Konten dari Pengguna

Perburuan oleh Elit Jawa di Era Kolonial Belanda: Tradisi, Status dan Politik

Akhdiat Dimas Abimanyu
Bachelor's Degree in History, focusing on Environmental History to understand the human nature and its impact towards the ecosystem and vice versa.
30 Oktober 2024 6:58 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Akhdiat Dimas Abimanyu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Koleksi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Koleksi Pribadi
ADVERTISEMENT
Dalam era kolonial, elit lokal memainkan peran penting dalam mempertahankan tradisi perburuan yang khas di masyarakat Jawa. Perburuan bukan hanya sebuah kegiatan rekreasi tetapi juga menjadi simbol status sosial dan budaya yang berpengaruh pada lingkungan serta persepsi masyarakat terhadap alam dan satwa. Tulisan ini akan mengkaji perburuan yang dilakukan oleh para bangsawan Jawa, khususnya pada masa kolonial Belanda, serta dampak sosial dan ekologis yang ditimbulkan. Referensi utama akan meliputi sumber-sumber akademis mengenai sejarah perburuan, kebijakan kolonial, dan studi budaya Jawa terkait tradisi ini.
ADVERTISEMENT
Perburuan sudah lama menjadi bagian dari budaya elit Jawa dan digunakan sebagai simbol kekuasaan serta kedudukan sosial. Sejak abad ke-16, tradisi berburu sudah terdokumentasi di kalangan kerajaan di Jawa, seperti yang disaksikan oleh para pedagang Portugis seperti Tome Pires dan Duarte Barbosa. Pires mencatat kemampuan berburu yang dimiliki para penguasa lokal dan mencatat bahwa perburuan adalah salah satu cara raja menunjukkan kekuasaan dan status merekan perburuan ini sering kali melibatkan satwa liar seperti kijang dan rusa yang dianggap sebagai satwa yang memiliki daya tarik tinggi bagi kalangan bangsawan.
Ada kekosongan kebijakan dalam perlindungan alam selama 188 tahun (1714-1912) di Nusantara. Kekosongan ini terjadi karena ekonomi Hindia Belanda didominasi oleh agrikultur yang didukung oleh keadaan tanah Hindia Belanda yang subur dan dengan iklim yang sesuai untuk menciptakan Hindia Belanda sebagai pusat budidaya pangan dan produk niaga, seperti cengkeh dan cinchona. Ekspansi kegiatan perkebunan dilakukan oleh pemerintah kolonial guna memulihkan perekonomian pemerintah Hindia Belanda. Dominasi agrikultur terhadap ekonomi Hindia Belanda menjadikan sector ini memiliki posisi penting dalam sejarah Indonesia. Namun bersamaan dengan kuatnya kontrol pemerintah kolonial terhadap sektor agrikultur, pemerintah Hindia Belanda justru memiliki kontrol yang lemah terhadap kekayaan hayati di Hindia Belanda. Hal ini dibuktikan dengan maraknya pemburuan liar yang dilakukan, khususnya hewan-hewan berukuran besar.
ADVERTISEMENT
Kegiatan pemburuan ini tidak menjadi penanganan prioritas pemerintah kolonial karena dua alasan, pertama, orang-orang Belanda tidak memiliki budaya berburu saat mereka masih di Belanda sehingga keahlian berburu mereka berada dibawah para elit pribumi. Kedua, kurang signifikannya dampak kegiatan pemburuan terhadap ekonomi Hindia Belanda sehingga tidak ada regulasi yang mengatur kegiatan berburu. Para aristokrat lokal juga masih melanggengkan tradisi pemburuan kijang atau rusa.
