Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Bertanya
14 Januari 2020 15:58 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Ajo Darisman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kejadian 1:
Saya mengendarai sepeda motor pelan-pelan. Berhenti tepat di samping seorang perempuan.
ADVERTISEMENT
Cuaca sore itu gerimis. Perempuan itu berjalan sambil menangis.
Sembari mengikuti langkahnya, saya berusaha membujuk agar ia mau diantar. Tetapi yang terjadi dia malah berjalan dengan langkah semakin besar. Masih tetap menangis, kali ini dengan suara bergetar.
Sialnya, sekeliling kami orang pulang kuliah tengah ramai-ramainya. Sekilas saya melihat beberapa mata tertuju pada kita berdua. Satu dua orang disertai gestur geleng kepala. Ada juga dengan mimik wajah tertawa.
“Sumpah ini tidak seperti yang kalian lihat,” batin saya sembari merapal doa tolak bala. Astaga!
Untunglah wanita itu kemudian naik ke angkutan umum. Sehingga saya bisa selamat dari tatap mata yang serasa jarum.
Kejadian 2:
Saya dalam sebuah masjid, sedang bersandar di salah satu pojok ruangan. Sambil terus memantau telepon pintar, kalau-kalau ada penugasan. Sekitar pukul 19.31 WIB muazin mengumandangkan azan. Orang-orang berdatangan.
ADVERTISEMENT
Saat salat berjemaah itu akan dilangsungkan, saya sempat melihat beberapa orang menatap penuh tanya. Begitu juga dengan mereka yang baru masuk di pintu sisi kiri saya.
Ingin rasanya meninggalkan ruangan. Tetapi urung saya lakukan. Sebab di luar tengah hujan.
Usai salat berjemaah itu, masih juga dihujani beberapa tatapan. Ya sudah, saya biarkan.
**
Kejadian pertama itu saya alami sekitar medio 2013. Sungguh perempuan itu bahkan belum saya kenal, selain dia merupakan adik kelas.
Kala itu, di lapangan fakultas sebagian besar mahasiswa 2013 tengah latihan drama. Mereka dibagi jadi kelompok-kelompok kecil, lalu dilatih oleh beberapa rekan saya.
Dimulailah kejadian itu kemudian. Saya dapat laporan salah satu dari mereka meninggalkan sesi latihan. Sebagai ketua acara, saya diminta untuk menyusul si perempuan.
ADVERTISEMENT
Waktu itu apabila ditanya apa sebab dia sampai seperti itu, saya sendiri belum tahu. Tapi ya sudah, yang terpenting menyusulnya dulu.
Usut punya usut, rupa-rupanya ‘adik’ itu tiba-tiba menangis lantaran kepayahan memainkan satu peran. Atas kejadian itu, beberapa hari saya jadi bulanan rekan-rekan. Ya mau diapakan, namanya juga korban keadaan. Siapa mau disalahkan.
Sementara kejadian kedua baru-baru ini saya alami, kalau tidak salah ingat tanggal 10. Saya salat magrib pukul 18 lewat 40. Selepas salat isya pukul 19.20 WIB, saya bertahan di masjid untuk berteduh. Tanpa menduga akan ada salat berjemaah di situ, sungguh.
**
Dari dua kejadian itu, satu hal yang saya sesali: tak ada yang bertanya.
ADVERTISEMENT
Cerita lain, suatu malam saya dan Nlaela tengah duduk di sebuah restoran cepat saji. Dia dan laptopnya sibuk bekerja, sementara saya asyik makan sendiri.
Sekeliling sepertinya memperhatikan aktivitas kami. Mungkin juga berpikir saya cukup kejam sebagai lelaki. Mereka tidak tahu saja bahwa Nlaela itu tokoh antagonis dalam pertemanan kami ini. Hihihi.
Syukur-syukur bila ceritanya seperti Paman Katon—enggan bertanya, ia terjebak dalam kesalahan yang menyenangkan. Perdana masuk kelab malam, padahal niatnya cuma menyaksikan konser band kesukaan.
Barangkali di luar sana banyak orang mengalami hal yang sama. Semisal ada dua sahabat sebetulnya saling suka. Sayang, tak ada di antara mereka yang pernah mencoba bertanya. Sehingga mereka tak berkesempatan hidup bahagia bersama.
ADVERTISEMENT
Ada lagi cerita lain yang saya alami karena malas bertanya. Kala itu berminggu-minggu rasanya Amak (nenek saya) tak menghubungi cucunya.
Saya lantas berinisiatif menghubunginya. Secara tak sengaja tahulah saya, Amak enggan menghubungi duluan karena takut saya sibuk bekerja. Walhasil sejak itu, saya memilih rutin menelepon, sekadar bertanya kabarnya.
Pada dasarnya bertanya merupakan kata kerja yang mudah dan biasa saja. Tetapi ketimbang bertanya, orang kerap kali memilih berpraduga. Sehingga terjebak lah dalam sebuah prasangka.
Sebuah tulisan yang kebetulan pernah saya baca kira-kira berkesimpulan begini:
Bertanya menandakan seseorang berpikir. Pertanyaan demi pertanyaan melahirkan ilmu pengetahuan. Sebab bertanya adalah membuka pintu pengetahuan. Tak terkecuali bertanya terhadap sesuatu yang dianggap telah memiliki jawaban dan kebenaran. Bila orang tak lagi bertanya, maka berakhirlah pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Kalimat itu cukup lama mengiang di pikiran saya. Apalagi kini saya seorang pewarta. Bertanya tentu saja senjata utama.
Hanya dengan bertanyalah pewarta bisa menulis berita. Bisa melaporkan peristiwa. Memunculkan fakta demi fakta. Membantu KPK. Menepis duga sangka. Hingga mengkritik kinerja penguasa.
Bila Jokowi beserta pasukan sibuk ‘kerja, kerja, kerja’. Maka sepatutnya pewarta sibuk ‘bertanya, bertanya, bertanya’.
Sebetulnya bisa saja seorang pewarta menghasilkan berita dengan mendengar serta melihat suatu peristiwa. Tetapi dengan bertanya, memungkinkan akurasi sebuah tulisan lebih paripurna.
Maka alangkah baiknya saya akhiri tulisan ini dengan quote awal tahun: bertanyalah sebelum bertanya dilarang penguasa.