Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Polemik Warisan dan Sikap Pertengahan
24 Mei 2017 1:13 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
Tulisan dari Nour Muhammad "Akim" Adriani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setelah sekian lama menggunakan Facebook ala kadarnya, “kebetulan” saja saya menemukan beberapa topik populer menarik yang lagi ngehits. Waktu saya berdiskusi dengan beberapa kawan sesama mahasiswa tentang perang “pemikiran” yang sedang terjadi, mereka bilang, “udahlah, urusan remaja lagi nyari jati diri, ngapain kita ikut-ikutan?” Tetapi, mengamati perkembangannya, isu ini jadi melebar ke sana kemari. Tanggapan bermunculan di sana-sini. Dan karena orang-orang pintar bertitel jadi ikut-ikutan komen, lebih parah lagi banyak yang mendadak kehilangan kejujuran ilmiahnya, saya memutuskan untuk ikut serta.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, bagi yang lebih pro pada tulisan ini, tidak perlu agaknya bersikap “merasa dimenangkan”. Apa yang dimenangkan dan dikalahkan pun tidak jelas disini, selain “eksploitasi” pemikiran seorang siswa sekolah menengah untuk kepentingan tertentu. Justru sebaiknya sama-sama berkaca, jangan-jangan justru kita yang tersandera dengan pemikiran fanatik tentang apapun, nasionalisme, atau justru agama sebagaimana “diingatkan” sang penulis yang Anda "bela". Itulah kenapa, salah satu nilai pergerakan ormas Islam terbesar di tanah air, Nadhlatul Ulama adalah Tawasuth, bersikap secara pertengahan.
Saya sengaja menulis kata “kebetulan” di atas dalam tanda kutip, sebab dalam ranah kepercayaan manapun, khususnya agama Ibrahimi, hampir dipastikan tidak ada satupun yang di luar kehendak Ilahi, predestinasi, takdir. Itu adalah konsekuensi logis dari penyerahan diri kepada Sang Pencipta karena secara logika sederhana, tidak mungkin sesuatu yang maha segala-galanya kehilangan kuasa untuk menentukan sesuatu. Demikianlah kita dijadikan atas kehendaknya berbangsa, bernegara, bersuku-suku, termasuk beragama tidak dengan kebetulan, tapi dengan maksud tertentu. Apakah dengan demikian kita menyalahkan semua keputusan Tuhan itu dengan berkata “ya sudah dari sananya begini…” tanpa upaya untuk mengubah diri menjadi lebih baik?
ADVERTISEMENT
Berbicara masalah warisan, banyak orang keliru menganggapnya sebagai hal sepele, “wong cuma warisan kok diributkan…”, seolah-olah tinggal terima dari atas, taken for granted. Saya beberapa kali menyaksikan tetangga datang membawa kisah dramatis menemui ayah, ingin konsultasi masalah waris yang dia merasa “dizalimi” oleh keluarganya. Begitulah faktanya, masalah warisan ini seringkali menjadi masalah besar di tengah masyarakat: keluarga jadi pecah belah, permusuhan sesama saudara, setidaknya bikin suasana hati tidak nyaman JIKA pembagiannya tidak berjalan secara baik dan benar.
Masalah baru muncul: “baik” dan “benar” disini menurut siapa? Orang bisa punya standar kebaikan dan kebenaran masing-masing untuk dirinya sendiri yang berbeda satu sama lain. Sebetulnya, warisan itu masalahnya cuma dua kok: pertama, ada yang merasa paling berhak mengambil bagian, tidak memperdulikan orang lain. Kedua, ada yang merasa dirugikan lalu menuntut dengan tidak bijak. Itulah kenapa Islam punya begitu lengkap aturan tentang hal ini, Mawaris atau Faraidh namanya, supaya orang punya landasan “kebenaran” dengan catatan “versi” Islam. Dan sebagaimana sila pertama dalam Piagam Jakarta, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, aturan ini berkuatkuasa buat khusus orang Islam, yang ga merasa Islam ya nggak usah. Meminjam istilah Gus Dur, “gitu aja kok repot”. Cuma, adalah tanggung jawab mereka sebagai orang yang paham agama, Kiyai, Ustadz, untuk mengingatkan mana yang benar itu, bukan justru membiarkannya. Masalah ”lembut“ dan ”kasar“ adalah cara, kita bisa berbeda pendapat masalah caranya tapi bukan substansi kebenarannya.
