Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Film 'The Nightshifter', Kala Piket Malam Jadi Penyebab Malapetaka
2 Oktober 2019 20:44 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Ochi the Explorer tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Kai, mau nonton premiere film gratis sama teman gue enggak?"
ADVERTISEMENT
Sebagai penganut paham, 'pamali kalau menolak gratisan', tawaran teman lama itu gue 'iya'-kan. Meski enggak tahu mau nonton apa dan sama siapa, tapi asal ada kata 'gratis', count me in-lah.
Singkat cerita, film yang gue tonton ini berjudul 'The Nightshifter' atau judul aslinya, 'Morto Não Fala'. Sebenarnya, film asal Brazil ini sudah dirilis sejak 2018 lalu, tapi entah kenapa baru akan tayang di Indonesia Oktober tahun 2019.
Dengan banyak sensor dan cut, tentu saja, ya. Jangan heran pokoknya.
Film yang ditulis dan disutradarai oleh Denniso Ramalho ini mengambil setting lokasi di wilayah Ibu Kota Brazil, Brazilia. Bisa dibilang, 'The Nightshifter' ini semacam debut baru bagi Ramalho yang biasanya eksis menggarap film-film pendek.
ADVERTISEMENT
Buat kamu-kamu yang suka dengan film gore yang penuh darah dan organ tubuh bertebaran, 45 menit awal film ini pasti cocok buat kamu.
Sama seperti judulnya, semua masalah sebenarnya bermula dari jam kerja si pemeran utama kita, Stênio (Daniel de Oliveira). Dan emang, gara-gara nonton film ini, gue jadi kepikiran kalau jam kerja yang berlebihan dan shift malam yang kepanjangan bisa mengundang masalah lain selain kesehatan. Seperti di film ini.
Film ini dibuka dengan percakapan radio polisi tentang insiden kerusuhan di stadion bola (bukan GBK ya kawan-kawan, ingat, settingnya di Brazilia). Beberapa menit kemudian, kita akan dikenalkan masuk ruang kerja Stênio.
Stênio diceritakan sebagai asisten dokter forensik (kayaknya ya) yang entah kenapa selalu mendapatkan shift malam. Uniknya, Stênio memiliki 'kekuatan' yang cocok dengan pekerjaannya: berbicara dengan mayat.
ADVERTISEMENT
Dengan super santuy, Stênio mengobrak-abrik dan memasang kembali organ tubuh pasiennya sembari mengobrol dengan si empu organ. Ketimbang memainkan teknik-teknik make up, Ramalho lebih memilih memanfaatkan teknologi CGI untuk membuat efek 'mayat berbicara'.
Awalnya agak-agak aneh ya ngelihatnya, apalagi CGI-nya kayak kurang gimana gitu. Tapi lama-lama, berkat si efek ini, di tengah belakang film kita jadi bisa membedakan mana yang mati beneran dan mana yang mati suri. Ya, karena kalau mati beneran, ngomongnya pakai CGI.
Sayangnya, kawan, rupanya shift malam ini membuat kehidupan rumah tangga Stênio kita berantakan. Karena jarang bercumbu dan masalah lainnya seperti bau badan, istri Stênio, Odete (Fabiula Nascimento), memilih berselingkuh dengan pemilik toko kelontong di ujung gang, Jaime (Marco Ricca).
ADVERTISEMENT
Stênio yang kesal pun menggunakan informasi dari mayat gangster (ya karena ini Brazilia, jadi paham lah ya, gangsternya banyak) untuk membalas dendam. Sayangnya, aksi balas dendam itu tak hanya menewaskan Jaime, tapi juga Odete yang kebetulan ada di lokasi kejadian.
Dan film ini pun berubah 360 derajat. Siyal.
Selama 45 menit pertama, sambil ngemil popcorn gue mikir, "Lho, ini sih bukan horror, cuma gore aja."
Tapi setelah 45 menit kedua, lupakan soal gore, film ini udah benar-benar berubah genre jadi horor. Makasih. Meski bermain di dua genre berbeda, tapi peralihannya halus banget. Kalau part awal kita dibuat mual dengan efek potongan mayat-organ-darah, di part kedua penonton dibuat kaget-kagetan sama gangguan arwah Odete.
ADVERTISEMENT
Cara menampilkan 'gangguan'-nya juga tidak serta merta tiba-tiba bikin kaget. Tapi pelan-pelan, mulai dari gangguan kecil berupa alat pengisap debu yang nyala sendiri waktu dua anak Stênio, Edson (Cauã Martins) dan Ciça (Annalara Prates), berduaan di rumah, hingga penampakan yang jelas-jelas bikin kaget di liang kubur.
Iya, di liang kubur. Asli itu bikin kaget dan tahan napas gemas, meski dalam hati tau juga, pemeran utama enggak mungkin mati di tengah film (kecuali di Anime Rainbow yang dari 22 episode, pemeran utamanya mati di episode 7).
Makin ke belakang, pace-nya makin cepat dan ketegangannya makin intens. Sampai pada ending-nya, alih-alih memberikan akhir yang jelas, Ramalho lebih memilih membiarkan penonton menginterpretasikan sendiri nasib Stênio. Kalau kamu lebih suka film dengan ending yang tersurat, ya mungkin akan banyak bertanya-tanya.
Secara keseluruhan, film yang pertama kali tayang di Fantasia Film Festival 2018 ini memberikan pengalaman baru yang cukup asyik. Setting ruang kerja Stênio dan segala mayat-mayatnya juga digambarkan dengan baik.
ADVERTISEMENT
Bagian favorit gue adalah, di babak kedua, ada beberapa momen yang bikin gue mikir, "kayaknya si Stênio ini kena schizophrenia deh". Gue juga sempat mikir, jangan-jangan ada sosok lain --manusia-- yang menjadi musuh sebenarnya.
Okay sekarang saatnya skor!
Secara visual, gue suka tone yang dipilih dan penggambaran mayat-mayat yang jadi 'klien' Stênio. Tapi, penggunaan CGI untuk menggambarkan wajah mayat yang berbicara emang masih belum bisa gue pahami sih ya, soalnya agak kurang alus.
Jalan ceritanya juga oke, karena motif si Stênio jelas, alasan Odete menghantui jelas, alasan kenapa Odete bisa jadi hantu juga jelas, dan alasan kenapa Stênio bisa seberani itu waktu diganggu hantu juga jelas. Percakapan dengan beberapa mayat di awal yang kesannya non-sense, justru menjadi jawaban beberapa pertanyaan di babak selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Jumpscare-nya asik dan enggak berlebihan. Cuma gue ngerasa ada suara-suara yang mengganggu, entah dari film atau dari bioskopnya ya.
Dengan segala plus minus dan ketampanan Om Daniel de Oliveira, film ini layak mendapatkan skor 7/10. Kayaknya film ini cuma tayang di CGV bulan ini. Buat kalian yang suka dengan genre gore dan horror (lebih ke gore sih ya karena emang enggak serem-serem amat).