Melihat Kasus Ferdy Sambo, Ini Hukuman Mati dan Regulasi Menurut KUHP Nasional

Akmal Maulana
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Konten dari Pengguna
25 April 2023 7:38 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Akmal Maulana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Terdakwa kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yousa Hutabarat atau Brigadir J, Ferdy Sambo (kedua kanan) berjalan menuju ruang sidang di Pengadian Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (17/1/2023). Foto: ANTARA FOTO/Fauzan
zoom-in-whitePerbesar
Terdakwa kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yousa Hutabarat atau Brigadir J, Ferdy Sambo (kedua kanan) berjalan menuju ruang sidang di Pengadian Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (17/1/2023). Foto: ANTARA FOTO/Fauzan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ferdy Sambo divonis bersalah atas pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J dengan vonis mati yang diberikan oleh majelis hakim pada Minggu (13/02/2023). Vonis ini disambut baik oleh masyarakat dan berharap keadilan bisa ditegakkan atas kematian Brigadir J.
ADVERTISEMENT
Namun, pada saat yang bersamaan, masyarakat juga dikejutkan dengan kemungkinan hukuman mati yang dijatuhkan kepada Ferdy Sambo akan ditunda selama 10 tahun. Reaksi ini disebabkan oleh hadirnya Pasal 100 Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional).
Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah pengesahan KUHP Nasional ini dibuat demi menyelamatkan para terpidana mati?
Kasus Ferdy Sambo adalah satu dari sekian banyak kasus pembunuhan yang terjadi di Indonesia. Hal yang membuat kasus ini menjadi perbincangan masyarakat adalah tentang pelaku dan korban dari kasus pembunuhan ini.
Ilustrasi Polisi. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Pelaku pembunuhan ini merupakan seorang polisi yang seharusnya menjadi pelindung dan penjaga keamanan masyarakat, tetapi malah memerintahkan bawahannya untuk membunuh polisi lainnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, oknum polisi yang memerintahkan tindakan tersebut adalah salah seorang perwira penting di Indonesia. Masyarakat yang seharusnya merasa aman pun menjadi takut dan mulai bertanya-tanya, apakah kita masih bisa mempercayai “polisi”?
Hal lain yang membuat kasus ini viral adalah ketika hakim telah mengeluarkan putusan kepada Ferdy Sambo berupa Hukuman Mati. Segera setelah hakim mengeluarkan putusannya, Pasal 100 Ayat (1) KUHP Nasional menjadi topik perbincangan hangat di dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan Pasal 100 Ayat (1) mengatur tentang regulasi baru dalam pelaksanaan Hukuman Mati. Pasal 100 Ayat (1) ini berbunyi:
“(1) Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan:
a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau
ADVERTISEMENT
b. peran terdakwa dalam Tindak Pidana.”
Jika dibaca secara sekilas, terdapat frasa yang dinilai janggal, yakni frasa “masa percobaan”. Setelah semua upaya dilakukan untuk menangkap dan mengadili pelaku, serta mengingat betapa kejamnya kejahatan yang dilakukan sehingga dijatuhkan hukuman mati, adanya “masa percobaan” memang terasa tidak diperlukan.
Ilustrasi palu sidang diketuk tanda putusan hakim dijatuhkan. Foto: Shutterstock
Tidak seharusnya pelaku yang sudah membuat kejahatan sekejam ini, yang pada kasus ini adalah merebut nyawa orang lain dengan sengaja, mendapatkan toleransi dan mendapatkan kesempatan kedua untuk hidup.
Selanjutnya, perlu kita ketahui ketika kita mendefinisikan suatu pasal dalam undang-undang, kita tidak boleh hanya terpaku pada salah satu ayatnya. Pada Pasal 100 KUHP Nasional memiliki total 6 ayat. Ketika membaca isi dari pasal ini secara ayat demi ayat, dikhawatirkan akan terjadi kesalahan pengertian dari pembaca.
ADVERTISEMENT
Hal ini dikarenakan keseluruhan ayat pada suatu pasal adalah bagian-bagian yang saling terhubung satu sama lain. Agar memudahkan kita dalam memahami Pasal 100, maka seharusnya kita memahami isi keseluruhan dari pasal-pasalnya.
Lebih lanjut, mengenai Undang-Undang No. 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru akan diterapkan pada 2 Januari 2026, sesuai dengan Pasal 624 KUHP Nasional yang berbunyi “Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.”.
Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
Sehingga berdasarkan fakta tersebut, kasus Ferdy Sambo ini baru bisa menggunakan Pasal 100 hanya jika telah melewati waktu berlakunya KUHP Nasional. Hal ini juga didasarkan oleh sebuah asas dalam hukum pidana yakni Asas “Lex Posteriori derogat Legi Priori” yang berarti bahwa peraturan baru akan mengesampingkan peraturan lama.
ADVERTISEMENT
Serta penerapan langsung dari Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi “Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya”.
Dan Pasal 3 ayat (1) dari KUHP Nasional sendiri, yang berbunyi “Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru, kecuali ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama menguntungkan bagi pelaku dan pembantu Tindak Pidana".
Berdasarkan pemaparan di atas, ada banyak hal penting tetapi tidak pernah dituliskan oleh media. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya “Informasi” sebagai sebuah senjata sekaligus kemudi untuk mengatur arah dan konsep berpikir masyarakat. Masyarakat seakan menjadi “hewan ternak” yang kebingungan yang mengikuti satu sama lain dan selayaknya kumpulan semut yang bergerak berputar membentuk ant mil.
Ilustrasi wartawan. Foto: Shutter Stock
Ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mengantisipasi hal-hal tersebut. Mulai dari langkah preventif seperti berupaya menambah wawasan yang luas serta berpikir terbuka, atau upaya represif seperti mengecek kredibilitas dan keaslian berita yang ditampilkan media.
ADVERTISEMENT
Beberapa informasi yang disampaikan oleh media memang asli, tetapi terkadang masih rumpang. Maka, di situlah tugas kita untuk mengisi kekosongan informasi tersebut.
Selayaknya yang pernah dikatakan George Bernard Shaw,