Toleransi Betawi

Ahmad Baihaki
Seorang peminat bahasa, Aki tengah mencari jati diri sebagai orang Betawi setelah 20 tahun tinggal di luar negeri. Ia lahir di Kebon Jeruk, Jakarta.
Konten dari Pengguna
15 Mei 2018 14:28 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Baihaki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Toleransi Betawi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Foto: Wikimedia
Di tengah bencana baru-baru ini yang menguras pikiran dan perasaan insani, saya termotivasi untuk menulis artikel yang semoga dapat menyejukkan pikiran dan perasaan kita. Ada baiknya juga media perkabaran menyeimbangkan pemberitaan teror dan ketakutan dengan pemberitaan yang mengembalikan kepercayaan kita terhadap adanya kebaikan dan toleransi di dunia ini.
ADVERTISEMENT
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang toleran karena kita sudah terlahir majemuk dari berbagai aspek kehidupan. Fokus kepada etnis Betawi ini saya ambil hanyalah karena pengalaman pribadi sebagai orang Betawi yang lahir dan tinggal di Jakarta. Juga berbagai bacaan tulisan pakar budaya Betawi seperti Abdul Chaer.
Dalam pengertian sempit sebagian orang berpandangan bahwa etnis Betawi adalah bangsa Betawi Melayu yang beragama Islam. Bahkan menurut folklor pun ada semboyan anak Betawi itu harus bisa 'mengaji, bela diri dan pergi haji' yang merupakan manifestasi Islam pada masyarakat Betawi.
Namun etnis Betawi amat terbuka dan toleran dengan masuknya orang-orang dan kebudayaan dari wilayah lain di Indonesia dan bahkan dari luar Indonesia. Pasukan dari Mataram misalnya yang berdiam di Jakarta saat perang hingga para pendatang dari Eropa, Arab, Cina, India, dan lain lain.
ADVERTISEMENT
Pengaruh budaya luar dari masakan, seni, bahasa, agama dan pakaian pun diinfusikan ke dalam budaya Betawi tanpa ada pemaksaan. Pada intinya etnis Betawi sangat terbuka dengan budaya manapun, asalkan tidak bertentangan dengan agama Islam. Ambillah contoh pakaian pengantin tradisional Betawi yang, mengutip Chaer, biasanya berganti-ganti dari busana Care Cine, Care Hindustan, Care Arab, dan Care Belande atau Eropa tergantung si tukang rias. Jika terbatas, biasanya yang utama adalah Care Cine dengan warna merah yang dominan serta kembang goyang yang khas bagi mempelai wanita.
Dari segi bahasa pun, bahasa Betawi yang berbasis Melayu menyerap bahasa Cina, Belanda, Prancis, Portugis, Arab hingga Kawi. Marbot (Pr. Marabout), lipensetip (Bel. lippenstift), jago (Por. jogo), engkong (Cin. ah kong) dan redo (Ar. ridho) adalah contoh beberapa kata yang diserap etnis Betawi dari bahasa-bahasa asing.
ADVERTISEMENT
Grup musik tanjidor berbasis peralatan musik Eropa dan gambang kromong yang dipengaruhi alat musik Tionghoa pun terintegrasi ke dalam seni musik Betawi seperti juga masuknya stambul Melayu.
Etnis Betawi pun hidup rukun dengan siapa saja bahkan ikut merayakan atau menjadikan perayaan etnis lain. Misalnya di saat imlek, dulu ibu saya selalu menyempatkan bikin bandeng semur dan kue cina. Bandengnya harus spesial dan besar-besar. Budaya memberikan ang pao dan kue cina biasanya sudah dipindahkan ke Idul Fitri.
Pun untuk perayaan-perayaan Islam, etnis Betawi mengawinkan dengan tradisi sendiri. Misalnya pada malam nisfu syaban di sore hari sudah keramas lalu membawa air (biasanya dalam teko) untuk dibawa ke masjid. Di tengah hadirin pembaca surah Yassin, teko diletakkan. Selesai pembacaan Yassin biasanya airnya akan diminum seisi rumah dan kadang dibagikan ke tetangga yang mungkin berhalangan pergi.
ADVERTISEMENT
Di Batavia sendiri gereja, klenteng dan masjid sudah ada dan kehidupan berjalan penuh toleransi. Bahkan yang mungkin membawa keanehan adalah ada juga masyarakat Betawi yang menganut agama Kristen. Di kampung Tugu ini dapat ditemukan sanak-saudara Betawi yang memiliki keyakinan berbeda. Mereka hidup rukun dan saling membantu di acara masing-masing.
Bangsa Betawi juga sangat terbuka dalam perihal pernikahan antarsuku dan kadang antarbangsa. Lagi-lagi kebanyakan didasarkan atas agama Islam namun Betawi tidak lepas dari fenomena pernikahan lintas agama. Pernikahan antarsuku dan bangsa ini juga yang kelak menjadi lunturnya budaya asli Betawi melebur menjadi budaya Jakarta atau Nusantara. Hal itu tidak dipermasalahkan oleh suku Betawi sendiri (mungkin menimbulkan kekhawatiran bagi budayawan).
Saya yakin di suku-suku lain di Nusantara pada dasarnya kita semua toleran terhadap perbedaan-perbedaan yang kita miliki. Inilah yang menjadi dasar masih kokohnya Republik Indonesia hingga saat ini. Usaha-usaha untuk memecah-belah persatuan kita harus kita lawan dengan asas hidup rukun dan damai yang sudah dijalankan sejak nenek moyang kita.
ADVERTISEMENT