Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Pertahana vs Kotak Kosong, Ngawi Belum Ramah Demokrasi?
15 Oktober 2024 12:40 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Akmal Hamas Firdaus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ngawi, sebuah kabupaten di Jawa Timur, memiliki sejarah politik yang panjang dan menarik, khususnya dalam konteks pemilihan kepala daerah (Pilkada). Jika kita mengkaji lebih mendalam, ada banyak faktor yang menjelaskan bagaimana dinamika politik di Ngawi terbentuk, termasuk munculnya fenomena "kotak kosong" dalam Pilkada. Untuk memahami fenomena ini secara lebih baik, kita bisa melihatnya dalam kerangka teori demokrasi.
ADVERTISEMENT
Demokrasi dan Pelaksanaan Pilkada
Dalam demokrasi, partisipasi warga negara dalam pemilihan pemimpin merupakan prinsip dasar. Menurut Robert Dahl, salah satu teori demokrasi yang terkenal, demokrasi yang sehat ditandai oleh adanya kompetisi politik yang terbuka dan partisipasi aktif masyarakat. Pilkada di tingkat lokal merupakan salah satu mekanisme demokrasi yang penting karena memungkinkan masyarakat untuk memilih pemimpin mereka secara langsung.
Pada masa jabatan pertama Bupati Kanang dengan Wakil Bupati Ony pada tahun 2010, suasana demokrasi di Ngawi sangat kompetitif. Pada saat itu, terdapat 5 calon pesaing, yang memberikan variasi pilihan bagi masyarakat. Kondisi ini mencerminkan kompetisi yang sesuai dengan prinsip demokrasi yang diusung oleh Dahl, di mana banyaknya calon menciptakan persaingan yang sehat.
ADVERTISEMENT
Namun, situasi berubah pada periode selanjutnya ketika jumlah calon semakin sedikit, dan muncul fenomena "calon tunggal" dan "kotak kosong." Kondisi ini memunculkan pertanyaan tentang sejauh mana demokrasi di Ngawi masih memenuhi standar kompetisi yang ideal.
Fenomena Calon Tunggal dalam Teori Demokrasi
Fenomena "kotak kosong" dalam Pilkada di Ngawi memicu diskusi terkait kualitas demokrasi di daerah tersebut. Menurut teori demokrasi, penting untuk memiliki lebih dari satu calon dalam setiap pemilihan guna memberikan alternatif pilihan bagi masyarakat. Giovanni Sartori, seorang ahli dalam studi sistem partai, menyatakan bahwa pluralisme politik dan adanya pilihan kompetitif merupakan elemen penting dari demokrasi yang sehat.
Pada periode kedua pemerintahan Kanang-Oni, terjadi perubahan signifikan dengan munculnya calon independen. Namun, meskipun ada calon independen, pasangan Kanang-Oni tetap memenangkan pemilihan. Fenomena ini terus berlanjut hingga periode pemerintahan Oni-Antok, di mana hanya ada satu pasangan calon yang maju, sehingga masyarakat dihadapkan pada pilihan yang sangat terbatas, yakni kotak kosong. Dari perspektif demokrasi normatif, situasi ini bisa dilihat sebagai penurunan kualitas demokrasi, karena berkurangnya tingkat persaingan.
ADVERTISEMENT
Salah satu alasan terjadinya calon tunggal dan kotak kosong ini adalah adanya koordinasi yang efektif di antara partai-partai politik di Ngawi. Partai-partai politik memilih untuk mendukung pasangan petahana daripada mengajukan calon baru. Meskipun situasi ini menciptakan stabilitas politik, hal tersebut juga mengurangi dinamika demokrasi kompetitif yang diharapkan.
Pengaruh Dinamika Nasional pada Demokrasi Lokal
Dinamika politik di tingkat nasional juga memiliki dampak pada demokrasi di Ngawi. Setelah Pemilu Presiden (Pilpres) dan Pemilu Legislatif (Pileg), terjadi kelelahan politik yang dirasakan oleh masyarakat maupun partai-partai politik. Akibatnya, dalam menentukan calon bupati, partai politik tidak lagi sepenuhnya mengacu pada aspirasi masyarakat atau survei-survei yang sebelumnya sering digunakan. Dalam demokrasi yang ideal, keputusan politik harus didasarkan pada keinginan rakyat, namun dalam konteks ini, proses politik lebih dipengaruhi oleh kepentingan pragmatis untuk menjaga stabilitas.
ADVERTISEMENT
Genealogi Politik dan Mentalitas Masyarakat Ngawi
Untuk memahami lebih dalam fenomena kotak kosong ini, perlu menengok kembali sejarah panjang masyarakat Ngawi yang turut memengaruhi karakter politik mereka. Masyarakat Ngawi mewarisi "mentalitas inlander," yaitu sikap permisif yang terbentuk selama masa penjajahan kolonial. Sikap ini tercermin dalam kecenderungan masyarakat untuk lebih memilih stabilitas dan kenyamanan daripada perubahan politik yang besar.
Sejarah ini dapat dilacak kembali pada saat Beteng Pendem didirikan dan mulai beroperasi di Ngawi pada tahun 1845. Benteng ini tidak hanya menjadi pusat militer, tetapi juga pusat pengaturan ekonomi kolonial, seperti kebijakan tanam paksa dan eksploitasi sumber daya. Tekanan dari masa penjajahan ini menciptakan masyarakat yang cenderung menerima keadaan tanpa perlawanan yang berarti.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks politik modern, mentalitas permisif ini mencerminkan mengapa masyarakat Ngawi lebih memilih stabilitas politik dibandingkan perubahan yang lebih besar. Mereka mungkin melihat keberlanjutan pasangan petahana sebagai cara terbaik untuk menjaga stabilitas daerah, meskipun ini juga mengurangi dinamika demokrasi yang lebih sehat dan kompetitif.
Stabilitas Politik dalam Teori Demokrasi
Dalam teori demokrasi, terdapat perdebatan tentang hubungan antara stabilitas politik dan partisipasi politik. Beberapa ahli, seperti Samuel Huntington, berpendapat bahwa stabilitas politik merupakan komponen penting untuk menjaga kelangsungan sistem demokrasi. Namun, stabilitas yang terlalu berlebihan tanpa adanya kompetisi politik dapat memicu apati politik, di mana masyarakat kurang terlibat dalam proses demokrasi. Hal ini mungkin terlihat di Ngawi, di mana stabilitas politik diperoleh dengan mengorbankan tingkat partisipasi politik yang lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Perjalanan politik di Ngawi menggambarkan adanya interaksi antara stabilitas dan partisipasi politik dalam sebuah demokrasi. Meskipun stabilitas politik dan koordinasi partai-partai berhasil menciptakan situasi yang terkendali, fenomena calon tunggal dan kotak kosong menunjukkan adanya tantangan dalam menjaga kualitas demokrasi yang ideal. Lebih jauh lagi, sejarah dan mentalitas masyarakat Ngawi yang permisif turut berperan dalam membentuk karakter politik daerah yang lebih menerima status quo.
Dalam kerangka teori demokrasi, situasi ini membuka diskusi tentang bagaimana menyeimbangkan stabilitas politik dengan kebutuhan untuk menjaga partisipasi dan kompetisi politik yang sehat. Untuk menjaga demokrasi di Ngawi tetap berkembang karena Demokrasi itu hubungan antara manusia dan manusia bukan manusia dengan benda mati, diperlukan upaya membuka ruang bagi lebih banyak pilihan politik dan mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses Pilkada.
ADVERTISEMENT