Konten dari Pengguna

Purgatorio Ramadan dan Ego-Otentik

Akbar Hadi
Wadir Politeknik Ilmu Pemasyarakatan Kemenkumham 2017-2018
24 April 2020 11:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Akbar Hadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penulis: Mohammad Sabri, Direktur Pengkajian Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)
zoom-in-whitePerbesar
Penulis: Mohammad Sabri, Direktur Pengkajian Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)
ADVERTISEMENT
Agama selalu bermula pada yang numinous, Yang Tak Tercakapkan: dimulai dari senyap dan saat yang dahsyat dan berakhir dengan konstruksi. Agama juga diawali dengan gigil cinta yang ganjil, ada harapan, ada ketakutan—ada amor dan horor—yang bertaut. Ada momen tak lazim, unik, tapi juga terpuncak, ketika seseorang mengalami “kehadiran” Yang Maha Lain, yang diandaikan Rudolf Otto sebagai mysterium—tremendum, fascinosum.
ADVERTISEMENT
Di abad 5 M, Santo Agustinus dikerkah pengalaman yang mirip: “Dan aku gemetar dengan kasih dan ngeri”. Di lekukan sejarah yang dingin, di Abad Pertengahan, pun penyair Dante mengeja kembali pesan-senyap itu dalam Divine Comedy, sebilah karya sastra-mistik yang dianyamnya dalam semesta kode yang sublim, yang mengandaikan seseorang mengalami “ketercelupan ontologis” ke yang numinous melalui tiga fase perjalan ruhani: inferno-purgatorio-paradiso.
Ramadan identik dengan purgatorio, semakna “pembakaran” atau “penempaan”. Ibarat emas, terpisah dari logam yang merengkuhnya justru ketika dibakar dengan titik didih tertentu. Atau, sebilah keris menampakkan tuahnya, setelah ditempa ketelitian dan kesabaran yang agung seorang empu. Di bulan semesta-cahaya ini, Allah melimpahkan kasih-Nya yang tak tepermanai agar manusia segera membersihkan diri dari selubung kegelapan dosa (zhulmâni) atau inferno: fase di mana manusia tercerabut dari kebahagiaan sejati (paradiso) dan kesucian primordialnya (fitrah). Itu sebab, alegorisme Alquran mengandaikan manusia-ruhani yang tercerahkan adalah mereka yang bergegas bangkit meluruhkan selubung “ego-inferno” yang kelam-pekat menuju “ego-paradiso” yang cahaya: min al-zhulumâti ila al-nûr.
ADVERTISEMENT
Alam purgatorio-ramadan, sebab itu, mengandaikan ide latihan (riyâdhah), yaitu latihan sang-ego dalam menyelami “pusat” dirinya yang tuah dan otentik agar tidak terjatuh ke lembah inferno. Dalam tradisi Abrahamic Religions—Yahudi, Nasrani, dan Islam—simbol “kejatuhan” manusia primordial dan terusir dari paradiso, mengalir dalam narasi tentang Adam dan Hawa. Meski kedua insan pertama—kakek dan nenek buyut seluruh manusia—itu pada urutannya mendapatkan magfirah Allah Subhannallahu wa Taala. karena teguh menjalankan “Kalimat-kalimat-Nya” (Qs. 2: 37), namun mereka mewariskan anak cucu yang kesucian primordialnya selalu terancam jatuh perdetik. Setiap orang, sebab itu, berpotensi jatuh martabat kemuliannya dan tersandera pada ego-tak-otentik alias ego-nisbi.
Latihan menahan diri (shiyâm) di alam purgatorio-ramadan bersumbu pada latihan “membakar” ego-nisbi agar menemukan ego-otentik dan sepenuhnya merasakan “Kemahahadiran Allah” dalam segenap detak hidup: sebuah episentrum cahaya yang membawa ego-puasa menemukan kesucian asalnya dan kembali ke fitrah (‘îd al-fithr). Pada momen ini ego-puasa berada pada “puncak-terdalam” kebahagiaan sejati paradiso atau dalam tradisi Budhisme dibilangkan sunyata, karena sukses menemukan dirinya yang tuah, asli, fithri, dan otentik.
ADVERTISEMENT
Ikhtiar menemukan kembali ego-otentik menjadi sesuatu yang penting, karena kehidupan kita kini tengah dikepung oleh jejaring simulakrum, arena dimana simulasi ego-tak-otentik bertumpu. Akibatnya, pencarian sungguh-sungguh terhadap otentisitas diri pun, dengan sendirinya, termangsa oleh imperium citra, galaksi kode, jagat lambang, dan semesta imajinasi. Hal itu seturut dengan pendakuan Adorno dalam The Jargon of Authenticity (1983) sebagai “suasana penuh jebakan dan perangkap yang menyesatkan, karena dunia citra dan simulakrum dipenuhi oleh jargon-jargon semu, termasuk jargon keotentikan”. Realitas kontemporer kita kini tengah tersedot ke dalam “lorong gelap” pos-realitas: sebuah realitas palsu yang tidak lagi setia terhadap ada-sejati dan otentik.
Di titik ini, purgatorio-ramadan hadir sebagai pelecut ego-puasa agar kian menemukan ego-otentiknya yang tuah dan selalu diimpit rasa horor-amor kepada yang numinous. Resapilah Kalam-kalam-Nya yang kudus: “Dia (Allah) bersama kamu di manapun kamu berada, dan Allah Maha Awas akan segala sesuatu yang kamu perbuat” (Qs. 57:4). Ego-puasa, sebab itu, selalu merasa dalam rengkuhan cinta-Nya yang Tak Tepermanai, karena “Kemanapun kamu menghadap di sanalah Wajah Allah”. “Kami (Allah) lebih dekat dari urat lehernya sendiri (Qs. 50:16).
ADVERTISEMENT
Diriwayatkan bahwa Allah swt. mewahyukan kepada nabi Dawud a.s.: Wahai Dawud ketahuilah bahwa dzikir-Ku/Kuperuntukkan para pendzikir/surga-Ku buat orang-orang yang taat/cinta-Ku buat orang yang merindukan-Ku/sedangkan diri-Ku/Kuistimewakan buat mereka yang mencintai-Ku.
Dalam shahifah nabi Idris a.s. juga disebutkan: “Sungguh beruntung suatu kaum yang menyembah-Ku karena cinta kepada-Ku/menjadikan-Ku Tuhan mereka/menghabiskan malam dan siangnya untuk berbakti kepada-Ku/semata karena cinta kepada-Ku/dan penyerahan diri mutlak untuk-Ku/dan menihilkan segala sesuatu selain-Ku.
Pengalaman sublim “kemahahadiran” dan “kemahaawasan” Tuhan yang numinous, dalam detak-detik jantung para perindu dan pecinta, pada urutannya tidak hanya menyalakan spirit ketakwaan, tapi juga menginternalisasikan sifat Cinta-Kasih-Nya ke dalam ego-puasa. Di titik ini pula mengapa “puasa” dan “takwa” terpaut dalam buhul yang erat. Kualitas ego-takwa, sebab itu, adalah ego-tuah yang tercerahkan visun sosiokultural, moral, intelektual, dan spiritualnya: lokus kesadaran ego-otentik yang sejauh ini justru terbungkam hiruk pikuk kehidupan pos-reralitas yang “menuhankan” materi.
ADVERTISEMENT