Mendulang Untung di Piala Dunia 2022

Konten dari Pengguna
18 Juli 2018 7:06 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Akhmad Baihaqie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perhelatan bola terbesar empat tahunan baru saja berlalu. Kini, waktunya Qatar mempersiapkan diri menjadi tuan rumah yang ramah agar tamu menjadi sumringah. Kesempatan tim garuda berlaga pada Piala Dunia 2022 mungkin tidak terlalu besar. Namun ada peluang lain yang bisa Indonesia raih dari rencana pesta bola tersebut.
Foto: Penyerahan resmi penyelenggaraan Piala Dunia dari Rusia kepada Qatar
ADVERTISEMENT
Dengan luas sebesar 11.570 kilometer persegi, Qatar menjadi negara teluk terkecil kedua di Jazirah Arab. Namun, negara di bawah pimpinan Sheikh Tamim bin Hamad ini menduduki posisi kedua dalam klasemen perolehan Gross Domestic Product (GDP) perkapita dunia (2017), sebesar 124.900 US dolar dengan tambang minyak dan gas sebagai penyokong utama mesin perekonomiannya.
Dalam konstelasi politik global, negara kaya ini merupakan tandem Amerika Serikat, ditandai dengan berdirinya US Combat Air Operation Center untuk kawasan Timur Tengah pada tahun 2003. Secara budaya, masyarakat Qatar lebih siap menyambut modernitas ketimbang saudara tuanya yaitu Saudi, Bahrain, dan Kuwait.
Didapuk menjadi tuan rumah 2022, geliat Qatar merancang beberapa pembenahan mulai terasa. Dalam cetak biru Visi Nasional Qatar 2030, sekitar US dolar 280 miliar akan digelontorkan guna pembangunan infrastruktur olahraga, terutama sepak bola. Sembilan mega proyek stadion dengan desain mewah dan elegan tengah disiapkan. Tujuh kota utama siap meladeni pemain dan memanjakan para penggemar olahraga si kulit bundar.
Foto: Khalifah Stadium, salah satu venue Piala Dunia 2022 di kota Doha (Getty Images)
ADVERTISEMENT
Belajar dari pengalaman Asian Games 2006, negeri kaya gas tersebut terus menjadikan pesta olah raga sebagai momentum unjuk diri dan unjuk aksi keberhasilan pembangunan Qatar. Langkah tersebut juga sebagai upaya meragamkan puncak perekonomian agar tidak bersandar hanya kepada sumber daya alam.
Sayangnya, torehan keberhasilan tersebut tidak mendapat sambutan hangat dari negara tetangga. Pada 5 Juni 2017, Arab Saudi, Bahrain, UEA, dan Mesir secara sepihak memberikan kartu merah dengan memutus perbatasan udara, darat, dan laut dengan Qatar, setelah sebelumnya melakukan hal yang sama pada 2014. Upaya kuartet, dipimpin Kuwait, untuk memediasi konflik menemui jalan buntu. Hingga kini, blokade terhadap Qatar masih berlanjut.
Tentunya ini memengaruhi persiapan Qatar menjamu Piala Dunia 2022. Pembangunan infrastruktur, konektifitas, berbagai layanan jasa, hingga suplai makanan mengalami penghambatan bagi negeri yang masih mengandalkan impor tersebut.
ADVERTISEMENT
Di setiap masalah, terhampar luas peluang. Sejauh ini, Turki dan Iran mencoba memanfaatkan kondisi dengan mengambil hati sang Emir. Paska boikot, produk makanan Turki dan buah-buahan Iran membanjiri pasar Qatar. Iran berhasil meningkatkan jumlah perdagangan sebesar 2.5% dari tahun 2016 sebesar US dolar 250 juta pada tahun 2017.
Belum lama ini, Turki, Iran, dan Qatar menyepakati perjanjian transportasi untuk meningkatkan nilai perdagangan. Diperkirakan, persiapan 2022 akan kembali mendongkrak nilai perdagangan antara ketiga negara tersebut.
Bagaimana peluang Indonesia? Dengan modalitas politik dan kesiapan perekonomian Indonesia, bukan tidak mungkin kita bisa turut serta mendulang berkah Piala Dunia 2022.
Ada beberapa alasan Indonesia sangat berpeluang menjadi mitra strategis Qatar mempersiapkan 2022:
ADVERTISEMENT
Pertama, modalitas hubungan poilitik Indonesia dan Qatar cukup positif. Semenjak hubungan diplomatik terbangun pada 1976, relasi kedua negara tidak pernah memiliki catatan kelam. Kedua negara tersebut termasuk promotor aktif dalam pembahasan pelbagai diskursus internasional seperti pemberdayaan wanita, hak asasi manusia, dan demokrasi.
