Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Kisah Puasa di Negeri Formosa
1 Mei 2022 9:38 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Nour Muhammad "Akim" Adriani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jam sudah menunjukan angka 5 sore – jam 4 di Indonesia – sebuah pesan masuk ke ponsel saya, “Mas, aku ga bisa hadir ke markas nanti malam, istriku lagi gak sehat”. Pak Fudholi, yang beken disapa Kang Doli, adalah imam tetap kami untuk tarawih selama Ramadhan sejak beberapa tahun terakhir. Pekerja migran Indonesia (PMI) yang bekerja di Taiwan sejak 6 tahun yang lalu ini tinggal sekitar 30 km dari lokasi Al-Markas, atau sekretariat Majelis Ta’lim Yaasiin (MTYCIT), organisasi keagamaan para perantau Indonesia di daerah Chiayi, Taiwan. Sebagai Imam badal (pengganti) adalah tugas saya untuk menggantikan beliau jika berhalangan hadir, meskipun kampus saya dan sekretariat itu sendiri berjarak sekitar 1 jam bersepeda, lebih kurang 20 km.
ADVERTISEMENT
Potret semarak Ramadhan di tanah rantau memang kadang tidak seindah di negeri sendiri, termasuk di Pulau Formosa atau Taiwan. Bagi sebagian besar pekerja Indonesia yang berjumlah hampir 300 ribu orang di teritori yang diperselisihkan bernama resmi Republic of China ini, rutinitas di pabrik atau rumah laopan (bos) tidak ada yang berubah. Jam kerja tetap sama, beban kerja tetap bertumpuk, malah di beberapa pabrik jam lemburan – pekerjaan ekstra, ditambah. Disrupsi global akibat pandemi justru membuat ekspor negeri ini tumbuh pesat, disebut terbaik dalam 10 tahun terakhir.
Dampak Pandemi Covid-19 membuat pemerintah China Taipei yang dikenal reputasinya karena bertangan dingin mengatasi krisis kesehatan di wilayahnya, belum melonggarkan banyak aturan penjarakan seperti kegiatan sosial dan keagamaan. Tahun lalu, solat Idul Fitri dan Idul Adha ditiadakan. Hal serupa membayangi Idul Fitri tahun ini. Dan, meskipun situasi mulai membaik, atau izin dari pemerintah tidak dicabut kadang hambatan datang dari majikan. Para asisten rumah tangga Indonesia yang mayoritas perempuan, seringkali dilarang untuk mengikuti kegiatan perkumpulan sosial karena takut tertular virus dan membawanya ke rumah.
ADVERTISEMENT
Toko Indonesia: Simpul Budaya dan Agama
Ketika saya tiba di Chiayi, sekitar 3 jam perjalanan dari ibukota Taipei, Oktober 2020, situasi pandemi di Taiwan masih terkontrol. Di kota kecil ini, kerinduan akan kampung halaman segera menyelimuti. Lewat keberadaan toko Indonesia-lah saya dapat sedikit mengobati kehilangan pada tanah air dengan menggabungkan diri dalam jejaring masyarakat migran yang minoritas baik secara budaya maupun kepercayaan.
Toko Wiwi misalnya, salah satu toko kelontong yang menjual makanan dan produk Indonesia tertua di kota ini, tidak hanya berfungsi sebagai tempat bisnis semata. Pemiliknya, Wiwi adalah eks-pekerja migran yang menikah dengan warga Taiwan, Dage Yusuf. Ia tidak hanya merintis usaha perdagangan, jasa pengiriman barang dan uang tetapi juga memfasilitasi kegiatan keagamaan.
ADVERTISEMENT
Didorong semangat spiritual sebagai perantau, Wiwi yang asli Subang mewarnai bisnisnya dengan ruh Islam. Ia melakukan sertifikasi halal kepada produk makanan yang ia buat sekaligus menjadi satu-satunya Toko Indonesia di Chiayi yang mengantongi seritifikat resmi Halal CMA (Chinese Muslim Association), semacam MUI warga Taiwan Muslim. Mushola Al-Iman di lantai 3 toko yang disewa sejak awal 2000-an itu juga dibuka menjadi pusat kegiatan keagamaan baik warga Indonesia maupun non-Indonesia. Selain itu, Wiwi dan suaminya bertindak sebagai penasihat Majelis Ta’lim, MTYCIT, sekaligus “penjamin” bagi kegiatan keagamaan Islam dalam urusan-urusan perizinan dengan pihak pemda termasuk kegiatan besar seperti Idul Fitri.
