Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Kebun Binatang sebagai Bentuk Dominasi Manusia Atas Alam
30 Oktober 2024 6:59 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Akhdiat Dimas Abimanyu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kebun binatang memiliki kesan sebagai salah satu kunci kesuksesan upaya konservasi. Namun, sejarah melihat kebun binatang dengan kacamata yang lain. Sejarah mencatat bahwa hubungan manusia dengan alam sekitarnya tidaklah selalu harmonis, bahkan konsep manusia untuk melindungi alam sekitarnya masih terbilang baru bila kita hitung sejak awal mula peradaban.
ADVERTISEMENT
Kebun binatang bukanlah sebuah ‘konsep’ yang lahir di masa manusia telah menyadari akan pentingnya konservasi alam. Jauh sebelum manusia berkampanye untuk menyelamatkan satwa langka atau mengampanyekan pentingnya menjaga habitat dari pembangunan yang tidak berkelanjutan, kebun binatang telah lahir sebagai sebuah bentuk dominasi manusia akan lingkungan di sekitarnya selama ribuan tahun lamanya. William M. Mann pernah mengatakan dalam bukunya Wild Animals In and Out of the Zoo bahwa dorongan untuk memelihara hewan liar di penangkaran sudah melekat pada manusia. Manusia telah mengejar sesama makhluk, menjebak dan menjadikan mereka sebagai mainannya, pelayannya, dan terkadang menjadikan mereka sebagai lambang keagamaan .
Pernyataan yang dibuat oleh William M. Mann bukan sebuah pernyataan yang berusaha mencitra burukkan andil manusia dalam perkembangan hubungan manusia dengan alam disekitarnya. Pernyataan yang ia buat adalah penggaris bawahan bahwasanya manusia memang melihat dirinya sebagai ‘raja tertinggi’ dalam rantai makanan. Hal ini merupakan sebuah ‘warisan’ yang diturunkan dari generasi ke generasi yang bahkan terus ada sampai hari ini. Maka tidak heran bila kita bisa mengatakan bahwa evolusi kebun binatang berjalan beriringan dengan perkembangan peradaban manusia dan dianggap sama tuanya dengan manusia.
ADVERTISEMENT
Di dalam perkembangan kebun binatang khususnya di Barat, ada perbedaan penyebutan yang membedakan fungsi dan tujuan dari kebun binatang. Pada abad pertengahan, kebun binatang disebutkan sebagai menagerie. Kebun binatang dengan definisi menagerie merujuk kepada dibangunnya kebun binatang sebagai sebuah pusat koleksi satwa dengan maksud menujukkan kekuasaan dan nobilitas di Eropa. Menagerie berbeda dengan zoo karena tidak memiliki basis keilmuwan dan hanya sebagai alat legitimasi kekuasaan dan posisi di kalangan bangsawan Eropa. Berbeda dengan menagerie, zoo atau kebun binatang yang saat ini kita anut memiliki basis keilmuwan dan bahkan sering dijadikan sebagai pusat konservasi satwa. Mereka tidak hanya dipertontonkan kepada publik, namun publik juga dapat mendapatkan informasi sehingga kebun binatang juga menjelma sebagai pusat ilmu pengetahuan satwa.
ADVERTISEMENT
Setelah berabad-abad hidup sebagai komunitas liar yang mengandalkan sumber daya mentah, termasuk fauna, peradaban manusia lantas berkembang pesat yang didukung dengan adanya perkembangan intelektual pada diri manusia. Berkembangnya sistem agrikultur dan perubahan budaya manusia menjadi menetap, secara tidak sengaja memunculkan pusat-pusat peradaban yang nantinya akan berkembang menjadi pusat pemerintahan, budaya, dan ekonomi. Walaupun adanya evolusi secara fundamental dari manusia, bisa dikatakan bahwa keinginan untuk mendominasi alam sekitarnya tidak berubah. Hal tersebut seakan telah menjadi sebuah naluri alamiah yang melekat pada manusia. Hal ini dapat dilihat dari kemunculan kebun binatang primitif pertama sekitar tahun 3000 SM di masa Mesopotamia pada era Dinasti Ur walaupun tidak ada catatan yang menjelaskan detail tentang kebun binatang ini.
ADVERTISEMENT
Kebun binatang kuno lain yang hadir setelah masa Mesopotamia adalah kebun binatang pada masa Mesir Kuno. Berbeda dengan apa yang dipaparkan William M. Mann, Mesir Kuno melihat hewan-hewan seperti singa, banteng, buaya dan ular sebagai sesuatu yang disucikan. Pengudusan atas hewan-hewan ini mendorong mereka untuk menjaga hewan-hewan ini dan menjadikan mereka sebagai sentral figur dalam sistem kepercayaan mereka. Penguasa-penguasa Mesir juga menjalankan ekspedisi untuk mendapatkan hewan-hewan tersebut, menangkap mereka, dan membuatkan taman untuk mereka bertahan hidup. Herman Dembeck dalam bukunya Animals and Men juga menjelaskan bahwa kebun binatang ini khusus dibuat dan diperuntukkan untuk raja-raja mesir, anggota kerajaan, dan para diplomat untuk menjadi ajang pamer kemewahan dan kekayaan. Sebagai bukti pengudusan yang dilakukan oleh bangsa Mesir Kuno, banyak ditemukan mumi-mumi hewan di Mesir yang menjadi indikasi pengudusan hewan-hewan ini.