Secara kultural, masyarakat kedua negara sama-sama beraliran Sunni. Artinya, apabila dengan Iran yang bersebarangan secara teologi saja Qatar bisa bekerja sama, apa lagi dengan Indonesia yang tidak memiliki sekat ideologis politik dan religi-kultural.
Kedua, saat negara jazirah arab berbondong-bondong mengucilkan Qatar, Indonesia bergegas mengambil sikap cerdas, tegas, dan lugas. Tidak berselang lama pasca pemutusan hubungan diplomatik, Menlu Retno melakukan kontak dengan berbagai pihak terkait agar bisa duduk bersama dalam meja perundingan.
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi menghubungi beberapa petinggi seperti Sheikh Mohammed Al Nahyan dan Recep Tayyib Erdogan. Sikap Indonesia yang netral dan mendamaikan tersebut mendapat pengakuan langsung dari Sheikh Tamim saat melakukan lawatan pertamanya ke Jakarta pada tahun 2017 lalu.
Ketiga, pascablokade, Qatar mulai menutup jalur pasokan barang-barang yang berasal dari empat negara tersebut. Nilai impor UEA dan Saudi yang semula menduduki posisi kedua dan kelima diprediksi akan melorot tajam, menyisakan ruang tersendiri bagi Indonesia untuk bisa mengisi kekosongan tersebut.
Dua bulan berselang dari blokade, Qatar meminta Indonesia untuk menyuplai sepuluh jenis barang di luar item yang biasa dikirim pengusaha Indonesia. Bahkan pada kuartal tahun ini, Qatar kembali mengalokasikan peningkatan slot impor bahan makanan dari Indonesia.
ADVERTISEMENT
Terbukanya pintu Qatar tentu kabar baik bagi Indonesia. Sejauh ini, dua kendala utama mandeknya impor Indonesia adalah tidak adanya jalur langsung via laut menuju Qatar serta keharusan beberapa produk ekspor Indonesia melewati perusahaan UEA yang memegang hak distribusi di negara-negara Gulf Cooperation Council (GCC). Paska isolasi, dua kendala ini mulai terurai dengan rapi.
Tahun 2017 lalu, Pelindo II menandatangani kesepatan kerja sama sektor pelabuhan dengan Qatar Ports Management Center. Meski ruang lingkup kerja sama masih pada tataran struktur dan tata organisasi perusahaan, manajemen dan pengoperasian kepelabuhanan, ke depannya bentuk kerja sama akan diperluas untuk mendongkrak nilai perekonomian dan komersial.
Sementara itu, penangguhan keanggotaan Qatar pada GCC sangat memungkinkan beberapa produk Indonesia untuk menembus Doha tanpa harus melewati gawang GCC.
ADVERTISEMENT
Dengan momentum piala dunia, Indonesia bisa lebih leluasa melakukan terobosan-terobosan besar. Persiapan 2022 pastinya menggenjot nafsu impor Qatar. Penyelenggaraan piala dunia tidak hanya mengenai pembangunan infrastrukur, namun juga membutuhkan pernak-pernik serta perintilan, seperti souvenir misalnya, yang mungkin terlewatkan oleh pemodal besar.
Selain pada kontrak bernilai besar, Indonesia bisa melakukan penetrasi pada segmen ini. Hal ini semakin klik dengan tema diplomasi ekonomi Indonesia yang tengah memfokuskan pada pemberdayaan ekonomi kreatif dan industri-industri start-up lainnya.
Peluang ini diharapkan bisa menutup defisit perdagangan Indonesia dengan Qatar sejak tahun 2012. Tahun 2017, nilai perdagangan tercatat sebesar USD 916 juta dengan defisit di pihak Indonesia sebesar USD 766 juta, hampir 75 persen lebih dari total perdagangan. Timpangnya nilai perdagangan tersebut tentunya dikarenakan impor migas dari Qatar sebesar USD 704 juta.
Foto: Logo Piala Dunia 2022
ADVERTISEMENT
Postur politik yang positif, didukung prospek ekonomi yang menjanjikan, serta momentum yang tepat, tentunya menyuguhkan kesempatan emas bagi Indonesia untuk mencetak gol-gol ekonomis pada 2022 nanti. B
isa jadi empat tahun dari sekarang, anda melancong ke Doha, menggunakan penerbangan langsung Garuda, duduk di Stadion Al Shamal yang ikut dibangun oleh BUMN Indonesia, menyaksikan Tim Merah Putih berlaga, serta membeli sepatu, berbelanja makanan, berburu souvenir, yang kesemuanya Made In Indonesia.