Semarak Ramadhan di Taiwan, khususnya di daerah Industri seperti Chiayi pun dapat sedikit dirasakan berkat keberadaan toko-toko Indonesia. Tidak jauh dari Staisun Besar, Toko Tanah Emas menyediakan berbagai makanan khas berbuka seperti es kolang kaling, bubur kacang, dan kolak selain bakso dan lauk pauk khas tanah air yang sehari-hari tersedia. Irham dan istrinya sebagai pengelola, tidak lupa menyediakan mushola di lantai atas toko dan secara rutin menjadi tuan rumah serta sponsor bagi kegiatan Majelis Ta’lim.
ADVERTISEMENT
Kebanyakan para pelanggan akan memadati toko Irham menjelang berbuka terutama di akhir pekan. Tetapi, banyak juga di antara para pekerja Indonesia kadang sudah berburu makanan sejak siang hari. Beberapa, bahkan memutuskan tidak berpuasa. Salah satu alasan yang biasa muncul adalah efek beban kerja yang begitu berat sehingga kurang memungkinkan untuk berpuasa seharian penuh. Belum lagi sesi puasa kali ini masuk di musim panas dimana siang harir bisa mencapai di atas 30 derajat Celsius.
Jam menunjukan pukul 8.15 malam, lima-enam jamaah sudah tampak hadir. “Aduh, maaf lur terlambat, kerjaan di pabrik lagi numpuk”, kata pria itu sambil memasang pecinya. Pak Budi, begitu biasa saya memanggilnya adalah PMI asal Kebumen yang sudah menginjak tahun ke-9 di Taiwan. Ketua Majelis Ta’lim MTYCIT ini adalah pekerja di pabrik peleburan logam di kawasan industri yang berlokasi sekitar setengah jam bersepeda dari kota. Memulai pekerjaan sejak pukul 6 pagi dan selesai lemburan jam 8 malam, Senin sampai Sabtu, tidak membuat ia dan jamaah lain mengendurkan semangat di bulan Puasa ini.
ADVERTISEMENT
“Aku seneng mas kalo banyak yang dateng tarawih, buka bareng. Kaya di cas lagi, semangat lagi kerja”, ujarnya suatu ketika saya menyarankannya berehat dulu. Hal itu diamini oleh Pak Agus Nyong, yang merupakan sesepuh MTYCIT asli Cilacap. Ia sudah masuk tahun ke-13 menggantungkan nasib di daerah Chiayi. “Sekarang ada sepeda listrik, dulu kita malah sepedaan, Aa, ngontel kemana-mana”, kenangnya.
Dakwah Islam Rasa Indonesia di Sudut Formosa
Suasana Ramadhan di Chiayi juga dapat dirasakan dengan meningkatnya kegiatan ibadah dan sosial lewat Majelis Ta’lim. MTYCIT atau Majelis Ta’lim Yaasiin Chiayi Indonesia-Taiwan, menyelenggarakan kegiatan buka bersama setiap hari Sabtu dan Minggu. Kegiatan kekeluargaan semacam ini sangat dirindukan oleh para jamaah yang mayoritas bekerja sebagai asisten rumah tangga atau caregiver, penjaga lansia di kawasan perkotaan. Bahkan, seperti Bu Eli yang tinggal di Putzi, sebuah kota kecil sekitar 35 km dari kota Chiayi, pemilik Toko Indo Coco Counter yang sudah lama bermukim di Taiwan ini sengaja menyetir mobilnya setiap minggu khusus untuk menghadiri kegiatan “ngabuburit”, buka bersama dan tarawih berjamaah di sekretariat MTYCIT. Siraman rohani secara luring adalah diantara yang paling diperlukan oleh umat Muslim selama Ramadhan di samping gelak tawa dan obrolan hangat di antara sesama perantau.
