Konten dari Pengguna

Reformasi Pajak yang Membingungkan

M Akbar Aditama
Tax Policy Analyst di Pratama Institute For Fiscal & Governance Studies
11 Februari 2025 5:50 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Akbar Aditama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Image by freepik/Ilustrasi - Reformasi Pajak yang Membingungkan
zoom-in-whitePerbesar
Image by freepik/Ilustrasi - Reformasi Pajak yang Membingungkan
ADVERTISEMENT
Sejak awal Januari 2025, permasalahan Coretax mengalami pergeseran. Awalnya, perdebatan berkisar pada bahasa pemrograman yang digunakan dalam Coretax serta ketidakjelasan bahasa hukum dalam PMK 81/2024 yang menjadi dasar pengaturannya. Namun, kini permasalahan yang lebih dominan adalah sejauh mana Wajib Pajak memahami serta memiliki keterampilan teknis dalam menggunakan teknologi baru yang diterapkan dalam Coretax.
ADVERTISEMENT
Salah satu isu utama yang muncul adalah implementasi konsep impersonating dalam sistem Coretax, yang berkaitan erat dengan pengaturan role access. Dalam skema ini, hak dan kewajiban perpajakan dijalankan melalui mekanisme impersonating, di mana akun Coretax badan atau individu dengan perwakilan hanya dapat dioperasikan oleh pengurus, wakil, atau kuasa yang telah ditunjuk secara resmi.
Sebelum diberlakukannya Coretax, akses terhadap akun Wajib Pajak badan jauh lebih longgar. Siapapun yang mengetahui username dan password dapat mengaksesnya dengan mudah, tanpa ada pembatasan berdasarkan status sebagai pengurus atau kuasa resmi. Kini, dengan konsep impersonating, hanya individu yang memiliki otorisasi yang dapat menjalankan akun tersebut.
Namun, implementasi sistem ini memunculkan tantangan baru. Ketidaksiapan Wajib Pajak dalam memahami bahasa pemrograman Coretax serta keterbatasan kemampuan teknis mereka dalam mengoperasikan sistem ini menjadi hambatan utama. Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah sejauh mana individu yang diberi kuasa memiliki akses terhadap data yang dianggap konfidensial oleh Wajib Pajak. Kekhawatiran ini menunjukkan bahwa meskipun sistem Coretax dirancang untuk meningkatkan keamanan dan kepatuhan, masih terdapat celah dalam pemahaman dan kesiapan pengguna dalam menghadapi perubahan teknologi ini.
ADVERTISEMENT

Peran Konsultan

Reformasi perpajakan melalui Core Tax Administration System (CTAS) bertujuan meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan dengan dukungan teknologi informasi, sementara regulasi pajak memberikan landasan hukum guna memastikan kepastian dan keadilan dalam pemungutan pajak. Namun, meskipun keduanya dirancang untuk saling melengkapi, implementasinya tidak selalu berjalan selaras. Integrasi proses bisnis manual ke dalam sistem berbasis teknologi menciptakan tantangan baru, terutama bagi Wajib Pajak yang tidak memiliki pemahaman teknis yang memadai.
Dalam sistem perpajakan yang semakin kompleks, peran konsultan pajak menjadi krusial. Thuronyi & Vanistendael (1998) menegaskan bahwa sistem perpajakan yang efektif sulit diwujudkan tanpa kehadiran konsultan pajak, mengingat banyak Wajib Pajak yang kesulitan memahami regulasi perpajakan. Konsultan pajak berperan membantu Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan mereka, sekaligus berkontribusi pada peningkatan kepatuhan pajak. Namun, dilema muncul karena loyalitas utama konsultan pajak berada pada klien, bukan pada negara, sehingga menciptakan tantangan dalam menyeimbangkan kepentingan pribadi Wajib Pajak dengan kepentingan publik.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, permasalahan yang muncul dalam sistem Coretax menambah kompleksitas administrasi perpajakan. Berbeda dengan aspek regulasi yang masih dapat diinterpretasikan oleh konsultan pajak, solusi atas permasalahan teknis di Coretax sepenuhnya bergantung pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai pengembang sistem. Bahkan, tidak semua pegawai DJP memiliki kewenangan atau pemahaman teknis yang cukup untuk menangani kendala yang muncul. Hal ini menjadikan tim pengembang Coretax sebagai satu-satunya pihak yang dapat memberikan solusi atas permasalahan yang terjadi, menciptakan ketergantungan yang tinggi terhadap sistem dan pengelolanya.
Ketidakseimbangan antara reformasi teknologi, regulasi pajak, dan kesiapan Wajib Pajak dalam mengadopsi sistem baru menyoroti perlunya pendekatan yang lebih terintegrasi. Jika tidak ada solusi yang lebih inklusif dalam mendukung pengguna sistem Coretax, maka reformasi perpajakan yang diharapkan justru berisiko menciptakan hambatan baru dalam kepatuhan pajak serta meningkatkan ketergantungan terhadap pihak-pihak tertentu dalam proses administrasi perpajakan.
ADVERTISEMENT

