Konten dari Pengguna

Guru Honorer dan Dosen ASN: Menuntut Keadilan dalam Dunia Pendidikan

Akbar Maulana
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sumatera Utara,Medan
8 Mei 2025 21:19 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Akbar Maulana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://pixabay.com/id/photos/sekolah-kelas-anak-laki-laki-79612/
zoom-in-whitePerbesar
https://pixabay.com/id/photos/sekolah-kelas-anak-laki-laki-79612/
ADVERTISEMENT
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kualitas guru dan dosen yang menjalankannya. Namun, di balik semangat membangun generasi emas 2045 dan jargon "revolusi pendidikan," ada kenyataan pahit yang terus diabaikan: ribuan guru honorer dan dosen ASN (non-PNS) masih hidup dalam ketidakpastian, keterbatasan, dan diskriminasi struktural.
ADVERTISEMENT
Mereka adalah ujung tombak dunia pendidikan, tetapi sering kali ditempatkan di barisan belakang dalam hal penghargaan dan pengakuan. Apa arti kemajuan pendidikan jika mereka yang membangunnya justru terus-menerus dilupakan?
Ketimpangan di Ruang Kelas
Di berbagai pelosok negeri, guru honorer mengajar dengan sepenuh hati meski menerima gaji jauh di bawah standar kelayakan. Banyak dari mereka menerima upah hanya Rp300.000–Rp700.000 per bulan — angka yang bahkan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok. Sementara itu, dosen ASN non-PNS menghadapi situasi tak kalah pelik: status yang menggantung, minim tunjangan, beban kerja tinggi, serta keterlambatan pembayaran tunjangan kinerja.
Kondisi ini menjadi ironi dalam sistem pendidikan yang digembar-gemborkan menuju kualitas global. Bagaimana bisa sebuah bangsa menuntut kompetensi tinggi dari para pendidiknya, sementara mereka sendiri terus dikebiri hak dasarnya?
ADVERTISEMENT
Kebijakan Setengah Hati
Pemerintah sebenarnya telah mencoba menjawab sebagian dari persoalan ini melalui mekanisme PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Namun, realita di lapangan menunjukkan bahwa solusi ini masih bersifat parsial dan administratif. Banyak guru honorer berpengalaman tidak lolos hanya karena kurangnya dokumen atau tidak memenuhi standar teknis yang cenderung kaku, meski pengabdian mereka sudah berlangsung selama puluhan tahun.
Yang lolos pun tak lantas bisa bernapas lega. Proses pengangkatan yang berlarut-larut, gaji yang tertunda berbulan-bulan, serta belum meratanya informasi menyebabkan keresahan baru. Dosen ASN juga mengalami hal serupa. Tunjangan kinerja sering terlambat, sedangkan beban pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat tetap berjalan tanpa keringanan.
Ini bukan hanya tentang uang. Ini soal rasa keadilan. Ini tentang bagaimana negara memperlakukan pendidik: sebagai pilar peradaban, atau hanya sebagai alat birokrasi?
ADVERTISEMENT
Akibat Ketimpangan yang Sistemik
Ketimpangan ini berdampak lebih luas dari sekadar urusan dapur. Ketika guru dan dosen tidak dihargai secara layak, semangat mengajar akan terkikis. Kualitas pembelajaran menurun, dan motivasi generasi muda untuk menjadi pendidik semakin merosot.
Tak jarang, guru honorer harus mencari penghasilan tambahan dengan menjadi ojek online, pedagang kaki lima, bahkan buruh lepas. Sementara itu, dosen ASN dengan gelar akademik tinggi masih harus memutar otak mencari proyek tambahan demi mencukupi kebutuhan keluarga. Beban mental yang mereka tanggung jelas berdampak pada kualitas proses belajar-mengajar.
Di sisi lain, siswa dan mahasiswa yang seharusnya mendapatkan pendidikan terbaik akhirnya menjadi korban dari sistem yang timpang. Ini adalah rantai ketidakadilan yang tidak bisa dibiarkan terus berlangsung.
ADVERTISEMENT
Menghargai Bukan Sekadar Simbolik
Sudah terlalu sering guru dan dosen dijadikan simbol perjuangan dalam pidato-pidato peringatan Hari Pendidikan. Namun, penghargaan sejati bukanlah sebatas kata-kata manis, melainkan hadir dalam bentuk kebijakan nyata: gaji yang layak, status yang pasti, dan akses yang adil terhadap pengembangan profesi.
Negara harus melakukan reformasi sistemik yang menyeluruh. Mulai dari transparansi rekrutmen, penyederhanaan jalur afirmatif untuk guru berpengalaman, percepatan pencairan tunjangan, hingga penyusunan standar kerja yang tidak diskriminatif antara PNS dan non-PNS.
Jangan sampai nasib guru dan dosen kita ditentukan oleh keberuntungan semata dalam sistem yang penuh lubang.
Harapan untuk Masa Depan
Meski kondisi saat ini memprihatinkan, harapan belum sepenuhnya pupus. Dukungan dari masyarakat, asosiasi pendidikan, dan media menjadi pendorong penting bagi perubahan. Kini saatnya semua elemen — mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah — duduk bersama dan memprioritaskan keadilan bagi para pendidik.
ADVERTISEMENT
Generasi masa depan Indonesia hanya akan sekuat pendidiknya hari ini. Maka sudah waktunya kita berhenti membiarkan mereka berjuang sendirian.
Penutup: Pendidikan Butuh Keadilan, Bukan Sekadar Narasi
Keadilan bagi guru honorer dan dosen ASN bukan lagi isu sektoral, tetapi ujian kemanusiaan dan keadaban bangsa. Mereka telah memberi begitu banyak, saatnya negara membalasnya dengan sistem yang adil, penghargaan yang nyata, dan keberpihakan yang sungguh-sungguh.
Tanpa keadilan untuk para pendidik, jangan harap kita bisa membangun masa depan yang lebih cerah.