Pala Banda Neira

Ajo Darisman
~Sebab life sesungguhnya laif.
Konten dari Pengguna
23 Juli 2021 13:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ajo Darisman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Dari tumbuh suburnya komoditas pala di Banda Neira, banyak peristiwa bermula. Pelayaran negara-negara Eropa menerjang samudra demi mencari Nusantara.
Terbentuknya kongsi dagang pertama di dunia sampai penemuan Amerika. Derita dan air mata sengsara. Bahkan di sanalah kejahatan kemanusiaan bernama genosida tercipta.
Fatris MF dan Muhammad Fadli menelusuri bagaimana tanaman endemis ini membawa pengaruh luar biasa, tak cuma di Banda namun juga dunia. Perjalanan bolak-balik yang dilakoni dalam kurun 2014 hingga 2017, membuahkan buku The Banda Journal.
Catatan perjalanan yang dibuat dalam waktu 3 tahun itu, mampu membawa pembaca berziarah bahkan berabad-abad ke masa lalu tanpa perlu menunggu mesin waktu ditemukan teknokrat.
Buku The Banda Journal. Foto dokumen instagram Fatris MF
Kelahiran The Banda Journal yang juga berjudul Jurnal Banda, menghadirkan pengalaman membaca yang sama sekali berbeda. Bahwa catatan perjalanan tak melulu soal pesona kemolekan pariwisata. Bahwa waktunya bangun dari bualan cerita keindahan alam raya dan saatnya melihat duka lara pulau-pulau tersuruk di negara dunia ketiga.
ADVERTISEMENT
Buku setebal 240 halaman ini, bila dikategorikan adalah jurnal foto yang sarat narasi, atau barangkali catatan perjalanan lengkap dengan literasi sejarah dan kaya visual. Padu padan kedua media ini bahkan mampu menunjukkan betapa sebuah tanaman begitu menentukan nasib Banda selama 400 tahun.
Sebagai pewarta yang saban hari timbul tenggelam dalam hiruk pikuk berita ekonomi bisnis, saya mengamini soal besarnya pengaruh komoditas alias kekayaan alam Indonesia di kancah dunia. Betapa menariknya berbagai potensi yang ditawarkan negara beribu pulau buat dikeruk.
Hari-hari ini segudang regulasi atas nama perdagangan internasional, kerja sama ekspor impor, investasi untuk ratusan komoditas hasil bumi di tanah air dikebut dalam aturan sapu jagat. Mari kita tinggalkan problema hari-hari ini dan kembali lagi ke Banda.
ADVERTISEMENT
Tak berlebihan kiranya untuk menyebut The Banda Journal adalah teknik mencatat memotret, berikut dengan narasi kaya data kaya cerita, serta ratusan potret yang direkam menggunakan kamera analog ini, berhasil mengantarkan kita sampai ke Banda. Tanpa harus naik pesawat perintis yang rasanya seperti bus terbang. Tak perlu menumpang kapal minyak menerjang ganasnya ombak untuk sampai ke Banda sebagaimana yang dilakukan penulis buku ini berkali-kali.
Jurnal Banda menyuguhkan 118 foto tangkapan kamera analog Muhammad Fadli. Jepretan kamera lawas merekam kondisi Banda hari ini hingga biji pala sendiri. Mengisahkan nasib para pekerja gudang pala hingga anak-anak Banda. Memvisualisasikan rumah pengasingan Mohammad Hatta hingga benteng-benteng sisa kejayaan (atau mungkin kekejaman) Belanda.
ADVERTISEMENT
Waktu yang dihabiskan Fatris MF buat keluyuran di pulau yang terletak di Maluku itu, termuat menjadi 8 bab cerita bilingual dalam karya ini.
Setiap celoteh yang ia simak, dicurahkan jadi gambaran kondisi sosial hari ini dan hari lalu. Diperkuat dengan narasi satire getir nan juga penuh tragedi dari abad-abad mengandung pilu. Kolaborasi tekstual dan visual menjadikan buku punya daya tarik begitu memikat.
