Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
10 Ramadhan 1446 HSenin, 10 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Danantara: Investasi atau Beban Rakyat?
4 Maret 2025 14:23 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari M Akbar Aditama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pemerintah telah meresmikan Daya Anagata Nusantara (Danantara), sebuah Sovereign Wealth Fund (SWF) yang diklaim akan menjadi solusi bagi pendapatan negara di luar pajak. Dengan ambisi mengelola aset hingga US$900 miliar, Danantara digadang-gadang sebagai instrumen investasi yang mampu mengoptimalkan aset negara dan meningkatkan daya saing ekonomi. Namun, di tengah euforia peluncuran Danantara, muncul pertanyaan mendasar: Apakah kebijakan ini benar-benar berpihak pada rakyat, atau justru menjadi kontradiksi dengan kebijakan fiskal yang diterapkan pemerintah?
ADVERTISEMENT
Pada saat pemerintah membentuk Danantara dengan modal besar, masyarakat justru dihadapkan pada kebijakan penghematan anggaran (austerity) yang membatasi subsidi, mengurangi anggaran layanan publik, dan bahkan membuka wacana peningkatan pajak untuk menutup defisit. Bagaimana mungkin pemerintah bisa mengalokasikan dana besar untuk investasi jangka panjang, sementara kebutuhan dasar rakyat semakin ditekan? Jika Danantara benar-benar bertujuan untuk menciptakan kemandirian fiskal, mengapa masyarakat harus menanggung beban ekonomi yang lebih berat dalam jangka pendek?
SWF dan Austerity yang Membebani Rakyat
Pemerintah sering kali menggambarkan Danantara sebagai solusi untuk mengurangi ketergantungan pada pajak, tetapi dalam praktiknya, kebijakan ini justru bisa memperburuk tekanan fiskal bagi masyarakat. Pembangunan SWF di negara lain seperti Malaysia dengan 1MDB dan Brasil dengan FSB telah menunjukkan bahwa tanpa pengawasan ketat, SWF bisa menjadi sumber korupsi dan kerugian besar bagi negara. Jika Danantara mengalami kegagalan dalam strategi investasi atau mengalami tekanan politik dalam pengelolaan aset, maka dampaknya akan langsung berimbas pada APBN.
ADVERTISEMENT
Yang lebih mengkhawatirkan, di saat yang sama pemerintah justru menerapkan kebijakan penghematan anggaran dengan dalih efisiensi fiskal. Subsidi energi mulai dikurangi, insentif pajak bagi sektor usaha berkurang, dan belanja sosial ditekan untuk menyesuaikan dengan defisit anggaran. Hal ini menciptakan paradoks: mengapa pemerintah berani mengambil risiko investasi jangka panjang dengan Danantara, tetapi tidak memiliki keberanian yang sama untuk melindungi rakyatnya dalam jangka pendek?
Masyarakat sudah mulai merasakan dampak dari kebijakan fiskal yang semakin ketat. Harga kebutuhan pokok terus meningkat, subsidi energi semakin terbatas, dan program bantuan sosial tidak lagi sebesar sebelumnya. Jika pada akhirnya pemerintah gagal mengelola Danantara dengan baik, maka satu-satunya cara untuk menutupi kerugian adalah dengan menaikkan pajak atau memangkas anggaran lebih dalam lagi. Akankah masyarakat harus kembali menjadi korban dari keputusan ekonomi yang tidak transparan?
ADVERTISEMENT
Kasus 1MDB di Malaysia adalah contoh nyata bagaimana SWF bisa menjadi alat kekuasaan yang merugikan negara. Berawal dari proyek investasi ambisius, SWF tersebut akhirnya menjadi skandal korupsi global yang menyebabkan kerugian US$12 miliar dan memaksa pemerintah Malaysia untuk menanggung utangnya. Danantara berpotensi mengalami nasib serupa jika tidak dikelola dengan transparansi yang kuat dan pengawasan independen.
