Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Masa Pandemi: Ruang Berkontemplasi
28 Juli 2020 20:21 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:16 WIB
Tulisan dari Akbar Malik tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pandemi mengubah kehidupan umat manusia di seluruh dunia. Dari sektor yang paling menentukan kehidupan massal seperti ekonomi, sosial, dan politik hingga aspek paling individualis seperti kondisi psikologi terkena dampaknya. Perubahan akibat pandemi tidak akan dirasakan hanya beberapa bulan terakhir saja, tetapi kemungkinan akan berlangsung cukup lama–beberapa waktu ke depan.
ADVERTISEMENT
Berbagai konsep dan rumusan diluncurkan pemerintah, seperti work from home, physical distancing, hingga yang paling baru new normal. Yang terakhir itu adalah konsep kehidupan baru sebagai respons terhadap pandemi yang tidak kunjung mereda. Suatu adaptasi kehidupan baru dengan segala rutinitas dan aktivitas mesti dijalankan menggunakan standard protokol tertentu.
Sekian lama berdiam diri di rumah, melakukan segala hal sebisa mungkin dari dan di rumah, membuat kita lebih banyak berinteraksi dengan layar laptop atau gawai. Mungkin hanya ketika tidur saja kita tidak menatap layar, sisanya dihabiskan dengan pertemuan daring. Hal seperti itu, dalam pandangan psikologi, tentu kurang baik dan sehat.
Saya teringat konsep alienasi atau keterasingannya Erich Fromm, seorang tokoh psikologi analitis. Erich Fromm berkata “Manusia modern telah teralienasi dari dunia yang ia ciptakan sendiri, dari sesamanya, dari benda-benda yang ia gunakan dan konsumsi, dari pemerintahan dan dari dirinya sendiri.”
ADVERTISEMENT
Teralienasi berarti merasa terasing. Merasa sendiri dalam kesenyapan. Hal itu, menurut Erich Fromm, wajar dirasakan oleh manusia modern sebagai konsekuensi dari adanya dan interaksi dengan produk teknologi yang manusia ciptakan. Singkatnya, kita yang menciptakan sekaligus merasakan dampaknya. Salah satu dampak psikologisnya adalah kondisi alienasi: merasa terasing dan sendiri.
Ketika konsep work from home digulirkan sampai hari ini new normal terus digalakkan, pandemi melahirkan alienasi-alienasi pada setiap individu. Seorang dosen yang mengajar dari rumah; seorang mahasiswa yang kuliah di rumah; seorang fresh graduate yang belum bisa mencari kerja; hingga para penggiat start-up yang terus berusaha berkreasi dari rumah.
Alienasi atau keterasingan di masa pandemi menjadi lumrah. Rutinitas berinteraksi secara daring melahirkan alienasi dan memicu gangguan kesehatan mental. Entah berapa banyak orang yang mengaku stres akibat terus berdiam diri di rumah dan melakukan serangkaian aktivitas melalui daring.
ADVERTISEMENT
Kita tentu tidak bisa menyalahkan keadaan pandemi dan segala kebijakan yang diakibatkannya. Alih-alih menyalahkan keadaan, kita harus berpikir bagaimana menyiasati keadaan agar pikiran tetap segar dan perasaan tetap lega. Dari kondisi alienasi yang mungkin muncul, ada kemungkinan lain yang lebih tepat dilakukan saat ini, sesuatu yang mungkin lupa dilakukan ketika kehidupan berjalan biasa saja sebelum ada pandemi.
Kemungkinan lain itu adalah kontemplasi. Pandemi yang berdampak pada sekian banyak aspek kehidupan memaksa kita menghela napas sejenak, kemudian merebahkan diri dalam rehat. Tarikan napas itu harus dinikmati secara dalam, dilakukan secara serius dan teratur agar sedikit memberi ruang pada pikiran dan perasaan untuk mengambil bagian kosongnya.
Ruang pertemuan daring sudah terlampau sesak oleh setiap kepentingan dan keperluan, maka kita perlu menciptakan ruang kontemplasi yang kosong dari kepentingan eksternal. Ruang kontemplasi itu hanya kita yang mengisi, demi kebutuhan batin secara internal. Batin juga seperti pikiran, perlu dicas agar bisa penuh kembali. Dan kontemplasi itulah yang bisa memenuhi batin.
ADVERTISEMENT
Kontemplasi adalah ruang bermeditasi, bagaimana kita sedikit mengambil jarak dengan laptop dan gawai, kemudian meluangkan waktu untuk mengobrol dengan diri sendiri. Kita perlu sedikit menepi dan melipir pada kesunyian kontemplasi (bukan alienasi), lalu berefleksi tentang hal-hal yang kita anggap penting dalam hidup.
Sejumlah prinsip, nilai, persepsi dan pandangan hidup mungkin perlu direkonstruksi; diterjemahkan dan ditafsirkan ulang. Kita tidak mungkin dapat mengetahui apa yang benar-benar kita inginkan apabila tidak berkontemplasi. Kontemplasi dalam wujud renungan yang menenangkan akan melahirkan ketenteraman batin, lebih-lebih bisa menghasilkan rumusan konsep kehidupan yang hendak kita jalani dengan lebih segar dan membahagiakan.
Masa pandemi menyebabkan perubahan kehidupan yang destruktif pada banyak hal, tapi yang harus kita cari adalah hal-hal yang bisa dibangun secara konstruktif-positif pada kehidupan kita, khususnya pasca-pandemi nanti. Satu hal yang tidak kalah penting dari pembenahan ekonomi dan kesehatan fisik adalah kondisi psikologis–kesehatan mental. Dan berkontemplasi adalah cara untuk menjaga stabilitas psikologi kita agar tetap sehat.
ADVERTISEMENT
New normal atau adaptasi kenormalan baru adalah konsep reaksi dari keadaan pandemi yang mungkin tidak akan pernah bisa benar-benar hilang dari kehidupan. Kita dipaksa untuk beradaptasi terhadap tatanan kehidupan yang baru, segala hal mesti dijalankan dengan standard protokol dan kita dituntut untuk hidup lebih higienis.
Kenyataan bahwa kehidupan akan sedikit lebih berbeda, ditambah pembenahan di berbagai lini tentu mengharuskan kita memperbarui sejumlah tatanan pikiran dan perasaan yang sudah mengakar kuat. Pembaruan dalam arti penyegaran, proses refleksi-kontemplasi atas segala kepastian dan kemungkinan yang sudah dan akan terjadi.
Hujatan dan cacian yang kita lemparkan pada pandemi Covid-19 sudah sangat banyak. Kita perlu menyisakan satu ucapan terima kasih kepada Covid-19, barangkali dengan hadirnya ia kita jadi lebih banyak waktu mengobrol dengan diri sendiri, berkontemplasi, dan menjadi pribadi baru dengan pemikiran yang lebih rileks dan reflektif.
ADVERTISEMENT