Konten dari Pengguna

Berbincang soal Politik Kaum Muda

Nour Muhammad "Akim" Adriani
Mahasiswa tahun kedua program Master Pendidikan di CCU, Taiwan
17 April 2018 4:08 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nour Muhammad "Akim" Adriani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Semua karena politik (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Semua karena politik (Foto: Istimewa)
ADVERTISEMENT
Seolah menjadi tren, gelombang kemunculan pemimpin berusia di bawah 40 tahun terjadi di seluruh dunia. Mulai dari kudeta militer dan gerakan reformis Andry Rajoelina -seorang disk jockey- di Madagaskar pada 2009, gerakan Scholars di Hong Kong pada 2014, sampai kemenangan Sebastian Kurz sebagai Kanselir Austria pada 2017 lalu.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia sendiri, kehadiran kelompok muda dalam politik nasional cukup terasa. Media banyak memberitakan terpilihnya para kandidat seperti Gubernur NTB, Muhammad Zainul Majdi, atau Tuan Guru Bajang yang baru berusia 36 tahun pada 2014 dan gubernur Lampung Ridho Ficardo di usia 34 tahun pada 2014. Bahkan, beberapa tahun terakhir, hadirnya partai tertentu yang mengklaim golongan “milenial” ini sebagai basis suaranya meramaikan jagat media sosial bahkan diskusi publik di saluran televisi nasional.
Dikutip oleh BBC News, Profesor Catherine de Vries seorang ahli politik di Universitas Essex, Inggris, mengungkapkan faktor “ketidakpuasan umum” atas status-quo politik yang ada sebagai faktor utama kemenangan tokoh-tokoh muda.
Kehadiran mereka tersebut, dengan alternatif wacana dan gerakan yang dibawanya menjadi ruang publik untuk suatu “eksperimen” jangka pendek di tengah masyarakat dari ketidakcakapan para politisi lama juga struktur politik yang terlalu “mahal” dan “panjang” untuk menuju puncak. Dukungan media sosial memudahkan kondisi ini, sebagai jalur by-pass antara kontestan dan konstituen.
ADVERTISEMENT
Menarik mengamati sepak terjang partai ‘kelompok’ muda ini dari kacamata politik populisme, karena dalam beberapa kasus terakhir langkah-langkah yang dilakukan justru kontroversial dan nyaris konyol. Diskusi salah seorang petinggi partai itu di televisi swasta nasional sebulan yang lalu nyaris tanpa argumen yang kuat.
“Debat” politik dengan salah satu pimpinan DPR beberapa waktu yang lalu malah berbuah “persekusi” (baca: konfirmasi) dari perwakilan diplomatik negara sahabat. Sikap semacam ini justru tidak mencerminkan populisme dan malah menggambarkan “ketidaksiapan” anak muda untuk berpolitik secara umum.
Politik, pemuda, dan susastra
Mulai tahun 2000-an politik kaum muda juga menjadi tema-tema dalam kesusastraan populer dan seni khususnya film-film Hollywood. Dua seri terakhir Harry Potter (2007) dengan jelas menggambarkan kepemimpinan para pemuda untuk mengalahkan sang raja kegelapan Voldemort dan menyelamatkan dunia sihir dari niat jahatnya.
ADVERTISEMENT
Peran golongan tua seperti para guru Hogwarts menjadi sekedar “pendukung” yang ikut serta dalam perlawanan itu setelah diyakinkan oleh kesungguhan para siswanya.
Novel Mockingjay karya Suzanne Collins (2010) yang kemudian di angkat dalam dua seri layar lebar The Hunger Games (2014-2015), menunjukan sisi kepolitikan ini secara lebih jelas.
Dimulai dari sebuah sejarah perang saudara dan penindasan pemerintah pusat Panem kepada provinsi-provinsinya, Katniss Everdeen, sang tokoh utama rela mengorbankan dirinya dalam sebuah kontes “tarung sampai mati” tahunan yang berubah menjadi gerakan revolusi nasional.
Beberapa novel seri lain seperti The Maze Runner (2009-2016) karya James Dashner, Divergent (2011) yang ditulis oleh Veronica Roth dan sebagainya juga menceritakan gerakan-gerakan politik kaum muda semacam itu. Kebanyakan karya-karya bergenre dystopian fiction, atau fiksi tentang suatu masyarakat tertindas dari sudut pandang pengarang ini menjadi popular setelah di angkat ke layar lebar, menjadi semacam promosi menarik untuk melawan apatisme politik yang banyak terjadi.
ADVERTISEMENT
Di antara karya-karya popular yang dibalut romantisme khas anak muda tersebut hampir seluruhnya mengangkat beberapa sudut pandang. Ketertindasan, ketimpangan, dan ketidakadlilan dalam film Upside Down (2012) yang kuat dengan tema roman-nya sebagai contoh, menggambarkan sebuah dunia yang “terbagi” dalam metafora dua planet yang berdekatan. Pada akhir kisah, cinta, kerja keras, dan kebersamaan berhasil mengakhiri penindasan oleh korporasi “antar-planet” itu.
