Fenomena Bullying Jadi Budaya Senioritas?

Akmala Ni'matut
Hii saya seorang mahasiswa di salah satu institusi kampus di solo yaitu UIN Raden Mas said surakarta
Konten dari Pengguna
18 Maret 2024 15:55 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Akmala Ni'matut tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Picture edit by canva
zoom-in-whitePerbesar
Picture edit by canva
ADVERTISEMENT
Indonesia sedang digemparkan dengan maraknya kasus perundungan atau bullying yang terjadi di lingkungan pendidikan. Tak jarang, kasus perundungan tersebut bahkan dapat merenggut nyawa manusia. Seperti pada kasus perundungan yang dialami oleh seorang siswa Binus School Serpong korbannya hingga sampai dilarikan ke rumah sakit karena menjadi korban bullying seniornya. Selain itu, juga ada kasus penganiayaan di Pondok Pesantren Al Hanifiyah Kediri yang pelakunya adalah santri senior. Kekerasan yang terjadi di ponpes tersebut bahkan menyebabkan seorang santri meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) merilis catatan akhir tahun pendidikan 2023 yang menunjukkan bahwa angka kasus bullying di Indonesia justru meningkat menjadi 30 kasus. Ke-30 kasus tersebut merupakan kasus yang sudah dilaporkan dan diproses oleh pihak berwenang. Jumlah ini meningkat dari tahun lalu, dimana FSGI mencatat 21 kasus bullying.
Fenomena bullying yang kini kerap terjadi telah berubah menjadi budaya senioritas yang dimana dapat menimbulkan sebuah masalah serius hingga dapat mempengaruhi banyak lingkungan sosial, terutama di kalangan remaja. Perlu kalian ketahui kenapa senioritas itu bisa disebut sebagai budaya? Karena Budaya senioritas ini menciptakan hierarki yang tidak sehat di antara individu, di mana mereka yang dianggap "lebih senior" atau memiliki kekuatan lebih cenderung menindas mereka yang dianggap "lebih junior" atau lebih lemah. Fenomena ini bisa terjadi di berbagai tempat, mulai dari sekolah hingga lingkungan kerja, dan bahkan dalam komunitas online.
ADVERTISEMENT
Penting untuk diakui bahwa budaya senioritas yang mendorong bullying adalah hasil dari berbagai faktor, termasuk norma sosial yang salah, kurangnya pengawasan, dan kebutuhan individu untuk memperkuat identitas mereka. Bagi para pelaku, tindakan bullying sering kali menjadi cara untuk mendapatkan kekuasaan atau perhatian dari rekan-rekan mereka, tanpa memikirkan dampaknya terhadap korban. Hal ini menjadi catatan penting bagi setiap institusi dan masyarakat untuk mengubah paradigma dan mempromosikan nilai-nilai kebaikan serta keterbukaan untuk mencegah dan mengatasi masalah tersebut. Di tingkat yang lebih luas, media sosial dan platform online juga perlu berperan aktif dalam membatasi penyebaran konten yang merugikan dan mengadopsi kebijakan yang menekankan pada penghormatan dan keselamatan pengguna mereka.
Mari kita mengubah budaya senioritas yang merugikan itu menjadi budaya inklusif. Mengatasi budaya senioritas dan bullying memerlukan pendekatan holistik yang mencakup pendidikan tentang toleransi, empati, dan rasa hormat terhadap perbedaan. Selain itu, penting juga untuk memiliki kebijakan yang jelas dan penegakan hukum yang tegas terhadap perilaku intimidasi di semua tingkatan, baik di sekolah maupun di tempat kerja. Hanya dengan upaya bersama dan komitmen yang kuat, kita dapat mengubah budaya yang merugikan ini menjadi lingkungan yang lebih positif dan inklusif bagi semua orang.
ADVERTISEMENT