Maaf, Saya Ini 'Cepret'

Konten dari Pengguna
13 Juli 2018 5:17 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Akhmad Baihaqie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apa kesan anda jika saya memposting gambar di bawah ini?
Dan bagaimana pendapat anda jika saya sebarkan tautan berita di bawah ini?
Sebagian akan menyebut saya cebong, sementara yang lain akan menyematkan label kampret kepada saya.
ADVERTISEMENT
Maaf, bukan dua-duanya. Saya ini Cepret. Hibrida baru yang berusaha keluar dari kungkungan konstruksi identitas cetakan politik praktis kekinian di Indonesia.
Bermula dari pemilihan presiden tahun 2014, polarisasi massa semakin mengkristal dalam kontestasi pilkada DKI tahun 2017. Dikhawatirkan konsentrasi rivalitas akan mencapai puncaknya dan meletus pada pilpres 2019. Ini adalah wajah politik terkini bangsa kita.
Warna lensa kaca mata kita terbatas menjadi hitam dan putih, dan prilaku kita ditakar dalam spektrum baik dan buruk, nyinyir dan jilat, osin dan osan, dan berbagai kosakata lainnya yang terbatas dalam hitungan dua. Sementara dimensi dalam hidup ini berlapis-lapis dengan berbagai padatan yang beragam.
Bendera partai berwarna kuning, berteman dengan keturunan darah biru, bekerja di sebuah perusahaan berpelat merah, sementara istri gemar bergaun putih dan berkebun di ladang yang hijau.
Ilustrasi Pemilu. (Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan)
Bangsa Indonesia lebih besar dari yang kita bayangkan. Tengoklah torehan rekam jejak politik kita. Di tengah perdebatan sengit kaum nasionalis dan agamis kala menyusun konstitusi bangsa, terbesit gagasan Pancasila. Di tengah serunya perebutan pengaruh antara blok barat dan timur, ide gerakan non-blok mengagetkan banyak pihak. Kala situasi di kawasan Asia Tenggara mencekam, ASEAN muncul menjadi pendingin suasana.
ADVERTISEMENT
Di dalam jiwa bangsa kita mengalir darah merah yang berani bersikap dan bertarung memperjuangkan nilai-nilai bijak dan adiluhur. Sebuah sikap yang dilandasi warna putih yang jujur, suci, dan penuh keikhlasan untuk kemaslahatan bersama. Di antara kedua warna yang membentuk bendera kita, terdapat garis imaginer tipis tegas yang merajut dengan harmonis kedua warna dominan tersebut. Inilah warna-warni bangsa kita.
Karenanya, bangsa besar ini perlu segera memunculkan alternatif-alternatif segar di tengah hingar bingar yang terus menggerus nalar. Kuncinya satu. Bahwa tidak ada yang sepenuhnya hitam, dan sepenuhnya putih. Kita bisa saling mengisi dan berbagi, untuk kemajuan bangsa dan negara.
Bukankah indahnya pemandangan adalah saat rembulan malam berpadu dengan sinar pagi? Itulah saat orang berbondong-bondong menikmati cahaya temaram di ufuk barat dan timur.
ADVERTISEMENT
Teringat saya ucapan Cak Nun dalam lingkar maiyah, yang kurang lebih isinya “Kepada Iblispun saya belajar”. Butuh waktu lama untuk mencerna kalimat tersebut. Dengan penuh prasangka positif, saya menemukan jawabannya dalam sebuah puisi berikut.
Izinkan aku tertawa bersamamu Tuhan
Izinkan aku terpingkal pingkal melihat dagelan konyol Bani Adam
Aku... Hehehe.... Aku
Tuhan, aku tak kuasa menyempurnakan kalimatku
Aku bersabar menjadi sisi gelap dunia
Kau ciptakan skenario menelikung bagiku
Kau poles dengan buah kekekalan
Kau haramkan maut menjemputku
Kau cabut pangkat bintang yang pernah Kau sematkan kepadaku
Tuhan, segera angkat aku
Aku akan bersalawat kepadanya
Membuktikan cintaku dan ketundukanku kepadaMu
Bani Adam sudah tidak membutuhkanku
ADVERTISEMENT
Mereka sudah menciptakan sisi gelap mereka sendiri
Kecerdasan mereka mengalahkan ilmu tipudayaku
Aku bahkan berkali kali tertipu oleh mereka
Mereka berlomba lomba menjadi aku
Menjadi aku...
Tuhan, aku menanti amarmu agar kembali ke langit atas
Tuhan, perkenan kiranya Kau Katakan “Kun”
Tuhan...
Mengapa engkau terdiam
Maafkan aku Tuhan
Ampuni aku Tuhan
Apakah aku melampaui batas?
Apakah guyonanku menyinggungMu?
Tuhan,
Kini aku mulai mengerti Tuhan
Aku akan setia menanti hingga akhir masa Bani Adam
Setidaknya, agar Bani Adam mau belajar kepadaku
Belajar setia menjadi manusia seutuhnya, sebagaimana aku setia menjadi Iblis