Konten dari Pengguna

Payung Hukum Korban Kekerasan Seksual

akit afit datul kusna
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
25 Mei 2022 22:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari akit afit datul kusna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto pribadi
ADVERTISEMENT
Kekerasan seksual yang kerap terjadi di Indonesia masih menjadi persoalan yang tidak mudah dikendalikan. Pelaku dan korban kekerasan seksual tidak mengenal usia. Korban terdiri dari perempuan, laki-laki dan anak-anak yang masih di bawah umur.
ADVERTISEMENT
Mengutip data dari Simfoni PPA KemenPPPA, sebanyak 7.906 kasus kekerasan seksual terjadi pada tahun 2021. Data tersebut menguatkan fakta bahwa setiap orang dapat menjadi korban dan setiap orang dapat menjadi pelaku. Pelaku bahkan tidak hanya orang yang tidak dikenal, tetapi orang terdekat kita sendiri.
Pelaku kekerasan seksual beberapa tahun terakhir berasal dari orang terdekat. Bahkan mereka melancarkan aksinya tersebut telah bertahun-tahun lamanya. Tidak sedikit korban yang menerima ancaman dari pelaku agar tidak melaporkan perbuatannya kepada pihak berwenang.
Ruang publik seperti jalan umum, transportasi umum dan pusat perbelanjaan menjadi lokasi yang rentan terjadinya kejahatan seksual. Padahal seharusnya, ruang publik menjadi tempat yang aman karena terdapat banyak orang sehingga pelaku kejahatan seksual tidak memiliki celah dalam bertindak. "ini semua terjadi di ruang publik tempat yang seharusnya terlindungi karena tertoreh kata publik di sana," ujar Najwa Shihab yang dikutip dari Youtube Najwa Shihab.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia kekerasan seksual dijerat dengan pasal pencabulan 289-296 yang diatur Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP mengatur dua jenis kekerasan seksual, yaitu pencabulan dan pemerkosaan. Namun, dengan beragamnya kasus kekerasan seksual yang terjadi pada media elektronik mengakibatkan adanya kekosongan hukum.
Sehingga kasus kekerasan seksual tidak dapat ditindaklanjuti. Oleh karena itu, ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), pada tanggal 12 April 2022 dalam sidang rapat paripurna di DPR. Undang-Undang (UU) TPKS disahkan untuk mengisi kekosangan hukum.
UU TPKS tidak hanya fokus pada pelaku kekerasan seksual namun, juga berorientasi terhadap korban dengan memberikan layanan pemulihan pada korban. Kekerasan seksual yang selama ini dinormalisasi dan dianggap hal yang umum terjadi kini di atur dalam UU TPKS. Dengan adanya perlindungan hukum yang sepenuhnya berpihak kepada korban, diharapkan tidak ada lagi korban yang enggan melaporkan kasus kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
Kekerasan seksual bukan hal yang layak diremehkan karena sekecil apapun bentuk kekerasan seksual telah merujuk pada kejahatan seksual. Kini perempuan dan anak-anak sebagai pihak yang dilemahkan memiliki payung hukum. “UU TPKS merupakan hadiah buat seluruh masyarakat Indonesia menjelang peringatan hari Kartini payung hukum ini bertujuan menjaga dan mengayomi, bukan hanya untuk perempuan melainkan untuk satu bangsa Indonesia,” ujar ketua DPR RI Puan Maharani.
Hukum yang mengatur telah ada, selanjutnya implementasi dari hukum tersebut. Tentunya pihak yang memiliki wewenang dalam mengimplementasikan UU adalah penegak hukum. Pihak yang bertugas menegakkan hukum harus bersifat netral dan adil. Tidak memihak pada golongan tertentu serta pihak yang memiliki kekuasaan.
Ironisnya sering kali dijumpai pihak yang seharusnya menegakkan keadilan namun, tidak dapat bersifat adil dalam menegakkan hukum. Mereka (korban), bahkan dianggap mau sama mau ketika terjadi kekerasan seksual. Tentunya hal itu tidak mencerminkan hukum dan aparat penegak hukum yang seharusnya dapat berlaku adil terhadap seluruh kalangan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Respon yang tidak baik terhadap korban kekerasan seksual akan berdampak terhadap kondisi psikologis korban. Korban telah menerima kekerasan seksual kemudian, dengan kondisi yang masih traumatic harus memperjuangkan hak-haknya untuk mendapatkan keadilan. Oleh karena itu, ketika ada korban kekerasan seksual yang melapor tidak etis seorang aparat penegak hukum memberi respon yang tidak seharusnya diucapkan.
Tak jarang kasus kekerasan seksual banyak terhenti karena pelaku merupakan seorang tokoh penting dalam masyarakat, bahkan mendapatkan keringanan hukuman. Padahal, seharusnya tidak ada toleransi bagi pelaku kejahatan seksual. Penegak hukum diharapkan mampu menghilangkan stigma negatif tersebut.
Hal menarik dari UU TPKS yang tidak diatur dalam KUHP, yaitu adanya perlindungan hukum bagi korban ancaman pornografi melalui media elektronik. Korban yang menerima ancaman akan disebarkan foto atau video pornografi dapat melaporkan hal tersebut kepada pihak yang berwenang.
ADVERTISEMENT
Zaman dahulu menikahkan korban kekerasan seksual dengan pelaku adalah solusi. Hal tersebut karena adanya anggapan bahwa pernikahan telah sah di hadapan hukum dan agama. Namun, saat ini pemaksaan perkawinan telah diatur dalam UU TPKS. Menikahkan korban dengan pelaku bukan pilihan yang tepat karena akan berdampak terhadap kondisi psikologis korban.
Hal menarik lain yang diatur dalam UU TPKS, yaitu ketika terjadi kasus kekerasan seksual selama ini identitas pelaku dilindungi. Akan tetapi, sekarang identitas pelaku kekerasan seksual diperlihatkan pada publik. Dengan demikian, pelaku kekerasan seksual selain mendapat hukuman pidana juga mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat.