Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Cerita Sangkuriang Aneh? Mencermati Legenda Tangkuban Perahu
27 Desember 2024 14:57 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Akmal Rio Ferdian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika mendengar nama Gunung Tangkuban Perahu, apa yang pertama kali terlintas di benak Anda? Mungkin sebagian dari kita langsung terbayang kisah legendaris Sangkuriang dan Dayang Sumbi, sebuah cerita rakyat yang tak hanya kaya akan moral, tapi juga penuh simbol dan makna-makna tersembunyinya loh. Namun, bagaimana jika kita mencoba membedah kisah ini dengan pendekatan semiotika Roland Barthes dan penekanan unsur pragmatis konteks budaya dan sosial konsep semiotika Benny H. Hoed? kosongkan pikiran dan kencangkan sabuk pengaman anda, karena perspektif ini akan membuka pintu menuju pemahaman yang lebih dalam tentang salah satu legenda budaya Nusantara.
ADVERTISEMENT
Pada tingkat denotasi, cerita "Tangkuban Perahu" mengisahkan konflik antara Sangkuriang dan Dayang Sumbi dalam hubungan keluarga yang tidak lazim. Narasi dimulai ketika Sangkuriang, seorang pemuda yang keras kepala, mengusir Tumang, anjing peliharaan yang sebenarnya adalah ayah biologisnya, karena dianggap tidak berguna. Tindakan ini memicu kemarahan Dayang Sumbi yang melukai kepala Sangkuriang, sehingga ia memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah.
Bertahun-tahun kemudian, Sangkuriang kembali ke kampung halamannya dan jatuh cinta pada Dayang Sumbi tanpa mengetahui bahwa ia adalah ibunya sendiri. Ketika identitas mereka terungkap, Dayang Sumbi menolak pernikahan itu dengan memberikan tugas mustahil kepada Sangkuriang, yaitu membendung Sungai Citarum dan membuat perahu besar sebelum fajar.
Dengan bantuan para jin, Sangkuriang hampir menyelesaikan tugasnya, tetapi Dayang Sumbi menggagalkannya dengan trik kain sutra merah yang menyerupai cahaya fajar. Marah atas kegagalannya, Sangkuriang menendang perahu tersebut hingga terbalik, yang kemudian menjadi Gunung Tangkuban Perahu. Denotasi di sini memberikan kerangka cerita. Namun, bagi Barthes, ini baru permulaan. Makna tersembunyi (konotasi) ada di balik simbol-simbol dan mitos yang membalut cerita ini.
ADVERTISEMENT
Pada tingkat konotasi simbol-simbol dalam cerita jika kita menyelaminya lebih dalam bahwa setiap elemen dalam kisah ini memiliki makna simbolis
Kelahiran Dayang Sumbi. Dikatakan bahwa Dayang Sumbi lahir dari seekor babi yang meminum air kencing raja, yang bisa diinterpretasikan sebagai kisah tentang seorang wanita yang menjadi korban pemaksaan oleh penguasa pada masa itu. Bisa juga sebagai gambaran seorang wanita rakyat biasa yang tergoda untuk menjadi selir raja, yang akhirnya melahirkan Dayang Sumbi.
Tumang digambarkan sebagai anjing peliharaan milik Dayang Sumbi. Ada kemungkinan bahwa Tumang sebenarnya adalah seorang pemuda biasa yang bekerja sebagai pengawal bagi Dayang Sumbi. Kemudian, Tumang mengikuti sayembara yang diadakan oleh Dayang Sumbi dan berhasil menang, serta menikahinya. Namun, pernikahan mereka tidak mendapat restu karena latar belakang keluarga Tumang yang berasal dari golongan rendah. Meskipun begitu, mereka tetap melanjutkan hubungan tersebut dan akhirnya memiliki seorang anak bernama Sangkuriang.
