Konten dari Pengguna

Syukur yang Dikhianati: Ketika Kekuasaan Tak Lagi Amanah

Akbar Pelayati
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
13 Mei 2025 19:12 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Akbar Pelayati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pejabat pemerintah yang gemar mencuri uang Rakyat (Sumber AI)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pejabat pemerintah yang gemar mencuri uang Rakyat (Sumber AI)
ADVERTISEMENT
Syukur adalah konsep yang sangat mendalam dalam agama dan kehidupan sehari-hari. Biasanya, kita mengucapkan kata "syukur" sebagai ekspresi rasa terima kasih kepada Tuhan atas segala nikmat-Nya. Namun, syukur tidak hanya terbatas pada ucapan verbal semata. Dalam dimensi yang lebih dalam, syukur mencakup sebuah tindakan konkret yang mencerminkan cara kita memperlakukan dan memanfaatkan nikmat yang telah diberikan kepada kita. Syukur sejati seharusnya tidak hanya menjadi ungkapan simbolik, tetapi juga tindakan etis yang tercermin dalam cara kita bertindak, berperilaku, dan menggunakan segala karunia yang ada.
ADVERTISEMENT
Al-Qur'an dengan jelas menyatakan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan tidak mengetahui apapun, namun Allah memberikan pendengaran, penglihatan, dan hati untuk membantu kita memahami dunia dan bersyukur (QS. An-Nahl: 78). Ini berarti bahwa syukur tidak hanya diucapkan, tetapi lebih dari itu, kita diminta untuk memanfaatkan semua instrumen yang Allah berikan—seperti akal, hati, dan indra kita—untuk memperoleh pengetahuan, kebenaran, dan manfaat bagi diri sendiri serta orang lain. Ketika kita menggunakan akal, penglihatan, dan hati kita dengan bijaksana, itulah bentuk syukur yang sejati. Syukur adalah wujud konkret dari pemanfaatan nikmat untuk tujuan yang lebih besar, yakni kebaikan bersama.
Namun, dalam kenyataannya, banyak orang, terutama pejabat publik, yang gagal menghidupi makna syukur ini dalam tindakan mereka. Mereka yang diberikan amanah kekuasaan dan jabatan—yang seharusnya digunakan untuk melayani rakyat—sering kali menggunakannya untuk kepentingan pribadi. Jabatan yang seharusnya digunakan untuk keadilan dan kemaslahatan bersama, malah disalahgunakan untuk akumulasi kekayaan, memperluas jaringan kekuasaan pribadi, atau bahkan mempermainkan hukum demi keuntungan tertentu. Inilah salah satu bentuk kekufuran yang nyata: tidak mengindahkan nikmat yang diberikan dan mengkhianati amanah yang diberikan oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, kita bisa melihat fenomena di kalangan anggota legislatif yang tidak menjalankan tugas mereka dengan sungguh-sungguh. Banyak dari mereka yang absen dalam sidang, tidak memahami substansi rancangan undang-undang yang mereka bahas, dan bahkan terlibat dalam tindakan korupsi. Padahal, mereka dipilih oleh rakyat dan diberi tugas untuk memperjuangkan kepentingan publik. Jika jabatan yang diemban hanya dijadikan kendaraan untuk memenuhi kepentingan pribadi, maka syukur yang sejati telah dikhianati.
Begitu pula di lingkungan birokrasi dan lembaga eksekutif. Banyak pejabat yang hidup dalam kemewahan berlebih, bersikap elitis, dan tidak lagi peka terhadap penderitaan rakyat. Jabatan yang seharusnya dijalankan dengan empati dan integritas, justru digunakan sebagai simbol status sosial dan alat untuk memperkuat posisi pribadi. Dalam perspektif agama, ini adalah bentuk nyata dari kufur nikmat yang harus dihindari.
ADVERTISEMENT
Syukur sejati dalam konteks kekuasaan menuntut kita untuk bekerja lebih keras, hidup lebih sederhana, dan memiliki komitmen yang lebih tinggi terhadap keadilan sosial. Jabatan dan kekuasaan bukanlah hadiah untuk dinikmati semata, tetapi ujian yang harus dijalani dengan penuh tanggung jawab moral. Dalam ajaran agama, kekuasaan adalah amanah, dan amanah ini menuntut pertanggungjawaban, baik di dunia maupun di akhirat. Pejabat yang diberikan amanah harus menyadari bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka dalam menjalankan kekuasaan.
Penting untuk mengingat bahwa syukur tidak hanya berupa ucapan verbal, tetapi harus menjadi prinsip dasar yang mendasari setiap kebijakan dan keputusan publik. Syukur harus diterjemahkan dalam tindakan nyata yang memajukan kesejahteraan rakyat dan menegakkan keadilan. Jika syukur dipahami dengan baik, maka jabatan tidak akan disalahgunakan. Sebaliknya, jabatan akan menjadi sarana untuk mewujudkan perubahan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Saat ini, negeri ini tidak kekurangan pejabat yang pintar, berpendidikan, dan berpengalaman. Yang lebih dibutuhkan adalah pemimpin yang benar-benar memahami makna syukur, yakni pemimpin yang mampu menggunakan kekuasaan untuk menegakkan keadilan, melindungi yang lemah, dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Pemimpin yang bersyukur adalah pemimpin yang bekerja dengan integritas, memiliki komitmen untuk memperbaiki nasib rakyat, dan menjaga amanah yang diberikan dengan sebaik-baiknya.
Jika pemimpin-pemimpin yang demikian dapat muncul dan menjalankan syukur dengan penuh kesadaran, maka syukur tidak hanya akan menjadi kata-kata belaka. Syukur akan berubah menjadi kekuatan moral yang menggerakkan perubahan dalam masyarakat. Syukur akan menjadi prinsip yang mendasari setiap kebijakan publik, setiap tindakan pemerintahan, dan setiap keputusan yang diambil untuk memajukan kesejahteraan bersama. Sebuah negara yang dipimpin dengan penuh syukur akan menjadi negara yang adil, sejahtera, dan penuh dengan kebaikan untuk semua rakyatnya.
ADVERTISEMENT
Penulis: Akbar Pelayati, S.Ag
*Alumni Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar