Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Kepada Lautan, Nelayan Menggantungkan Harapan
2 Desember 2019 15:50 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Ajo Darisman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Mata Agus Bastian sejenak terpejam. Kala itu matahari akan segera tenggelam. Belum seekor pun ikan ia genggam. Padahal Agus sudah mendayung mancungan (begitu ia menamai perahu dayung) sedari hari masih kelam.
ADVERTISEMENT
Dalam hati aku bergumam. Barangkali ia terbayang, makan apa anak istrinya ini malam. Di atas mancungan itu, seharian sudah ia duduk selonjoran. Namun tampaknya tak ada harapan, ia akan pulang membawa kesia-siaan.
Sabtu sore (30/11) itu, Agus tak sendirian. Setidaknya saat itu aku menyaksikan puluhan nelayan menggantungkan nasib kepada lautan.
Mereka adalah nelayan dari Desa Canti, Banding, dan Betung, Kecamatan Kalianda, Lampung Selatan. Butuh waktu berjam-jam untuk para pelaut ini bisa sampai ke tengah Pulau Tiga dengan cara mendayung.
Aku merasakan kegetiran yang janggal sore itu. Membayangkan entah apa yang membuat mereka bisa tahan seharian selonjoran di atas perahu yang hanya seukuran papan selancar itu. Apa-apaan mereka itu, bahkan banana boat saja lebih besar dari perahu mereka.
Mereka mengenakan tudung, menyarungkan pakaian ke kepala yang membuat para nelayan ini lebih menyerupai ninja. Pakaian mereka kuyup, entah oleh keringat. Atau karena memang air laut yang tak henti-hentinya meriak ke dalam perahu.
ADVERTISEMENT
“Pinggul dan kaki sebenarnya gatal sekali, dan enggak nyaman karena pakaian basah sudah,” aku Agus.
Tak ada pilihan lain. Kapal-kapal mereka yang lebih laik telah dibuat jadi kepingan kayu tak berguna oleh tsunami Selat Sunda yang menerjang akhir tahun lalu.
Ketimbang murung dalam lara tak berkesudahan, mereka memilih melaut lagi dengan perahu seadanya. Setelah tiga sampai lima bulan berharap bantuan, akhirnya kepada mancungan jua nasib mereka tambatkan. Berikut dengan pancing yang modalnya paling banyak Rp 50 ribuan, bukan jaring.
Laut telah menghancurkan pengharapan para nelayan ini. Kendati begitu kepada laut juga mereka kembali bersandar. Bila lautan sedang baik, dengan semringah ikan-ikan dibawa pulang. Tetapi Nahas bagi mereka bila gelombang sedang tak bersahabat, seperti hari ini, hanya kehampaan.
ADVERTISEMENT
“Laut telah memberi saya kehidupan sejak tahun 1991. Dari tangkapan ikan juga kami makan selama ini, dan menyekolahkan anak hingga SMA,” ujar Baharudin, nelayan dari Desa Banding.
Aih, aku yang sering kali mengeluhkan nasib ini, merasa begitu terkutuk di hadapan mereka. Padahal, meski didera pekerjaan tak berkesudahan, aku masih bisa jalan-jalan. Menikmati daratan sepanjang hari dengan pakaian kering di badan tentunya.
Sementara mereka, peduli apa soal yang terjadi hari-hari di daratan. Entah mereka tahu atau tidak apa yang terjadi nun jauh di ibu kota sana.
Masa bodoh dengan orang-orang mengeluhkan kemacetan. Atau perppu KPK yang tak kunjung terbit. Atau para politikus yang mulai pikun akan janji-janji.
Atau apa saja kesenangan yang tengah orang-orang alami.
Bagi mereka, hanya lautan. Laut adalah harapan. Adalah makan. Adalah jawaban. Adalah hari depan. Adalah kebahagiaan. Adalah kesengsaraan. Adalah ketakutan berkepanjangan.
ADVERTISEMENT
Sementara bagiku, mereka adalah pelajaran. Semoga nasib baik menyertai kalian. Dan tentu saja ikan-ikan.