Dua Carik Surat

Ajo Darisman
~Sebab life sesungguhnya laif.
Konten dari Pengguna
7 Januari 2020 2:38 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ajo Darisman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi surat cinta Foto: Thinkstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi surat cinta Foto: Thinkstock
ADVERTISEMENT
Kakandaku.
Ketika membaca suratku, mungkin saja kau tengah bermain cilukba dengan anakmu. Mengalihkan perhatiannya agar istrimu bisa memasak sayur labu. Kesukaanmu dulu.
ADVERTISEMENT
Aku membayangkan kalau anakmu lelaki, aih matanya mungkin lebih tajam dari matamu. Berhidung bangir, juga alis menyatu. Kuharap rambutnya tak keriting sepertimu.
Aku sungguh senang hanya dengan membayangkan saja. Kau pasti beroleh istri yang welas asih lagi setia. Yang berani mengambil risiko tentu saja. Terpenting, tak penakut, seperti Adinda.
Entah kaya atau tidak, kuyakin bukan soal untuk kalian. Aku sangat berharap sekali saja kita diberikan perjumpaan. Kepada istrimu dengan bangga akan kukatakan beruntungnya dia sebagai perempuan. Juga kalau kalian tidak keberatan, tak apalah bocah itu memanggilku Bibi, lalu biarkan kami jalan-jalan. Mungkin duduk di bangku taman. Atau lari-lari di halaman.
Kakanda.
10 tahun lewat sudah begitu saja. Tetapi ada dua kata yang masih sangat menggema dalam dada: maaf ya. Kita punya kesempatan meninggalkan desa. Hidup bahagia berdua. Apa daya menjadi durhaka Adinda tak kuasa. Kesehatan Ibunda adalah segala.
ADVERTISEMENT
Oh iya kakanda
Perjodohanku itu urung terjadi. Ibunda tak mau menerima risiko Adinda kabur-kabur lagi. Hubungan kita pun bahkan Bapanda mengamini. Sayang ya nasib tak mempertemukan kembali.
Doa Adinda tercurah penuh untuk keluarga Kakanda. Untuk itu, aku tak akan lara. Sendiri ini siap Adinda tanggungkan sampai tua.
Desa kita, suatu senja di pengujung tahun 1999
Adinda
**
Entah berapa kali sudah surat itu ia baca.
Sekali perempuan itu mendekapnya. Sekali pula ia masukkan kembali ke laci meja. Sebagian tinta terhapus air mata.
*
Kepada Adinda
Hari ini sudah senja yang ke-3.655.
Suasananya masih sama.
Tetapi rasanya sungguh berbeda.
Kau tahu, melewati satu senja yang fana bagiku tak ubahnya mengamati langkah kura-kura.
ADVERTISEMENT
Begitu lama.
Dan menguras tenaga.
Pada waktu-waktu itulah Kakanda hampir pasti membayangkan pernikahanmu nan berlangsung meriah.
Barangkali di desa kita itu ialah pesta termegah.
Dihiasi bunga-bunga kesukaanmu nan merona merah. Orang-orang takjub menikmati segala buah.
Wajar, bila sementara kau malah tak bergembira. Namun kemudian hari mengubahmu jadi ibu sempurna juga ceria.
Anakmu paling tidak aku menduga sudah dua.
Hari-harimu habis untuk berdiri di depan TPA.
Malam-malam Adinda tentu hiruk mendongengkan mereka cerita.
Kakanda ingat membaca sangat kau gemari dulu kala.
Berbahagilah, Adinda.
Percayalah, Kandamu ini tak apa.
Tanah seberang, selepas senja, awal tahun 2000
Dari Kakanda
**
Bus melaju kembali. Membawa surat yang sengaja diselipkan di kursi. Lelaki itu berlalu pergi. Membawa serta lara menahun di ulu hati.
ADVERTISEMENT
**