Ketika Masker Sekadar Formalitas

Akbar Malik
Mahasiswa FIB Undip. Sesekali menulis esai di sejumlah media online.
Konten dari Pengguna
10 Agustus 2020 10:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Akbar Malik tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ketika Masker Sekadar Formalitas
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Suatu ketika, saya mengobrol dengan seorang teman anak Fakultas Kedokteran. Kami berbincang tentang penggunaan masker, penyebaran virus, hingga kemungkinan sampai kapan virus akan mereda. Di tengah perbincangan, saya bertanya, “Masker medis itu untuk sekali pakai atau boleh terus dipakai?” Dia menjawab dengan serius seperti sudah menjadi dokter sungguhan, “Masker medis itu cuma untuk enam jam. Setelah itu harus ganti.”
ADVERTISEMENT
Akhirnya saya tahu bahwa kualitas masker medis hanya bertahan dalam enam jam pemakaian. Lebih dari itu, kondisi materialnya akan tereduksi, sehingga fungsinya tidak akan maksimal. Saya yang biasanya menggunakan masker seharian, kali ini sudah paham bahwa masker hanya dipakai untuk enam jam.
Di lain kesempatan, saya mengobrol dengan teman saya anak jurusan Keperawatan. Kami mengobrol ngalor-ngidul, sampai dia bercerita bahwa pernah menjadi relawan Covid-19 di wisma atlet. Saya terkagum dengan pengalamannya. Hal itu membuat saya bertanya-tanya tentang kondisi di sana; bagaimana sebenarnya merawat pasien Covid-19; sampai berapa banyak jiwa yang pergi dan ia saksikan secara langsung.
Di tengah obrolan serius, dia bercerita sesuatu yang agak konyol. Katanya, walaupun dia punya pengalaman menjadi relawan di wisma atlet, dia belum bisa memberikan literasi kesehatan yang lengkap kepada orang tuanya. Dia bercerita pernah suatu waktu mendapati ayahnya sedang mencuci masker medis yang telah dipakai seharian. Setelah itu maskernya dijemur layaknya celana bokser.
ADVERTISEMENT
Mendengar cerita itu, saya terbahak. Bukannya apa-apa, saya tidak pernah kepikiran untuk mencuci masker medis. Kalau masker kain sih tidak masalah, tapi ini masker medis! Saya seketika membayangkan adegan kartun Upin-Upin ketika mereka mencuci masker medisnya dan dipakai ke sekolah keesokan harinya. Buktinya apa? Ya, masker itu rusak, bolong-bolong.
Dari dua obrolan bersama teman saya itu, saya kemudian berefleksi kepada diri dan keluarga saya. Saya termasuk orang yang rajin dan patuh pakai masker, walau terkadang memang malas mencucinya (masker kain). Jadi terkadang memakai masker yang sudah dipakai agak lama. Hehehe. Ibu dan adik saya sama, rajin dan patuh pakai masker, hanya saja mereka rajin mengganti dan mencucinya. Tapi, bapak saya agak berbeda. Dia cukup bandel dan sering kali lupa (lebih tepatnya menyengaja lupa) memakai masker ketika hendak ke luar rumah.
ADVERTISEMENT
Dari obrolan bersama dua orang teman, kemudian refleksi keadaan diri dan keluarga, saya punya kesimpulan sementara bahwa kita, masyarakat, masih belum sadar tentang penggunaan masker. Atau lebih tepatnya memilih tidak sadar, bodo amat. Pemikiran saya selanjutnya adalah penggunaan masker hanya jadi formalitas belaka–yang penting pakai, fungsi dan manfaatnya tidak tahu.
Di tempat saya tinggal, Bandung, Jawa Barat, tim gugus tugas Covid-19 Jawa Barat menetapkan aturan akan menilang dan mendenda orang yang tidak pakai masker di tempat umum. Dendanya 100.000 sampai 150.000. Ya lumayanlah, seharga beli paket internet.
Uniknya, ketika imbauan peraturan itu di-share di grup WhatsApp keluarga besar, mereka merespons akan komitmen pakai masker. Begitu juga bapak saya, ia sekarang tidak pernah lupa pakai masker. Jadi, orang-orang atau setidaknya keluarga besar saya memakai masker karena takut ditilang dan dimintai denda, bukan karena kepentingan masker itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Pendapat saya tentang pemakaian masker sekadar formalitas semakin menguat ketika saya melihat tempat-tempat nongkrong di kota saya penuh sesak. Tempat nongkrong yang kaki lima hingga bintang lima, semuanya penuh. Dan saya melihat kebanyakan dari mereka menggunakan masker. Pertanyaan saya adalah: menggunakan masker tapi berkumpul, tidak menjaga jarak, bagaimana logikanya?
Tidak hanya itu, timeline media sosial saya penuh oleh teman-teman saya yang membagikan momen mereka sedang berkumpul. Mereka nongkrong dan menjepret kebersamaannya. Mereka tampak bahagia, terlihat dari mata-matanya yang menyiratkan mereka tersenyum. Sayang sunggingan senyum dari bibir mereka tidak terlihat, tertutup oleh masker beraneka motif.
Sepertinya fakta lapangan semakin membuktikan hipotesis saya bahwa masker hanya sekadar formalitas. “Pokoknya pakai masker, urusan jaga jarak atau tidak, urusan nanti!” Mungkin begitu suara hati sebagian masyarakat hari ini. Kalau memang begitu, kita belum bisa seperti Belanda yang sudah tidak mewajibkan warganya untuk menggunakan masker.
ADVERTISEMENT
Belanda belakangan menyatakan tidak mewajibkan warganya untuk menggunakan masker. Mereka berani memberikan imbauan seperti itu karena pada realitanya, warga Belanda memakai masker dengan tidak benar. Ditambah juga tidak adanya kepatuhan terhadap aturan jaga jarak semakin meyakinkan pemerintah Belanda untuk tidak mewajibkan warganya memakai masker.
Mereka, pemerintah Belanda, berpendapat bahwa apabila masker wajib digunakan tapi penggunaannya tidak benar, juga warga tetap berkerumun, itu jauh lebih mungkin meningkatkan risiko penularan virus. Sehingga mereka memilih menyerukan aturan jaga jarak, ketimbang mewajibkan menggunakan masker.
Nah, itu Belanda. Lha kita? Pakai masker sekadar formalitas tanpa paham esensi dan urgensi masker, aturan jaga jarak diabaikan, lalu dengan bangga memotret kebersamaan sedang berkumpul sambil tersenyum penuh bahagia. Memang, kita Indonesia banget.
ADVERTISEMENT