Anji, Dunning-Kruger Effect, dan Matinya Kepakaran

Akbar Malik
Mahasiswa FIB Undip. Sesekali menulis esai di sejumlah media online.
Konten dari Pengguna
10 Agustus 2020 15:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Akbar Malik tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Anji, Dunning-Kruger Effect, dan Matinya Kepakaran
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1999, ada dua orang profesor psikologi mempublikasikan hasil penelitiannya yang berjudul “Unskilled and Unaware of It”. Hasil dari penelitian itu kemudian dikenal masyhur sampai sekarang, teorinya berbunyi Dunning-Kruger Effect. Teori yang menjelaskan bahwa seseorang bisa mengalami bias psikologis; ketidakmampuan mengetahui kapasitas kecerdasannya.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, orang yang mengidap Dunning-Kruger Effect akan merasa pandai, cerdas, dan ahli. Padahal kenyataannya, itu hanyalah bias, ia tidak cukup mengenali kecerdasan intelektualnya sampai mana–semata agar tidak menyebut bodoh.
Di era kehidupan digital hari ini, Dunning-Kruger Effect semakin riuh diramaikan banyak orang. Setiap orang punya hak, ruang, dan kesempatan yang sama untuk menyatakan pendapatnya di media digital.
Ucapan seorang profesor tak jauh berbeda dengan katakanlah influencer. Walau ucapan profesor bernas, berlandaskan ilmu pengetahuan, tak jarang justru, di era demokrasi digital ini suara mereka kalah nyaring dengan mereka yang menyebut dirinya influencer. Keadaan tersebut, disebut oleh Tom Nichols sebagai fenomena Matinya Kepakaran.
Ilustrasi Anji-Hadi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
Dalam buku Matinya Kepakaran, Tom Nichols memaparkan fenomena sosial yang terjadi dewasa ini. Berangkat dari fenomena yang terjadi di Amerika, terdapat sejumlah masyarakat yang mempertanyakan keaslian fakta dan data yang sudah terbukti keabsahannya.
ADVERTISEMENT
Fakta dan asumsi justru silih berkelindan, membuat masyarakat bingung mana yang fakta yang benar-benar fakta. Hal tersebut disebabkan oleh banjirnya informasi yang disampaikan hampir semua orang. Dan celakanya, pendapat dan komentar para pakar dan ahli justru dikesampingkan, bahkan ditolak. Yang lebih dipercayai adalah “fakta sintetis” buah dari asumsi publik yang terakumulasi.
Walau Tom Nichols mencoba memotret fenomena di Amerika dengan menulis buku itu, saya merasa justru isi buku tersebut sangat relevan dengan keadaan masyakarat kita di Indonesia. Lebih jauh, ketika teori psikologi Dunning-Kruger Effect karya dua orang profesor psikologi dari Universitas Cornell, David Dunning dan Justin Kruger, dipertemukan dengan pemikirannya Tom Nichols, yang merupakan seorang profesor di US Naval War College, terasa sangat cocok untuk direfleksikan pada fenomena terkini di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sebelum berefleksi lebih jauh, saya ingin mengutip perkataan Tom Nichols di bukunya halaman 131, “Internet mengizinkan satu miliar bunga mekar, namun sebagian besarnya berbau busuk, mulai dari pikiran iseng para penulis blog, teori konspirasi orang-orang aneh, hingga penyebaran informasi bohong oleh berbagai kelompok.”
Kehidupan demokrasi yang diwarnai dengan geliat teknologi digital melahirkan para pakar instan. Mereka tercipta dalam satu malam. Bahkan lebih cepat dari itu, beberapa jam saja nama mereka sudah bisa melambung dan menghiasi wacana publik.
Proses produksi konten mereka cukup sederhana. Sekian jam take video, posting di Youtube dengan judul yang clickbait, voila! Engagement rate yang hendak dicapai pun berhasil. Video mereka merebak ke permukaan berkat betapa clickbait-nya judul yang dibuat, serta narasumber memberikan pernyataan yang kontroversial.
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu ada video Youtube yang fenomenal, judulnya “Bisa Kembali Normal? Obat Covid-19 Sudah Ditemukan!!” Pertanyaan pertama saya adalah: kurang clickbait apa judulnya? Klik demi klik menyerbu video tersebut. Share demi share dilakukan orang-orang. Kemudian, seperti yang kita duga, viral dan fenomenal adalah tujuannya. Eh, tapi ujung dari video itu ternyata tidak hanya viral dan fenomenal, tapi juga kontroversial.