Jurnal Banda dimulai dengan membawa kita ke masa 4 hingga 5 abad yang lewat. Masa di mana Portugal, Spanyol hingga Belanda mengutus armada ke Banda. Pelayaran paling awal dunia yang kerap dijuluki Caminho Duvidoso, pelayaran yang penuh keragu-raguan.
Masuk ke halaman-halaman lebih jauh, kita akan melihat betapa pala menggerakkan perniagaan lintas benua. Buah yang dipercaya punya segudang khasiat, yang dulu dipakai sebagai pengawet Firaun, yang harganya lebih dari emas kala itu, mampu melahirkan jalur rempah.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, mari kita menyapa Jan Pieterszoon Coen di tahun 1600-an. Gubernur Jenderal utusan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie alias kongsi dagang Belanda) yang namanya berbau amis darah Banda.
Kedatangannya tak lain adalah untuk misi monopoli pala. Dengan segala cara. Pada 1621 ia membantai 44 orang kaya Banda. VOC di bawah Kapten Coen, melayangkan tiga nyawa per hari, dan hanya butuh 15 tahun memangkas populasi Banda. Dari 15 ribu jiwa menjadi hanya 600 orang saja. Sebuah kekejaman kemanusiaan yang membikin nama Coen ditinta hitam, kejahatan genosida pertama kali tercipta di Banda.
Kita mendapati kisah Coen yang dicaci dan dicela. Tapi Coen yang juga dipuji puja. Si Jagal dari Banda yang berdiri di antara prestasi dan tragedi. 10 tahun menginjakkan kaki di Banda, Coen mengantarkan VOC ke masa kejayaan. Perusahaan multinasional pertama dunia boleh dibilang kaya raya berkat pala.
ADVERTISEMENT
Pala dan Banda bahkan membikin VOC dan EIC (East India Company) berseteru. Kapten Nathaniel Courthope utusan kerajaan Inggris meregang nyawa di Banda.
Keduanya menempuh kesepakatan, tukar guling termahal dalam sejarah perdagangan: Rhun sebuah pulau di Banda, mau ditukar Belanda dengan wilayah jajahannya di belahan benua Amerika, Niew Amsterdam (kini Manhattan).
Dari masa lalu, mesin waktu Jurnal Banda membawa kita menyisir Banda hari ini. Selang 350 tahun tukar guling itu berlalu, buku ini membandingkan betapa tidak setaranya Rhun dengan Manhattan hari ini.
Manhattan yang dulu hanya rawa tak menjanjikan, kini adalah kota besar dunia dengan segala ada di dalamnya. Sementara Rhun, hanya bukit-bukit terjal dengan jumlah sekolah tak sebanyak jumlah jari jemari. Saat anak-anak di Manhattan belajar artificial intelligence, anak-anak Rhun baru tahu kegunaan komputer.
ADVERTISEMENT
Jurnal Banda juga mempertemukan kita dengan fragmen hidup yang pernah dilalui Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Wakil Presiden dan Perdana Menteri pertama Indonesia ini, datang ke Banda 1936 sebagai orang buangan.
Satu dekade lamanya sang proklamator jadi guru dan berguru kehidupan di Banda. Hari-hari ini, penulis buku menampar kita dengan fakta betapa tak terawatnya rumah pengasingan kedua tokoh ini.
Bahkan Banda yang hari-hari ini juga cuma menyisakan cerita kejayaan (entah kesengsaraan) yang dihasilkan pala. Hari-hari di mana pemudanya memikirkan merantau ke ibu kota. Pala tak lagi memesona.
Kendati 400 tahun telah berlalu sejak kedatangan Coen, tragedi itu masih dikenang dengan pilu oleh anak cucu keturunan asli Banda. Sebuah kampung di Banda Eli, 300 kilometer jauhnya di timur Neira, merawat luka yang terjadi di Banda karena tumbuh suburnya biji pala.
ADVERTISEMENT
===
Judul: The Banda Journal/ Jurnal Banda
Karya: Fatris MF, Muhammad Fadli
Cetakan: Pertama, April 2021
Tebal: 240 halaman
Penerbit: Jordan Jordan Edition
ISBN: 978-1-7354521-0-4