Kedua, adalah sikap kritis dan rasa ingin tahu yang besar. Novel “sejarah alternatif” karya Philip K. Dick berjudul The Man in the High Castle (1962) yang diangkat menjadi 20-episode serial televisi pada 2015 merefleksikan sikap ini. Dalam perang dunia yang berakhir dengan kekalahan Sekutu, Juliana Crain, sang tokoh utama menemukan adiknya tewas oleh Kempetai di San Fransisco yang diduduki Jepang. Petunjuk-petunjuk membawanya pada suatu gerakan revolusioner yang berakhir dengan perdamaian dunia.
ADVERTISEMENT
Ketiga, sikap rela berkorban demi mengikis ketidak-idealan dalam masyarakat. Katniss rela meninggalkan keluarganya dan dengan susah payah memenangkan The Hunger Games. Di akhir film bahkan dia membunuh tokoh revolusi Alma Coin, karena siasat kejamnya yang digunakan untuk menggulingkan diktator Presiden Snow. Hal yang sama ditunjukan oleh Crain dengan mengorbankan keluarga, “mendorong” sang kekasih melakukan bom bunuh diri, sampai membunuh tokoh pergerakan yang dia cari sebelumnya.
Sisi anti-kemapanan dan idealitas adalah juga di antara sebab kemenangan Emanuel Macron di Perancis tahun lalu. Dalam usianya yang baru 39 tahun, ia mengalahkan Marine Le Pen yang sebelumnya diprediksi akan menang.
Dengan membentuk gerakan politik La République En Marche! sekitar setahun sebelumnya, Macron berhasil menyalip tokoh-tokoh tradisional Prancis dalam Partai Sosialis maupun Nasionalis.
ADVERTISEMENT
Moderat dalam kasus imigran, pro-regionalisme Eropa, dan citra intelektual dalam komentar-komentarnya menggaet suara masa daripada nada kebencian atas nama nasionalisme yang berlebihan dari kubu seberang. Platform sebaliknya mengantarkan Kurz memegang tampuk kepemimpinan tertinggi di Austria.
Politik Kaum Muda di Indonesia
Gerakan politik kaum muda di Indonesia sesungguhnya bukan hal baru yang telah ada sejak mula republik ini berdiri. Mereka mengangkat senjata dan aktif menyuarakan aspirasi kepada golongan senior seperti Bung Karno dan Hatta. Chaerul Saleh, Wikana dan Sukarni, berada di panggung utama proses menuju detik-detik proklamasi.
Angkatan-angkatan muda dibentuk di berbagai wilayah selama agresi militer. Soekarno-Hatta, Sjahrir, dan lain sebagainya pun mengawali kritisme dan gerakan-gerakan kontra-kolonial dalam usia dua puluhan yang barulah mereka rasakan nyatanya visi itu puluhan tahun setelahnya.
ADVERTISEMENT
Di masa awal republik, KH Idham Chalid didapuk menjadi wakil perdana menteri, sementara Isa Anshory menjadi anggota Konstituante – badan pembuat UUD baru pasca mosi integral Natsir 1950 – sama-sama di usia 34.
Syafruddin Prawiranegara pada usia 37, telah menyelamatkan republik dengan pemerintahan daruratnya di Halaban, Sumatera Barat. Sederet nama tokoh-tokoh lain yang di usia relatif muda memegang peranan besar dalam politik nasional tidak sulit kita temukan sepanjang sejarah bangsa ini.
Memang zaman telah berubah. Sejak masa Orde Baru, strukturalisasi politik seolah mengikuti filosofi “urut kacang”: ada urutan-urutan tertentu yang membuat peran generasi muda harus menapaki ketentuan politik personalia rezim.
Namun, peran pemuda dan mahasiswa dalam reformasi tidak bisa kita nafikan, setidaknya menunjukan keinginan perubahan kepada penguasa. Sampai tahun-tahun terakhir era SBY, suara untuk kritisisme ini masih relatif tersisa, dengan misalnya aksi-aksi demonstratif menanggapi isu-isu aktual, meskipun kadang berakhir ricuh.
ADVERTISEMENT
Kehadiran kelompok masa (baca: partai politik) bertemakan kaum muda pun merupakan suatu hal yang patut diapresiasi sebagi sarana meningkatkan partisipasi kelompok ini dalam tantangan stagnasi ide dan kemalasan akibat gempuran teknologi hiburan.
Namun, nilai efektifitasnya sebagai muharrik (penggerak) perlu diperhatikan terutama dari segi platform yang diangkat dan konsistensi memperjuangkan aspirasi akar rumput.
Mengklaim kelompok masa sebagai basis politik adalah wajar dan sah-sah saja sebagai media kampanye. Namun, pembuktian sikap kontra-kemapanan, kritis, dan idealitas perlu menjadi platform utamanya, bukan justru mendekat kepada rezim dan menjadi pendukung setianya bahkan sebelum suara sampai ke kotak pemilihan.
Lucu agaknya sikap “reaksioner” popular yang pro-publik di masa lalu harus sampai dihapus, dikoreksi, diklarifikasi dari media sosial. Untuk apa? Untuk siapa?
ADVERTISEMENT