Dampak Coretax terhadap Kepatuhan Wajib Pajak

Ketidakjelasan dalam implementasi Coretax bukan sekadar menyulitkan Wajib Pajak secara teknis, tetapi juga berpotensi merusak fondasi kepatuhan pajak yang selama ini dibangun. Sistem ini diperkenalkan dengan harapan meningkatkan efisiensi dan transparansi, namun kenyataannya justru menciptakan tantangan baru yang membebani Wajib Pajak, terutama mereka yang tidak memiliki latar belakang teknologi. Akses yang terbatas, sistem yang tidak ramah pengguna, serta kurangnya pendampingan teknis membuat banyak Wajib Pajak kesulitan mengoperasikan Coretax secara optimal. Akibatnya, bukan hanya terjadi keterlambatan dalam pelaporan, tetapi juga meningkatnya risiko kesalahan administratif yang dapat berujung pada sanksi yang seharusnya bisa dihindari.
Lebih jauh, penerapan konsep impersonating dalam Coretax menambah lapisan kompleksitas yang tidak selalu sejalan dengan prinsip kemudahan administrasi perpajakan. Jika sebelumnya Wajib Pajak dapat dengan mudah mengakses akun mereka sendiri, kini mereka harus memahami mekanisme otorisasi yang lebih ketat dan sering kali membingungkan. Padahal, bagi banyak Wajib Pajak, aspek teknis ini bukanlah prioritas utama dalam menjalankan kewajiban perpajakan mereka. Ketidaksiapan dalam memahami sistem baru ini tidak hanya menimbulkan kebingungan, tetapi juga berpotensi menyebabkan keterlambatan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, bahkan meningkatkan risiko pelanggaran administratif yang tidak disengaja.
ADVERTISEMENT
Coretax memang digadang-gadang sebagai solusi modern dalam administrasi perpajakan. Namun, klaim efisiensi dan keamanan yang menjadi dasar penerapannya perlu dikaji ulang dalam konteks realitas di lapangan. Sistem yang diklaim lebih baik seharusnya memberikan kemudahan, bukan justru menambah beban administratif yang menghambat kepatuhan. Fakta bahwa banyak Wajib Pajak mengalami kendala teknis menunjukkan bahwa reformasi ini belum sepenuhnya siap untuk diterapkan secara luas. Jika tidak ada langkah cepat untuk mengatasi hambatan ini, maka Coretax berisiko menjadi alat yang justru memperburuk ketidakpastian bagi Wajib Pajak, bukannya meningkatkan transparansi dan kepatuhan
Pemerintah tidak bisa hanya berfokus pada penerapan teknologi tanpa memastikan bahwa sistem tersebut benar-benar dapat digunakan secara efektif oleh seluruh pemangku kepentingan. Jika reformasi perpajakan melalui Coretax memang dimaksudkan untuk meningkatkan kepatuhan pajak, maka kebijakan ini harus didukung dengan solusi yang lebih adaptif dan inklusif. DJP perlu memperkuat kapasitas layanan teknisnya agar dapat memberikan respons yang cepat terhadap permasalahan pengguna. Selain itu, peran konsultan pajak dalam membantu Wajib Pajak harus lebih diakui dalam regulasi agar mereka dapat berkontribusi secara efektif dalam menjembatani kesenjangan pemahaman terhadap sistem ini.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, reformasi perpajakan berbasis teknologi hanya akan berhasil jika dijalankan dengan pendekatan yang lebih realistis dan tidak mengabaikan kesiapan pengguna. Jika pemerintah tetap berkeras menerapkan sistem yang belum matang tanpa dukungan yang memadai, maka alih-alih meningkatkan kepatuhan, Coretax justru akan menjadi hambatan baru yang menggerus efektivitas sistem perpajakan di Indonesia.