ADVERTISEMENT
Jika bagi komunitas pekerja migran suasana Ramadhan yang meriah seperti di tanah air mungkin kurang terasa, bagi kalangan pelajar momen tahunan seperti ini jadi berkah tersendiri. Perbaikan gizi adalah agenda yang dinanti-nantikan, selain kesempatan untuk menabungkan sebagian uang beasiswa bulanan karena berkurangnya biaya membeli makanan. Tidak hanya buka bersama, kegiatan tarawih berjamaah dan mabit atau bermalam, adalah momen silaturahmi yang semakin mengeratkan rasa kebersamaan.
Widi, mahasiswa master asal Kuningan yang juga ketua PPI di kampus National Chiayi University (NCYU) misalnya rutin beritikaf di sekretariat MTYCIT setidaknya di akhir pekan. Setelah tarawih usai, mahasiswa dan pekerja migran yang memiliki waktu luang akan mengisi malam hari dengan tadarus, solat malam, atau sekedar berbagi kisah hidup hingga sahur. Bagi Puan Tursina, mahasiswi PhD asal Aceh sekaligus Sekretaris MTYCIT, kegiatan serupa menjadi sarana menularkan ilmu pengetahuannya dengan mengajar baca Al-Quran dan mengisi kultum keputrian.
Dari infak dan donasi yang dikirimkan jamaah, pengurus menyediakan semua makanan dan minuman baik untuk takjil, makan malam, dan sahur bersama selama Ramadhan. Untuk keperluan penting ini, tim dapur yang diketuai oleh Teh Uun, eks-PMI asli Indramayu ini hampir tidak pernah bersantai untuk memikirkan dan mengolah berbagai produk lokal menjadi cita rasa Nusantara bagi hidangan yang akan disantap bersama.
ADVERTISEMENT
MTYCIT dan Mimpi untuk sebuah Rumah Allah
Walaupun memiliki lebih dari 50 keluarga lokal yang memeluk Islam di samping ribuan Muslimin Indonesia yang bekerja di berbagai bidang, Chiayi masih belum memiliki tempat ibadah yang representatif. Kendala lahan dan biaya memang sangat terasa, apalagi puluhan keluarga muslim ini tersebar di berbagai distrik yang berlainan. Selama 13 tahun sejak didirikan pada 2009, komunitas majelis ta’lim MTYCIT selalu berkegiatan secara nomaden. Rutinan Yasin dan Tahlil setiap Sabtu malam dilakukan dari toko ke toko, menjadi semacam “jamaah undangan”. Di antara kegiatan besar adalah Tabligh Akbar setiap bulan Februari, menghadirkan Da’i dan Mubaligh terkemuka dari tanah air seperti KH Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym, da'i kondang asal Bandung dan Habib Jindan dari Jakarta. Sementara itu, untuk kegiatan solat rowatib dan rapat-rapat, pengurus biasa memanfaatkan mushola Al-Iman milik Toko Wiwi, meskipun tentu konsekuensinya harus menyesuaikan dengan jam operasi toko. Barulah setelah 12 tahun, MTYCIT memiliki sekretariat sendiri.
“Kita banyak dapat komplen Mas dari tetangga, katanya keberisikan, atau masalah asap rokok, kadang parkiran”, kata Budi. Memang, sekretariat Majelis Ta’lim itu bukan bangunan permanen sejak ditempati pada Maret 2021 lalu. Beratap seng dan berdinding setengah gypsum, fasilitas ini sebenarnya adalah Gudang Toko Wiwi yang disewa oleh Majelis Ta’lim sebagai pusat kegiatan karena keperluan mendesak untuk beraktivitas. Akibat tidak sesuai fungsinya, setiap keramaian akan mengundang perhatian dari warga sekitar – banyak diantaranya sudah lansia dan mudah terganggu oleh suara-suara.
ADVERTISEMENT
Bukan masalah sebagai Muslim sebenarnya, “…orang sini kan ndak tahu bedanya mana pengajian mana dangdutan, Aa”, kata Pak Ali menimpali. Sebagai koordinator dana usaha, pria asal Lombok ini menjadi salah satu tumpuan untuk rencana mengusahakan suatu tempat ibadah yang representatif bagi ribuan masyarakat Muslim di sebuah kota kecil di negeri seberang ini. Ditanya kesanggupannya dari segi penggalangan dana ia menjawab, “Menantang, tapi Insyaallah, berkah puasa, jadi jariah buat kita semua”. Iqomah pun dikumandangkan, tanda akan dimulainya salat Isya di sudut negeri pulau indah yang memberinya nama "Ilha Formosa".