Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Mengenang Ajip Rosidi: Sastrawan Sunda yang Bersahaja
1 Agustus 2020 10:14 WIB
Tulisan dari Akbar Malik tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mata itu tak bisa terbuka lagi. Pikiran dalam wujud lisan dan tulisan sudah berhenti berproduksi. Embusan napasnya telah mendengus untuk terakhir kali. Tapi, pemberhentian segala aktivitas fisik yang diambil-Nya tidak akan membuat buah pikir dan rasanya enggan mengudara. Karyanya akan terus hidup, menjelma menjadi wacana abadi kehidupan sastra dan budaya di Indonesia.
ADVERTISEMENT
***
Ia adalah Ajip Rosidi. Publik masyhur mengenalnya sebagai sastrawan dan budayawan. Tertanggal 29 Juli 2020, ia pergi meninggalkan sejumlah kenangan dan karya abadi. Selama 82 tahun menggumuli bahasa, sastra, dan budaya, ia telah jauh lebih dari cukup mewariskan pemikiran, kebersahajaan, dan karya yang tak pernah lekang oleh waktu.
Saya memang tak pernah bertemu secara langsung dengan beliau, mengingat jarak yang begitu jauh antara saya dengan beliau. Saya hanyalah anak Sunda biasa yang sedang mencoba mendalami sastra dan budaya dalam ranah akademik, sementara beliau merupakan tokoh yang digelari sastrawan dan budayawan besar Indonesia.
Pertemuan fisik memang tidak pernah terjadi, tapi perjumpaan batin dan spiritual melalui karya-karyanya terasa sangat akrab. Sebelum kuliah di jurusan Sastra, sejak SMA saya sudah mengenali nama Ajip Rosidi. Sajak hingga cerita pendek berbahasa Sunda beliau biasa dibacakan, dianalisis, dan dipelajari bersama di kelas. Sehingga tak sulit untuk mengenali beliau sebagai sastrawan Sunda, pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Di bangku kuliah, perjumpaan batin dengan beliau menjadi lebih dalam dan intim. Dua buku ilmiahnya, yang berjudul Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia dan Puisi Indonesia Modern adalah buku yang beberapa di antara kami, mahasiswa Sastra, pegang dan jadikan rujukan.
Selain buku non-fiksi yang akademis lagi ilmiah tersebut, rasanya tidak lengkap apabila mengenang Ajip Rosidi tapi tak menyebut karyanya yang berjudul Jante Arkidam. Suatu buku kumpulan sajak Sunda, sebenarnya, tapi di kemudian hari diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Jante Arkidam adalah salah satu karya legendaris beliau, harum dikenal dan dibacakan oleh banyak orang yang berkecimpung di dunia kesusastraan Indonesia ataupun Sunda.
Beliau bukan hanya sastrawan dan budayawan, melainkan seorang pengajar yang ulet. Tercatat pernah menjadi pengajar di universitas di Jepang tahun 1967, kemudian pada tahun 80-an diundang dan dianugerahi guru besar tamu di Osaka University dalam bidang bahasa asing. Tidak hanya itu, beliau pada tahun yang sama mengajar pula di Kyoto Sangyo University dan Tenri University.
ADVERTISEMENT
Keseriusannya mendalami bahasa, sastra, serta budaya membuat beliau secara serius membumikan tiga hal tersebut melalui berbagai lini. Di ruang kelas, beliau mengajar. Sempat mengajar di Universitas Padjajaran, dan sejumlah universitas di Indonesia sebagai dosen tamu. Di luar kelas, beliau terus menyebarkan pengaruh dan kemampuannya melalui amanah struktural dan torehan kultural.
Dalam ranah struktural, sejak awal didirikannya Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) oleh Ali Sadikin di tahun 1968, beliau sudah mengambil bagian menjadi anggota. Selanjutnya, dalam beberapa kali masa jabatan, ia terpilih menjadi ketua DKJ. Jejak keorganisasiannya tidak hanya itu, ia pun pernah menjadi ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) pada rentang tahun yang sama.
Sementara dalam ranah kultural, ia terus melanggengkan kebiasaan menulisnya. Sajak, cerita pendek, naskah drama, cerita anak-anak, hingga esai tentang sastra dan budaya ditulisnya. Konon Ajip Rosidi pertama kali menelurkan buku ketika usianya 17 tahun. Tahun-Tahun Kematian adalah buku pertamanya, sebuah kumpulan cerita pendek. Ia terus menulis dan melakukan serangkaian aktivitas kesusastraan dan kebudayaan hingga menjelang mautnya.
ADVERTISEMENT
Ajip Rosidi tidak hanya berkarya, tapi juga mengkaryakan dan mengapresiasi karya orang lain. Tahun 1989 menjadi awal ia dengan kawan-kawannya menginisiasi Hadiah Sastera Rancage, suatu penghargaan bagi sastrawan Sunda yang terus berkarya dan memelihara sastra Sunda.
Keinginannya memelihara dan mengembangkan sastra daerah berlanjut pada pembentukan Yayasan Kebudayaan Rancage pada tahun 1993. Sampai saat ini, yayasan tersebut tetap eksis dan aktif menyelenggarakan kegiatan yang berbasis kebahasaan, kesusastraan, dan kebudayaan.
Kegiatan paling populer dari yayasan itu adalah penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang menghidupkan sastra daerah. Bukan hanya sastra Sunda, tapi juga sastra Jawa, Banjar, Bali, Lampung, hingga Batak. Sungguh suatu upaya lebih dari serius dalam menggelorakan sastra daerah.
Berkat sejumlah karya dan kiprahnya, ia banyak diberi penghargaan, baik dari dalam maupun luar negeri. Dengan kata lain, kualitas serta kuantitas karyanya diakui di pentas nasional dan internasional. Jepang, Australia, dan Belanda adalah beberapa negara yang memberikan penghargaan kebudayaan kepada Ajip Rosidi.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, seorang mahasiswa yang baru belajar sastra dan budaya, Ajip Rosidi lebih dari sekadar sastrawan dan budayawan. Beliau adalah guru, tokoh, dan teladan yang telah menggariskan karya-karya besarnya bagi sastra Indonesia dan sastra Sunda. Beliau mengajarkan arti ketekunan dan pengabdian yang besar bagi seluruh insan kesusastraan dan kebudayaan Indonesia.
Selamat jalan, Pak Ajip Rosidi. Walau tangan ini belum sempat mencium khidmat tanganmu, mata dan batin akan senantiasa menyelami karya-karya tulismu.