ADVERTISEMENT
Sangkuriang yang membunuh Tumang. Setelah menikah dengan tumang, Dayang sumbi diasingkan keluarganya. ia menetap bersama Tumang dan Sangkuriang, agar sangkuriang tidak malu kemungkinan Sumbi tidak memberi tahu bahwa Tumang itu adalah bapak kandungnya tetapi hanya di beri tahu sebagai pengawalnya saja. Suatu ketika, Sangkuriang dan Tumang ditugaskan untuk pergi berburu hati rusa. Karena gagal mendapatkan hati rusa, Sangkuriang mengorbankan tumang untuk diambil hatinya sebagai hasil buruannya. Hal dapat diinterpretasikan sebagai sebuah kesewenangan bangsawan terhadap pelayannya, yang menghalalkan dan mengorbankan rakyat jelata untuk kejayaan dan kesenangan para bangsawan. Tindakan Sangkuriang yang mengorbankan Tumang mencerminkan sikap tanpa belas kasihan terhadap orang-orang yang dianggap berada di bawahnya, yang sering kali diperlakukan sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi atau kesuksesan kelompok elit.
ADVERTISEMENT
Dalam upayanya menggagalkan Sangkuriang, Dayang Sumbi menggunakan kain sutra merah untuk menciptakan ilusi fajar. Kain merah ini bukan hanya melambangkan kecerdikan, tetapi juga manipulasi, karena warna merah sering diasosiasikan dengan bahaya, peringatan, atau perubahan besar. Dalam legenda ini, kain tersebut menjadi simbol dari kontrol sosial yang digunakan Dayang Sumbi untuk mempengaruhi hasil dari peristiwa yang terjadi.
Sementara itu, transformasi perahu menjadi gunung menggambarkan bagaimana alam dalam cerita rakyat sering kali berperan sebagai saksi sekaligus akibat dari tindakan manusia. Gunung Tangkuban Perahu bukan hanya sekadar lanskap, tetapi juga sebuah pengingat abadi tentang hubungan yang rusak dan pelanggaran norma sosial, yang tercermin dalam perubahan alam sebagai akibat dari perbuatan manusia.
Menurut Barthes, mitos berfungsi sebagai cara untuk menyematkan ideologi budaya pada suatu cerita, yang bertujuan untuk memperkuat norma dan nilai-nilai tertentu. Dalam cerita Tangkuban Perahu, mitos yang paling menonjol mencakup beberapa aspek penting. Pertama, ada mitos tentang keluarga dan norma sosial, yang menekankan tabu dalam hubungan keluarga, khususnya larangan inses. Pesan moral ini diperkuat dengan konsekuensi bagi siapa saja yang melanggar norma tersebut.
ADVERTISEMENT
Kedua, peran perempuan sebagai penjaga moralitas juga tergambar jelas dalam karakter Dayang Sumbi, yang digambarkan sebagai sosok yang harus melindungi kehormatan keluarga dan menjaga nilai-nilai tradisional. Terakhir, alam dalam cerita ini berfungsi sebagai saksi bisu, yang mana Gunung Tangkuban Perahu menjadi simbol konkret dari pelanggaran norma dan akibat yang ditimbulkannya.
Legenda Tangkuban Perahu, meskipun terlihat memiliki premis yang tidak masuk akal. Sebenarnya menyimpan makna lain. Cerita ini bisa diinterpretasikan sebagai kritik terhadap penguasa pada masa itu. Karena keterbatasan kebebasan berpendapat, para seniman zaman dahulu memilih menyampaikan protes mereka secara tersirat melalui karya seni dan cerita rakyat.
Kepercayaan masyarakat bahwa tokoh-tokoh dalam legenda memiliki kekuatan seperti dewa juga mencerminkan pandangan masyarakat terhadap dunia di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Gunung Tangkuban Perahu yang dianggap menyerupai perahu terbalik jika dilihat dari kejauhan memperkuat imajinasi tersebut. Meski secara visual bentuk gunung tersebut tidak sepenuhnya menyerupai perahu, narasi fiksi ini tetap hidup dalam kepercayaan kolektif masyarakat.
Pada akhirnya, meskipun legenda ini merupakan cerita fiksi, ia tetap memiliki nilai penting sebagai bagian dari warisan budaya dan alat komunikasi untuk menyampaikan pesan moral dan sosial pada masyarakat.