Pihak yang berkepentingan mengomentari video tersebut angkat bicara. Mulai dari Rumah Sakit Darurat (RSD) Covid-19 Wisma Atlet Jakarta, yang sebelumnya, narasumber di video tersebut, Hadi Pranoto, menyebut sudah menggunakan obat yang ditawarkannya. Pihak RSD membantah pernyataan tersebut. Ditambah dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang menggugurkan “kesaktian” sang Profesor Hadi Pranoto dan obat antibodinya.
ADVERTISEMENT
Kreator video, sang influencer, Anji, dan juga Hadi Pranoto selaku narasumber adalah representasi dari teori Dunning-Kruger Effect. Mereka berbicara dan menyebarkan sesuatu yang bukan ranah koor kompetensinya. Maka wajar apabila ada yang sampai geram dan melaporkan keduanya ke pihak kepolisian atas dasar penyebaran berita palsu.
Mengenai pelaporan itu, adalah kekhawatiran dampak yang mungkin terjadi atas video yang diunggah dan beredar. Bagaimana kalau kemudian sejumlah pasien Covid-19 yang sontak histeris membeli ramuan herbal sang profesor? Puluhan ribu orang yang terpapar bisa jadi “pasar” yang empuk.
Setali tiga uang, Anji dan Hadi Pranoto adalah definisi dari the real death of expertise. Matinya kepakaran yang nyata. Suara influencer lebih mudah menjangkau publik, juga karena “ketokohan” berupa popularitas dan rajin membuat konten video Youtube membuat ia punya panggung pribadi untuk menyampaikan apa saja yang hendak dikomentari.
ADVERTISEMENT
Anji, seorang musisi, sudah benar dan tepat sekali kalau konten Youtube-nya diisi dengan konten-konten musik. Keliru dan blunder besar ketika ia mengundang orang dengan predikat “profesor” yang mengklaim punya obat untuk menyembuhkan suatu virus yang sampai saat ini, masih mengganas dan membuat ribuan orang sedih karenanya.
Media digital yang bebas dimasuki siapa saja menjadi rimba yang penuh manfaat sekaligus sumber celaka. Orang bisa bebas berkata apa saja, membuat konten sebebas hati, dan mendapatkan popularitas serta pundi-pundi ekonomi. Dalam waktu bersamaan, tak jarang pendapat dan konten yang dibebaskan berkat demokrasi di era digital itu justru menyenggol kepentingan satu sampai banyak pihak. Di situlah biasanya konflik terjadi.
Ketika senggolan tersebut dirasa merugikan, apalagi berdampak pada hajat hidup banyak orang, derita yang mesti dihadapi tak tanggung-tanggung: layangan pelaporan dan panggilan ke kepolisian.
ADVERTISEMENT
Demokrasi di era digital membuat orang gila dan pakar punya panggung yang sama. Sama-sama bisa menulis dan mengunggah sesuatu ke ruang publik, sama-sama-sama bisa berkomentar atas suatu peristiwa yang sedang terjadi. Dan, kesamaan itu berdampak pada informasi yang sampai pada masyarakat. Ketika masyarakat kita masih memiliki ketegangan dengan budaya literasi, maka tak heran apabila pendapat orang gila bisa laris dan lestari. Itulah realitas yang terjadi hari ini.
Kalau teori Dunning-Kruger Effect dan Matinya Kepakaran dipertemukan dan dibahasakan, mungkin akan berbunyi: orang yang tidak menyadari kapasitasnya akan secara merdeka dan bebas menyuarakan pendapat di luar kompetensinya, kemudian dilanggengkan oleh budaya masyarakat yang mendukungnya. Singkatnya, ketika ketidaktahuan bertemu dengan kesempatan.
Walau sudah telanjur mengakar dan membudaya, tidak ada salahnya mencoba membuka keyakinan terhadap kemungkinan bahwa semua orang akan tahu di mana seharusnya ia menempatkan diri.
ADVERTISEMENT
Cukup tahu diri untuk menjadikan bumi ini berjalan dengan baik. Huru-hara dan konflik di sana-sini diakibatkan orang-orang terlalu sering offside, melebihi wewenang atau hak ideal yang seharusnya ia lakukan.
Contoh konkretnya adalah: Anji tetap membuat konten video dengan hanya membahas musik, atau bahasan lain yang tidak akan menggegerkan kehidupan masyarakat. Dan Hadi Pranoto disilakan untuk fokus pada ramuan herbalnya, boleh berjualan, dengan tidak mengaku-ngaku punya jabatan akademik, apalagi memberikan kabar punya obat yang belum ditinjau secara medis.