Pemerintah telah menjanjikan bahwa Danantara akan memiliki mekanisme audit independen dan tata kelola yang transparan. Namun, bagaimana memastikan bahwa janji ini benar-benar ditegakkan? Sejauh ini, tidak ada kepastian mengenai bagaimana Danantara akan beroperasi secara independen dari pengaruh politik. Apakah Danantara akan diawasi oleh lembaga independen, ataukah hanya menjadi alat bagi segelintir elit yang ingin memperkaya diri? Jika publik tidak memiliki akses terhadap laporan keuangan dan strategi investasi Danantara, maka lembaga ini berpotensi menjadi bom waktu fiskal yang bisa meledak kapan saja.
ADVERTISEMENT
Selain itu, tidak ada jaminan bahwa investasi Danantara akan menguntungkan. Kuwait Investment Authority (KIA) pernah kehilangan hampir 50% modalnya akibat krisis keuangan global. Jika Danantara mengalami nasib serupa, pemerintah pasti akan mencari cara untuk menutupi kerugian, dan itu kemungkinan besar akan dilakukan dengan menaikkan pajak atau memotong anggaran publik lebih dalam lagi.
Korban Eksperimen Fiskal
Jika pemerintah benar-benar ingin menjadikan Danantara sebagai solusi jangka panjang, ada beberapa langkah yang harus diambil agar rakyat tidak menjadi korban eksperimen fiskal ini. Pertama, transparansi mutlak diperlukan. Laporan keuangan Danantara harus tersedia untuk publik, dan pengelolaannya harus diawasi oleh lembaga independen yang tidak terafiliasi dengan pemerintah. Kedua, pemerintah harus memberikan jaminan bahwa jika Danantara gagal, rakyat tidak akan menanggung bebannya. Ini bisa dilakukan dengan menetapkan aturan bahwa kerugian Danantara tidak boleh ditutup dengan dana APBN atau melalui pajak tambahan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, daripada terlalu fokus pada investasi jangka panjang yang belum tentu menguntungkan, pemerintah seharusnya lebih dahulu memperkuat perekonomian domestik. Optimalisasi pajak tanpa menaikkan tarif, pemberantasan kebocoran pajak, serta reformasi BUMN yang lebih transparan bisa menjadi solusi yang lebih cepat dalam memperbaiki kondisi fiskal. Jangan sampai Danantara justru menjadi dalih untuk terus menekan subsidi dan belanja sosial, dengan alasan bahwa "investasi negara harus diutamakan."
Dalam teori, Danantara bisa menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan pendapatan negara di luar pajak. Namun, jika tidak dikelola dengan benar dan tanpa pengawasan ketat, lembaga ini justru bisa menjadi jebakan fiskal yang pada akhirnya harus ditanggung oleh rakyat. Kontradiksi antara pembentukan Danantara dan kebijakan penghematan anggaran menunjukkan bahwa pemerintah belum memiliki strategi yang benar-benar selaras dalam mengelola ekonomi. Jika Danantara sukses, manfaatnya mungkin baru akan terasa dalam satu atau dua dekade ke depan. Tapi jika gagal, dampaknya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat dalam bentuk kenaikan pajak dan pemotongan belanja sosial.
ADVERTISEMENT
Pemerintah harus segera menjawab pertanyaan ini dengan tindakan nyata: Apakah Danantara benar-benar akan memberikan kesejahteraan bagi rakyat, atau hanya menjadi instrumen keuangan yang membebani mereka? Transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan terhadap kepentingan masyarakat harus menjadi prioritas utama, bukan sekadar janji manis investasi jangka panjang. Jika tidak, Danantara bisa berubah dari harapan baru menjadi bencana fiskal yang tak terhindarkan. Kini saatnya bertanya: Apakah Danantara benar-benar akan menjadi solusi bagi pendapatan negara, atau justru menjadi bom waktu yang harus ditanggung oleh rakyat?