Setiap penguasa lokal memiliki cara berburu yang berbeda antara satu dengan yang lain. Sultan Mataram, misalnya, berburu dengan menggunakan sebuah pedati atau gerobak sapi kuno dengan sang sultan duduk di atasnya. Di tanah Priangan, golongan bangsawan melakukan perburuan kijang sebagai simbol status sosial. Luas perburuan kijang ini mencapai 12.000 hektare dan menyebabkan terbunuhnya ratusan kijang. Kegiatan ini mengalami penurunan setelah banyak orang-orang Belanda yang datang ke Priangan dan menggeser status masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pemburuan liar oleh para bangsawan lokal tidak lepas dari budaya lokal tentang hubungan manusia dengan satwa liar. Selain menjadikan satwa sebagai alat kesenangan melalui perburuan, pertarungan antar satwa juga banyak dilakukan di alun-alun kerajaan, seperti pertarungan kerbau dengan harimau, pertarungan babi dengan domba, adu burung puyuh, adu jangkrik, dan adu ayam. Kesultanan Yogyakarta menjadi salah satu kerajaan lokal yang mengadakan pertarungan demikian sejak 1791. Kesultanan Yogyakarta akan mengadakan pertarungan antara kerbau dan harimau di saat Idul Fitri dan tahu baru Hijriyah. Mereka menggunakan pertarungan ini sebagai simbolisme pengguguran dosa mereka selama bulan suci Ramadhan. Bedanya adalah bukan kerbau yang dijadikan lawan harimau, namun manusia. Di beberapa wilayah Jawa, perburuan bahkan dipandang sebagai hak istimewa yang hanya dimiliki oleh golongan bangsawan dan kaum ningrat. Kegiatan ini diatur sedemikian rupa sehingga hanya golongan tertentu yang diperbolehkan mengakses kawasan perburuan. Di Priangan, misalnya, luas lahan perburuan kijang milik bangsawan mencapai 12.000 hektare, menandakan adanya kesenjangan sosial yang kuat dalam akses terhadap sumber daya alam.
ADVERTISEMENT
Dampak Pemburuan Liar oleh Elit Jawa
Pemburuan satwa secara berlebihan juga memiliki dampak lingkungan yang signifikan. Penurunan populasi satwa besar, seperti rusa dan kijang, mengakibatkan terganggunya keseimbangan ekosistem lokal. Menurut Peter Boomgaard dalam bukunya Frontiers of Fear: Tigers and People in the Malay World, ekosistem di wilayah Nusantara sudah mulai menunjukkan perubahan ketika eksploitasi fauna menjadi lebih intensif seiring berkembangnya kegiatan komersial oleh para elit lokal dan kolonial .
Selain itu, pemanfaatan lahan secara masif oleh bangsawan lokal sering kali mengakibatkan pembukaan hutan yang tidak terkendali. Krisis lingkungan seperti krisis air di lereng gunung-gunung dan meningkatnya risiko kebakaran juga mulai terjadi, terutama di daerah pegunungan tempat perburuan marak dilakukan. Boomgaard menunjukkan bahwa perburuan liar di Jawa berkontribusi pada hilangnya beberapa spesies satwa endemik, yang di masa depan turut menggerakkan perhatian konservasi lingkungan oleh kalangan kolonial pada akhir abad ke-19 .
ADVERTISEMENT
Upaya perburuan di Jawa sering kali dikaitkan dengan mitologi dan kepercayaan spiritual. Satwa yang diburu tidak hanya dilihat sebagai hewan liar, melainkan sebagai manifestasi dari kekuatan alam yang harus ditaklukkan oleh penguasa. Di Kesultanan Yogyakarta, perburuan antara kerbau dan harimau dilakukan pada perayaan tertentu sebagai simbolisasi pengguguran dosa di akhir bulan Ramadhan. Tradisi ini mencerminkan interaksi antara manusia dan alam yang kompleks serta nilai spiritual yang dipegang teguh oleh masyarakat .
Kedatangan Belanda membawa perubahan besar terhadap perburuan, terutama ketika elit kolonial memperkenalkan kebijakan-kebijakan baru yang berfokus pada agrikultur dan eksploitasi ekonomi. Mereka tidak melihat perlunya regulasi ketat dalam perburuan satwa yang dilakukan oleh bangsawan lokal karena aktivitas tersebut tidak memiliki nilai ekonomi signifikan bagi pemerintahan kolonial. Akibatnya, tradisi perburuan oleh elit lokal tetap berjalan tanpa adanya intervensi yang berarti dari pihak kolonial, yang akhirnya memperkuat keberlanjutan tradisi ini .
ADVERTISEMENT
Perubahan Paradigma Lingkungan dengan berkembangnya kesadaran konservasi alam di Eropa dan Amerika Serikat pada akhir abad ke-19, mulai menarik perhatian dari pemerintah kolonial Belanda terhadap pentingnya melestarikan kekayaan hayati di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial mulai menerapkan kebijakan pembatasan terhadap perburuan liar, terutama setelah meningkatnya tekanan dari organisasi konservasi internasional dan semakin banyaknya laporan tentang spesies satwa yang terancam punah .
Pada tahun 1910, misalnya, diterbitkan Peraturan Perlindungan Mamalung (Ordonnantie tot Bescherming van sommige in het levende Zoogdieren en Vogels) yang membatasi perburuan satwa tertentu, meskipun belum mencakup seluruh wilayah Jawa dan Sumatra. Kebijakan ini menunjukkan perubahan paradigma kolonial terhadap pentingnya keseimbangan lingkungan.