Konten dari Pengguna

Fenomena Work-Life Balance: Realita atau Sekadar Ilusi?

Akbar Maulana
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sumatera Utara,Medan
4 April 2025 16:42 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Akbar Maulana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://www.pexels.com/id-id/pencarian/work%20life%20balance/
zoom-in-whitePerbesar
https://www.pexels.com/id-id/pencarian/work%20life%20balance/
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa tahun terakhir, istilah work-life balance semakin sering diperbincangkan, terutama di kalangan pekerja muda dan profesional urban. Konsep ini menggambarkan keseimbangan antara kehidupan profesional dan pribadi agar seseorang tidak merasa terbebani oleh pekerjaan. Namun, di tengah tuntutan ekonomi dan budaya kerja yang kompetitif, benarkah work-life balance dapat diwujudkan, atau hanya sekadar ilusi yang sulit dicapai?
ADVERTISEMENT
Antara Harapan dan Realita
Banyak perusahaan saat ini mengklaim mendukung work-life balance dengan menawarkan kebijakan seperti jam kerja fleksibel, cuti tak terbatas, atau bekerja dari rumah. Namun, dalam praktiknya, banyak pekerja justru merasa bahwa batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi semakin kabur. Dengan kemajuan teknologi, email dan pesan kerja dapat masuk kapan saja, membuat banyak karyawan merasa harus selalu tersedia meskipun sudah di luar jam kerja.
Survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga menunjukkan bahwa banyak pekerja mengalami stres akibat tekanan pekerjaan yang berlebihan. Dalam beberapa kasus, kebijakan fleksibel justru menciptakan ekspektasi bahwa karyawan harus tetap produktif kapan pun dan di mana pun, mengaburkan batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Tantangan dalam Mewujudkan Work-Life Balance
ADVERTISEMENT
Ada beberapa faktor yang membuat work-life balance sulit tercapai, antara lain:
Budaya Kerja yang KompetitifBanyak perusahaan masih memiliki budaya kerja yang mengukur dedikasi berdasarkan jumlah jam kerja, bukan produktivitas. Akibatnya, banyak pekerja merasa harus bekerja lebih lama agar tidak dianggap kurang berdedikasi.
Teknologi yang Mengaburkan BatasKehadiran teknologi digital memudahkan komunikasi, tetapi juga menciptakan ekspektasi bahwa karyawan harus selalu responsif, bahkan di luar jam kerja.
Tuntutan FinansialKenaikan biaya hidup membuat banyak orang merasa perlu bekerja lebih keras atau mengambil pekerjaan tambahan, sehingga sulit menemukan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Mencari Solusi: Work-Life Integration?
Daripada mencari keseimbangan yang mungkin sulit dicapai, beberapa pakar menyarankan konsep work-life integration. Alih-alih memisahkan secara tegas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, work-life integration mengajak individu untuk menyesuaikan keduanya sesuai dengan kebutuhan dan preferensi masing-masing.
ADVERTISEMENT
Misalnya, seseorang dapat memilih bekerja pada jam yang lebih produktif bagi mereka atau menyisihkan waktu di tengah hari untuk aktivitas pribadi sebelum kembali bekerja. Dengan demikian, individu dapat tetap produktif tanpa mengorbankan aspek kehidupan lainnya.
Kesimpulan
Pada akhirnya, work-life balance mungkin bukanlah konsep yang bisa diterapkan secara universal, melainkan harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing individu. Setiap orang memiliki tantangan dan prioritas yang berbeda, sehingga yang terpenting adalah menemukan pola kerja yang memungkinkan produktivitas tanpa mengorbankan kesehatan mental dan kebahagiaan.
Jika perusahaan benar-benar ingin mendukung keseimbangan ini, mereka perlu menciptakan budaya kerja yang lebih sehat, dengan fokus pada hasil daripada sekadar jumlah jam kerja. Sementara itu, individu juga perlu belajar menetapkan batasan dan mengatur prioritas agar tidak terjebak dalam tekanan kerja yang berlebihan.
ADVERTISEMENT
Jadi, apakah work-life balance itu nyata atau sekadar ilusi? Jawabannya tergantung pada bagaimana kita mendefinisikan dan mengelolanya dalam kehidupan kita masing-masing.