Konten dari Pengguna

Doktrin Gereja sebagai Alat Legitimasi Eksploitasi Hewan

Akhdiat Dimas Abimanyu
Bachelor's Degree in History, focusing on Environmental History to understand the human nature and its impact towards the ecosystem and vice versa.
7 November 2024 10:58 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Akhdiat Dimas Abimanyu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Koleksi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Koleksi Pribadi
ADVERTISEMENT
Eksploitasi hewan untuk tujuan ekonomi dan ilmiah telah menjadi isu etis global dalam beberapa dekade terakhir. Dalam konteks agama, pandangan terhadap perlakuan terhadap hewan banyak ditentukan oleh ajaran-ajaran moral dan spiritual. Gereja, melalui berbagai doktrin dan interpretasi alkitabiah, telah mengembangkan pandangan tersendiri mengenai penggunaan dan perlakuan terhadap hewan.
ADVERTISEMENT
Eksploitasi hewan mengacu pada penggunaan hewan secara berlebihan atau tidak etis untuk kepentingan manusia, baik dalam konteks peternakan industri, percobaan ilmiah, maupun hiburan. Dalam konteks ini, eksploitasi biasanya mengabaikan kesejahteraan hewan dan sering kali melibatkan penderitaan fisik atau psikologis. Gereja sebagai institusi religius memiliki tanggung jawab moral untuk mengevaluasi praktik-praktik ini sesuai dengan ajaran iman.
Diakhir masa kekaisaran Romawi, kekristenan menjelma sebagai pusat atas semua unsur kehidupan, baik kehidupan sosial masyarakat, pemerintahan, dan dalam hal hubungan manusia dengan alam, terkhusus hewan. Kuatnya doktrin kekristenan mengubah orang-orang di masa abad pertengahan dalam melihat diri mereka sebagai keturunan langsung dari Adam dan menilai bahwa saat dunia diciptakan beserta segala isinya, manusia memiliki hak atas segala ciptaan tersebut, termasuk hewan-hewan yang ada di bumi. Gereja menilai bahwa ilmu pengetahuan alam adalah turunan dari ilmu teologi dimana mereka percaya bahwa Tuhan berbicara kepada manusia melalui alam. Doktrin inilah yang lantas mendorong dukungan gereja atas eksploitasi fauna dalam bentuk kebun binatang (menagerie).
ADVERTISEMENT
Beberapa ayat dalam Alkitab memberikan panduan tentang bagaimana manusia seharusnya memperlakukan ciptaan Tuhan, termasuk hewan. Misalnya, dalam Kejadian 1:26-28, Tuhan memberikan mandat kepada manusia untuk "menaklukkan" dan "menguasai" bumi. Ayat ini sering ditafsirkan sebagai pemberian kekuasaan manusia atas ciptaan, tetapi interpretasinya bisa berbeda. Beberapa teolog, seperti Andrew Linzey, berpendapat bahwa mandat ini lebih merupakan panggilan untuk menjadi penjaga dan pelindung ciptaan, termasuk hewan, dan bukan untuk mengeksploitasi mereka.
Selain itu, kitab Amsal 12:10 menyatakan, "Orang benar memperhatikan hidup hewannya, tetapi belas kasihan orang fasik itu kejam." Ayat ini dianggap sebagai panggilan bagi orang Kristen untuk merawat hewan dengan belas kasih dan tanggung jawab moral. Pandangan ini diperkuat dalam tradisi Kristen yang mengajarkan bahwa semua ciptaan Tuhan memiliki nilai intrinsik.
ADVERTISEMENT
Pada masa itu, kebun binatang masih menjadi sebuah alat untuk melegitimasi kekuasaan. Doktrin gereja menciptakan dualisme simbolik atas kebun binatang, yaitu sebagai simbol kesucian dan simbol otokrasi, sehingga banyak penguasa-penguasa Eropa membangun kebun binatang sebagai ajang pamer dan bahkan beberapa kali memberikan hadiah kepada penguasa bangsa lain guna memberikan penegasan bahwa mereka adalah penguasa yang berdaulat. Kaisar Romawi Suci, Frederick II, bahkan mengaplikasikan hal tersebut ke dalam perjalanan suci perang salib dimana ia membawa koleksi satwa pribadinya, seperti gajah, unta, macan benggala, singa, dan burung hantu. Selain itu, raja Henry III dari Inggris memulai budaya koleksi hewan pribadi di Inggris dengan menerima hadiah dari kaisar Frederick II berupa tiga buah macan tutul yang oleh sang raja Inggris diletakkan di Menara London dan diabadikan ke dalam lambang kerajaan.
ADVERTISEMENT
Di Perancis, raja Louis XIV juga mendirikan menageries di Versailles dimana ia mempertontonkan hewan-hewan eksotis dan non eksotis dan mengurung mereka di kendang-kandang besi. Menagerie yang dibangun oleh Louis XIV juga menjadi tempat melakukan riset dan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hayati. Pembangunan banyaknya menagerie juga tidak bisa dilepaskan dari peran semangat kolonialisme Eropa. Dengan banyak wilayah ‘dunia baru’ yang dikuasai oleh Eropa, ada banyak spesies-spesies baru yang dibawa ke Eropa dan menjadi daya tarik.
Pada masa sekarang, doktrin gereja mengubah bagaimana seharusnya manusia memperlakukan hewan dan alam sekitarnya. Gereja Katolik melalui Catechism of the Catholic Church menyatakan bahwa hewan merupakan bagian dari ciptaan Tuhan yang harus dihormati. Meskipun mereka diciptakan untuk melayani kebutuhan manusia, Gereja Katolik menekankan bahwa "perlakuan yang tidak perlu" dan "penyiksaan" terhadap hewan bertentangan dengan martabat manusia itu sendiri. Ajaran ini mencerminkan prinsip bahwa penggunaan hewan untuk kebutuhan manusia harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab, dan eksploitasi yang tidak manusiawi bertentangan dengan kasih sayang yang seharusnya diwujudkan terhadap semua ciptaan.
ADVERTISEMENT
Gereja juga menekankan pentingnya memperlakukan hewan secara adil dan manusiawi dalam ensiklik Laudato Si’ oleh Paus Fransiskus, yang mengkritik segala bentuk penganiayaan terhadap makhluk hidup. Paus Fransiskus menekankan bahwa eksploitasi berlebihan terhadap hewan, termasuk dalam industri pertanian intensif, merupakan bentuk keegoisan manusia yang merusak hubungan harmoni antara manusia dan alam.
Beberapa organisasi Kristen seperti Christian Vegetarian Association dan Catholic Concern for Animals secara aktif mempromosikan pandangan etis terhadap perlakuan terhadap hewan, mendorong umat Kristen untuk mempertimbangkan dampak dari eksploitasi hewan terhadap alam dan moralitas manusia. Organisasi-organisasi ini memfasilitasi berbagai kegiatan yang mendukung kesadaran akan penderitaan hewan dan pentingnya bertindak secara moral terhadap mereka.