Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Konten dari Pengguna
Memburu Jejak Literatur Betawi
14 April 2018 18:14 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
Tulisan dari Ahmad Baihaki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Lebih dari separuh hidup saya habiskan untuk mengejar cita-cita pendidikan dan karir di Singapura, Kanada, Belanda dan Belgia. Saya gunakan kesempatan 20 tahun di luar negeri itu untuk menambah perbendaharaan bahasa.
ADVERTISEMENT
Saat meninggalkan Jakarta di akhir 1998, saya hanya berbekal Bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Jepang dan Arab yang meluntur.
Sehari-hari di Belgia saya menggunakan 4 bahasa: Inggris, Belanda, Prancis di kantor, dan sesekali Bahasa Indonesia dengan beberapa teman atau saat menelpon keluarga. Memakai (logat) bahasa Betawi pun hanya saat bersenda gurau. Biasanya muncul ketika ada yang menyebut saya orang Betawi dan rasa etnisisme saya bergejolak.
Ternyata menyesuaikan diri ke habitat awal adalah sebuah perjuangan. Dari hal kecil, seperti mencari tong sampah, hingga kegagapan adat dan kebiasaan. Tutur bahasa saya pun sesekali hanya saduran atau terjemahan bahasa Eropa yang saya gunakan.
Enam bulan setelah kepindahan ke Jakarta, untungnya semua pembelajaran ulang itu masih saya nikmati. Dan hasrat menaklukkan Jakarta pun bermetamorfosis menjadi pencarian jati diri saya sebagai orang Betawi.
ADVERTISEMENT
Minat dan bakat saya tertaut di bidang linguistik. Sekiranya bukan tuntutan dan tekanan guru serta kesempatan yang ada, tentunya saya tidak kuliah jurusan teknik. Saya pun memutuskan memulai pencarian jati diri ini dengan mempelajari dan menelusuri jejak bahasa Betawi.
Walaupun kami Betawi asli, hampir tidak pernah kami menggunakan bahasa Betawi. Mungkin karena kakak pertama kami seorang guru dan banyak peranannya dalam mendidik saudara-saudaranya dari perihal tata krama, budi bahasa, sampai ke ‘table manner’.
Tata bahasa kami dikoreksi untuk mengikuti Bahasa Indonesia yang baik dan benar agar kami menanggalkan bahasa ‘kampungan’ untuk menjadi orang yang benar-benar ‘makan sekolaan’.
Eksposur ke bahasa Betawi hanya saya dapatkan sesekali saat ada kunjungan atau berkunjung ke kerabat. Selain itu, kontribusi terbesar tentunya dari siaran televisi. Terutama setelah suksesnya sinetron Si Doel Anak Sekolahan, makin banyak acara menggunakan bahasa (pseudo-)Betawi.
ADVERTISEMENT
Insting saya yang pertama adalah pergi ke perpustakaan. Apalagi perpustakaan nasional yang baru sangat menawan. Namun, karena lokasi yang relatif ‘jauh’ untuk standar kemacetan dan kemalasan Jakarta, akhirnya saya putuskan untuk memulai dengan mengakses Katalog Induk Nasional daring.
Pencarian kata kunci ‘betawi’ menghasilkan lumayan banyak buku, namun statusnya semua ‘tidak terverifikasi’. Lokasi buku pun terpencar dan beberapa bahkan ada di luar Pulau Jawa. Akhirnya, saya putuskan untuk tidak melanjutkan pencarian di sini.
Tak patah arang, saya kunjungi toko penerbit besar dengan jaringan nasional tapi nyatanya hanya menjual buku referensi, buku teks sekolah, dan buku populer--biasanya pengarang besar atau berdaya komersial tinggi. Pojok bahasa kebanyakan menampilkan kamus dan berbagai buku pelajaran bahasa Asing.
ADVERTISEMENT
Buku-buku linguistik yang bukan referensi boleh dibilang tidak ada. Saya pun ‘ngedumel’ ke teman-teman saya mengapa sedikit sekali buku bacaan seperti ini di Indonesia. Saya mengerti minat baca bangsa kita salah satu yang terkecil di dunia, namun penulis dan ahli kita tentunya kan tidak sedikit yang berkarya.
Penelusuran saya alihkan ke toko daring ‘palugada’ (apa lu mau, gue ada -- toko yang menjual segalanya) yang kini menjamur. Saya berhasil menemukan beberapa judul bertema Betawi dan Batavia tapi beberapa diantaranya dijual bak barang koleksi berharga tinggi.
Kebanyakan buku ini juga sudah tidak diproduksi lagi penerbitnya atau penerbitnya sudah tidak beroperasi. Satu penjual bahkan terang-terangan menulis ‘KW bukan original’.
Dari beberapa judul di atas saya lakukan penelusuran daring dan tersandunglah saya di satu toko daring sebuah penerbit di bilangan Depok. Komunitas Bambu mencetak (kembali) buku-buku sejarah dan humaniora. Tujuan penerbit ini awalnya mencetak buku-buku yang dahulu dilarang terbit oleh Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Bak menemukan harta karun, saya memesan hampir semua literatur yang berhubungan dengan Betawi. Ada beberapa literatur berupa novel, kumpulan dongeng, dan folklore. Harta karun terbesar adalah buku yang sudah saya cari bertahun-tahun: kamus bahasa Betawi.
Saya mendapatkan ‘Kamus Dialek Jakarta’ tulisan Abdul Chaer yang tertulis rapi dan terstruktur bagaikan kamus semestinya: tebal, kaya dengan kata-kata. Namun, buku yang mencuri hati adalah buku ‘Glosari Betawi’ oleh Ridwan Saidi yang tipis nan kecil tapi memuat asal-muasal kata, nama tempat Jakarta, daftar tokoh-tokoh Betawi dan Batavia.
Yang terakhir ini yang membuat saya termotivasi untuk melanjutkan perburuan sambil menuntaskan tumpukan buku di depan saya. (baca ulasan saya mengenai pandangan Chaer dan Saidi: Bahasa Betawi atau Dialek Melayu? )
ADVERTISEMENT
Agar buku-buku ini tidak tertelan masa hanya karena penerbit tutup usaha, harapan saya para penulis atau (mantan) penerbit mau menjajaki penjualan versi digital. Alat baca buku digital sekarang sudah ada di mana-mana termasuk smartphone yang sehari-hari menjadi tatapan sebagian besar orang indonesia.
Versi digital ini juga memudahkan penelusuran daring, termasuk kemudahan distribusi pembaca di luar cakupan penjualan buku fisik. Bayangkan sekiranya saya sudah dapat mengakses buku-buku ini 20 tahun lalu dari luar negeri, sudah lebih cepat saya mempelajari latar belakang diri saya.