ADVERTISEMENT
Katakanlah agama adalah warisan, karena sebetulnya saya kurang sependapat tentang itu, apakah kemudian akal kita berhenti dari mencari kebenarannya? Terlepas dari bagaimana proses warisan sampai kepada kita, setelah berpindah tangan harta itu jadi tanggung jawab kita sepenuhnya. Mau dihabiskan di karaoke atau pub, atau dijadikan santunan faqir miskin itu hak kita. Apakah logis terus menerus menyalahkan orang tua yang sudah wafat kalau lantas harta yang diwarisi mencelakakan kita? Tidak! Itu tanggung jawab nda mengelolanya.
ADVERTISEMENT
Demikian juga dengan agama, orang tua dan lingkungan hanya menjadi jalan sampainya konsep itu kepada kita, lalu? Tentukan sendiri dan tanggung akibatnya. Setiap kita punya hak untuk mencari dan bertanya tentang apa yang sudah terlanjur jadi kebiasaan. Kebanyakan orang berlindung di balik skeptismenya dan belum apa-apa menyerah dengan mengatakan “sudahlah, masing-masing saja”.
Proses mencari adalah bagian dari kehidupan. Banyak kisah para nabi dan tokoh agama yang hampir selalu penuh dialog tentang proses itu, sebelum sampai pada manifestasi kebenaan Ilahiah. Tetapi, “pencarian kebenaran” ini bisa dilakukan kalau kita punya satu pengetahuan sebelumnya tentang posisi kita terlebih dahulu. Itulah kenapa kita “didoktrin” terhadap agama kita. Kalaulah kita belum tahu agama kita seperti apa, janganlah berani-berani menyimpulkan, membandingkan dengan yang lain. Bagaimana kita bisa membandingkan kalau yang kita miliki saja kita tidak tahu ukurannya?
ADVERTISEMENT
Benar dasar dari bergolongan adalah monopoli kebenaran. Tapi, apakah salah seandainya negara tetangga merobek-robek bendera merah putih atau Pancasila disebut Panca-gila, kita bilang “oh ya itu hak Anda, kami menghormati…”. Toleransi macam apa itu? Ketika kita berkelompok (apapun bentuknya) selalu ada “kita” dan “mereka”. Sekarang, berdialektikalah! Mana di antara kita yang paling kuat argumen kebenarannya, bukan “asal nrimo”, sikap menghindari masalah tapi membuat bom waktu di masa yang akan datang.
Kita tidak bicara sumbu pendek dan gaya meledak-ledak sekelompok orang. Kekerasan dan sikap main fisik itu beda urusan dan wajib kita tolak. Kita berbicara masalah hakikat berbeda. Di sini bukan Tuhan dan Agama yang bermasalah, karena bahkan masyarakat ateis yang tidak punya “Tuhan” selain keateisannya, komunis, justru menyebabkan bencana kemanusiaan yang sangat masif dan parah juga di abad yang lalu.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan lain adalah, apa perlunya kita membenturkan peradaban “material” seperti pencapaian pergi ke bulan dan kekayaan spiritual naluriah bangsa Indonesia? Bukankah sekarang negara-negara yang dikatakan “maju” itu mulai merasakan dampak negatif cara pandang “kemajuan” mereka? Contoh kasus saja masalah depopulasi di berbagai negara. Usahlah menghukumi orang yang cinta agama mereka sebagai teroris atau radikalis. Demonstrasi dan aksi masa itu hakikat demokrasi yang termasuk dalam bingkai ke-Indonesiaan.
Sejauh ini, semua yang dikatakan “aksi bela agama A-Z” tidak ada yang sampai rusuh, terus masalahnya apa? Malah kalau mau dibandingkan masalah kebersihannya lebih baik dari yang mengklaim diri “Pancasilais”. Ayo, jujur dan adillah menilai sesuatu. Setiap teroris tidak beragama, jangan beri cap agama kepada mereka, tok begitu.
ADVERTISEMENT
Adalah harapan kita semua –tidak hanya Anda – untuk melihat bangsa ini mencapai derajat mulia di antara peradaban manusia, tapi jangan salahkan yang juga ingin kemuliaan itu sampai kepada kehidupan nanti di alam lain. Berbeda dan mendiskusikan perbedaan itu tidak berarti bermusuhan. Sebagaimana kita tidak perlu sama dalam berpikir, setidaknya kita mampu mempertimbangkan sudut pandang pemikiran orang lain. Setelah itu bersikap adilah.