
Saya sedang mengenyam kuliah S1 di jurusan Ilmu Sejarah di Universitas Negeri Semarang.
15 Oktober 2024 16:10 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aji Samsudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pengenalan Gedung Depo Arsip Suara Merdeka oleh pihak pengelola sebagai bagian dari praktik sejarah publik (sumber: dokumentasi pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Pengenalan Gedung Depo Arsip Suara Merdeka oleh pihak pengelola sebagai bagian dari praktik sejarah publik (sumber: dokumentasi pribadi)
ADVERTISEMENT
Untuk memahami sejarah publik, sebuah artikel berjudul Public History and Memory: A Museum Perspective layak diperbincangkan. Artikel pendek yang ditulis oleh Barbara Franco ini sederhananya adalah sebuah review terhadap tulisan lain karya David Glassberg yang berjudul Public History and Study of Memory. Di dalam tulisannya ini, Franco berbicara sebagai seorang praktisi sejarah publik di museum kesejarahan dan alumnus Cooperstown Graduate Program. Sebagai titik awal tulisan, dirinya mengulang pertanyaan sentral yang diajukan oleh Glassberg, yaitu mengenai bagaimana sejarah publik berbeda dengan bidang akademik konvensional (Glassberg 1996). Pertanyaan sentral Glassberg tersebut dapat membantu Franco untuk memberikan berbagai macam definisi terkait sejarah publik dan bagaimana praktik kesejarahan juga dapat berlangsung di luar atmosfer akademis.
ADVERTISEMENT
Franco menjelaskan sejarah publik sebagai history for the public, of the public, by the public, and with the public (Franco 1997). Sejurus dengan penjelasan itu, menurut seorang sejarawan asal Britania Raya Liddington, pada dasarnya sejarah publik memang berkaitan dengan pelibatan publik di dalam penyusunan konstruksi historiografi (Liddington 2002). Usaha penelusuran terkait asal muasal sejarah publik juga menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu bagaimana sejarah dapat dinikmati oleh publik di luar eksklusivitas akademisi sejarah (Kelley 1978).
Sejarah publik, seperti disampaikan Franco, adalah sejarah yang, alih-alih dijumpai pada jurnal ilmiah, justru dapat ditemukan di bagian luar museum, sebuah festival, kawasan historis, ataupun koleksi artefak. Sejarah publik telah menjadi wadah bagi konten sejarah di banyak media non-akademis. Maka dari itu, sejarah publik adalah sejarah yang terlihat (visible), mewujud (tangible), dan praktis (usable) (Franco 1997). Pernyataan tersebut dapat menjawab pendapat yang menyebut bahwa rekonstruksi historiografi hanya dapat terjadi di menara gading sehingga kebenaran ilmiah hanya dimiliki oleh para sejarawan di akademia (Purwanto 2001). Dengan sejarah publik, seorang sejarawan dapat menyentuh ranah-ranah praktis dan juga variatif, seperti pekerjaan di museum, kearsipan, maupun pembuat kebijakan publik (Glassberg 1996).
ADVERTISEMENT
Satu kekhawatiran yang muncul di benak penulis terkait praktik sejarah publik yang kian masif adalah, tradisi akademis dari sejarah yang justru makin terkikis. Jika sejarah makin praktis, maka keilmuannya pun akan menumpul. Hal ini akan menjadi kasus serius sebab berimbas pada munculnya perbedaan orientasi mahasiswa lulusan yang cenderung akan melihat peluang bekerja sebagai praktisi sejarah non-akademis, yang mana akan lebih profit, dan karenanya membuat jumlah sejarawan akademis makin berkurang. Padahal secara fungsi, sejarawan akademis di perguruan tinggi pun memiliki nilai yang sama penting.
Kedudukan keilmuan yang menumpul akan membuat jumlah perdebatan konsep di dalam ilmu sejarah makin merosot. Perdebatan yang mirip seperti yang terjadi di antara Hobsbawm, Munslow, Stone, dan Iggers mengenai konsep historisisme baru (Purwanto 2006), tentu tidak akan bisa terjadi lagi. Orang-orang yang berpotensi meneruskan jejak Sartono Kartodirdjo, Kuntowijoyo, atau Bambang Purwanto, tidak akan muncul lagi. Alih-alih, perdebatan hanya terjadi di lingkup pragmatis, dan bukan merupakan sebuah perdebatan abstrak, dan mahasiswa yang sensitivitas keilmuannya sudah tumpul, tidak akan melihat lagi abstraksi konseptual keilmuan di dalam pikirannya. Padahal progresivitas keilmuan justru lahir karena terselenggaranya proses dialektik, dan proses dialektik yang ideal di dalam keilmuan justru terlahir dari saling lemparnya pendapat soal konsep yang abstrak.
ADVERTISEMENT
Menimbang dari pernyataan di atas tersebut, dapat dipahami bahwa masifnya perkembangan sejarah publik ini bisa berdampak baik dan buruk terhadap penyelenggaraan keilmuan sejarah dan juga pada sejarawan. Meski signifikansi sejarah publik di dalam usahanya membumikan sejarah patut dipuji, dan prospek bekerja bagi lulusan-lulusannya juga beragam, tetap saja penyelenggaraan sesuatu yang praktis akan menumpulkan sisi lainnya yang bercorak teoritis. Maka satu hal yang mesti dipastikan seiring dengan berkembangnya sejarah publik adalah; pembedaan kajian sejarah yang praktis dan teoritis harus tetap dijaga, dan porsi ajar serta inovasi di antara keduanya, mesti terus dibuat dengan seimbang dan berbarengan, agar dapat kemudian dihindari dominasi berlebihan di antara satu dengan yang lainnya.
Daftar Referensi
ADVERTISEMENT
Franco, Barbara. 1997. “Public History and Memory: A Museum Perspective.” The Public Historian 19(2): 65–67.
Glassberg, David. 1996. “Public History and the Study of Memory.” The Public Historian 18(2): 7–23.
Kelley, Robert. 1978. “Public History: Its Origins, Nature, and Prospects.” The Public Historian 1(1): 16–28.
Liddington, Jill. 2002. “What Is Public History? Publics and Their Pasts, Meanings and Practices.” Oral History 30(1): 83–93.
Purwanto, Bambang. 2001. “Historisisme Baru Dan Kesadaran Dekonstruktif: Kajian Kritis Terhadap Historiografi Indonesiasentris.” Humaniora 13(1).
Purwanto, Bambang. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?! Yogyakarta: Ombak.