ADVERTISEMENT
Gambar diatas merupakan sebuah lukisan dinding yang ditemukan di sebuah makam di kota Thebes. Makam tersebut diyakini sebagai makam Rekhmire yang merupakan gubernur kota Thebes di abad ke-15 SM. Diketahui pada masa ini, Mesir melakukan ekspedisi besar-besaran dalam rangka memperluas kekuasaan mereka ke wilayah Nubia dan Asia Barat yang saat ini menjadi bagian dari Tanjung Sinai, Palestina, dan Suriah. Dalam gambar ini dapat dilihat adanya sekumpulan hewan, seperti jerapah, anjing, kera, dan sapi. Gambar ini juga mengandung unsur politik dimana menandakan bahwa dengan diambilnya hewan-hewan ini dari wilayah Nubia, Nubia secara resmi tunduk kepada kekuasaan Mesir.
Tidak hanya Mesir Kuno, Dinasti Zhou di China dibawah kepemimpinan Kaisar Wen mendirikan sebuah taman berluaskan 1,500 hektar atau seluas jarak Beijing ke Nanjing yang berisikan hewan-hewan yang sulit atau bahkan tidak dapat ditemukan di dataran China, seperti antelope sampai burung pegar. Di Yunani, hewan-hewan dikumpulkan di tengah kota dan menjadi simbol dari kekuatan dan kekayaan. Eksploitasi hewan yang terjadi juga lantas menggugah banyak pihak untuk mempelajari tentang hewan-hewan ini seperti yang ditemukan pada masa Alexander Agung dan Yunani Kuno. Kedua peradaban ini memperkenalkan kebun binatang umum pertama di dunia dan menjadi asal muasal kebun binatang sebagai pusat informasi dan edukasi.
ADVERTISEMENT
Perubahan fungsi kebun binatang di era Alexander Agung nyatanya tidak terjadi di era Romawi Kuno dimana mereka menggunakan hewan-hewan untuk aktivitas judi dan bahkan hewan menjadi alat dalam konflik yang terjadi antara sesama manusia. Marcus Terentius Varro, seorang bangsawan Romawi terkenal dengan koleksi hewan-hewan yang eksotis dan tidak pernah ditemukan sebelumnya di Romawi. Ia banyak mengoleksi burung-burung, seperti merpati dan burung penyanyi. Ia juga melakukan kegiatan impor untuk hewan-hewan langka, seperti singa dan macan kumbang dan disalurkan kepada para bangsawan di Romawi untuk koleksi atau kegiatan permainan seperti duel atau judi. Apalagi dengan ekspansi yang dilakukan oleh kekaisaran Romawi ke Afrika Utara, memudahkan distribusi hewan-hewan tersebut ke para bangsawan di Romawi Kuno.
ADVERTISEMENT
Kekejaman manusia terhadap hewan-hewan ini juga ditunjukkan oleh Kaisar Nero dimana ia mengirimkan pasukan berkudanya untuk menyerang banyak beruang dan singa. Aktivitas ini lantas sempat dilarang oleh Kaisar Konstantin namun kembali merajalela setelah kepemimpinannya berakhir. Melihat bagaimana kekaisaran-kekaisaran kuno membangun hubungan dengan fauna-fauna di sekitarnya, dapat diyakinkan bahwa hubungan manusia dengan fauna sejatinya terjalin dengan eksploitasi. Fauna dianggap sebagai objek dan tidak dilihat sebagai makhluk hidup. Perlakuan manusia terhadap fauna sejatinya adalah sesuatu yang konstan, begitu pula dengan konsep kebun binatang. Namun, konsep kebun binatang llantas mengalami penurunan akibat runtuhnya kekaisaran Romawi dan masuknya Eropa ke era ‘Dark Ages’. Walaupun begitu, kebun binatang kembali muncul, tidak dengan perbedaan yang signifikan, termasuk motif dari manusianya sendiri.
ADVERTISEMENT
Diakhir masa kekaisaran Romawi, kekristenan menjelma sebagai pusat atas semua unsur kehidupan, baik kehidupan sosial masyarakat, pemerintahan, dan dalam hal hubungan manusia dengan alam, terkhusus satwa. Kuatnya doktrin kekristenan mengubah orang-orang di masa abad pertengahan dalam melihat diri mereka sebagai keturunan langsung dari Adam dan menilai bahwa saat dunia diciptakan beserta segala isinya, manusia memiliki hak atas segala ciptaan tersebut, termasuk hewan-hewan yang ada di bumi. Gereja menilai bahwa ilmu pengetahuan alam adalah turunan dari ilmu teologi dimana mereka percaya bahwa Tuhan berbicara kepada manusia melalui alam. Doktrin inilah yang lantas mendorong dukungan gereja atas eksploitasi fauna dalam bentuk kebun binatang (menagerie).