Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Presidential Threshold dalam Pemilu Serentak di Indonesia: Masihkah Kuat Alasan?
14 Desember 2022 14:56 WIB
Tulisan dari Aksara Syahreza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menjelang pemilihan umum atau pemilu 2024, persaingan antar partai politik mulai bergulir. Koalisi atau oposisi, siapa yang akan mendapat kursi, serta bagaimana memulai aksi adalah beberapa dari sekian banyaknya ‘PR’ partai politik sekarang ini. Tepat pada hari ini, Rabu, 14 Desember 2022 adalah tepat empat belas bulan sebelum pemilu 2024 dilaksanakan, yaitu pada 14 Februari 2024 mendatang. Apabila mengacu pada undang-undang nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, pada pasal 178 ayat (2) dinyatakan bahwa tahapan pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu dilakukan empat belas bulan sebelum hari pemungutan suara. Hal ini berarti bahwa partai politik peserta pemilu ditetapkan pada hari ini dan menjadi langkah selanjutnya bagi mereka untuk menentukan siapa calon presiden dan wakil presiden yang akan diusung.
ADVERTISEMENT
Dalam mencalonkan presiden dan wakil presiden, terdapat aturan yang disebut dengan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (yang untuk selanjutnya disebut PT). Sederhananya, PT mengatur tentang syarat minimum bagi masing-masing partai politik untuk mengusung satu calon Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan persentase perolehan kursi di DPR atau suara sah nasional. Berapa persentase ambang batas pencalonan presiden serta bagaimana penerapannya dalam pemilu di Indonesia? Dan apakah aturan ini masih relevan jika diterapkan dalam pemilu serentak? Pembahasan tulisan ini akan difokuskan terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Pro dan Kontra Penerapan Sistem Presidential Threshold
Gagasan utama penerapan sistem PT adalah untuk memperkuat sistem presidensial, di mana presiden dan wakil presiden yang terpilih mendapatkan dukungan yang kuat dari parlemen. Dalam sistem presidensial, presiden dan wakil presiden yang telah dipilih secara langsung oleh rakyat akan memiliki kedudukan yang kuat secara politik. Hal itu membuat presiden dan wakil presiden tidak dapat diberhentikan secara mudah karena alasan politik. Selain itu, penerapan PT adalah demi efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Jika sistem itu tidak diterapkan, bisa saja presiden dan wakil presiden yang terpilih diusung oleh partai atau koalisi partai politik yang jumlah kursinya bukan mayoritas di parlemen.
ADVERTISEMENT
Di sisi yang lain, terdapat bantahan terhadap gagasan tersebut. Sejumlah peneliti beranggapan bahwa aturan Presidential Threshold tidak diperlukan. Beberapa di antara alasan-alasannya adalah karena dengan diberlakukannya aturan ini, maka akan meminimalisir pilihan rakyat untuk menentukan pemimpinnya. Berbagai pengalaman dalam pemilu di Indonesia menunjukkan bahwa kecenderungan rakyat untuk memilih pemimpinnya adalah berdasarkan figur atau sosok dari pemimpin tersebut, bukan berdasarkan partai politik yang mengusungnya.
Sejarah Singkat Presidential Threshold di Indonesia
Aturan PT ini telah diterapkan oleh Indonesia sejak tahun 2004 dan terus meningkat hingga menyentuh angka 20% pada tahun 2009. Namun demikian, sebagai perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2003, pasal 222 UU No. 7 Tahun 2007 menjelaskan mengenai angka minimum perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik. Saat ini, pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat diusung oleh partai politik yang memiliki perolehan kursi DPR sebesar 20% atau perolehan suara sah nasional 25% pada penyelenggaraan pemilu sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Telah Beberapa Kali Dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi
Sejumlah pihak telah mengupayakan untuk memohon penghapusan aturan ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah melakukan beberapa kali melakukan pengujian terhadap ketentuan Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur tentang aturan PT, MK selalu memberikan putusan untuk tidak mengabulkan permohonan para pemohon untuk menghapus aturan PT. Hal ini antara lain didasari pada pertimbangan bahwa penerapan PT bukanlah sebagai tarik ulur kepentingan politik untuk mempertahankan kekuasaannya di kursi DPR yang membentuk oligarki, tetapi untuk membentuk sistem Presidensial yang kuat sebagai konsekuensi logis perubahan UUD 1945 yang meniti jalan sistem Presidensial. Selain itu, MK juga memutuskan bahwa peraturan mengenai PT merupakan open legal policy (kebijakan hukum terbuka) yang berarti kewenangan sepenuhnya dimiliki oleh pembentuk undang-undang.
ADVERTISEMENT
Presidential Threshold dalam Pemilu Serentak di Indonesia
Pada pemilu tahun 2019, Indonesia menerapkan sistem pemilu serentak yang menjadikan penyelenggaraan pemilu presiden dan legislatif (pilpres dan pileg) dilaksanakan pada waktu yang bersamaan. Maksud daripada ketentuan tersebut adalah untuk menciptakan independensi hasil pilpres yang tidak bergantung atau didasari pada hasil pileg. Dalam ketentuan UU Pemilu, pada Pasal 222 keberadaan PT tetap dipertahankan pada pemilu 2019. Hal ini karena MK tidak membatalkan ketentuan mengenai ambang batas dalam putusan MK No. 14/PUU-XI/203. MK bersikukuh bahwa PT bertujuan untuk memperkuat kedudukan sistem pemerintahan presidensial yang efektif.
Sejumlah kontroversi semakin bermunculan terkait hal tersebut. Dengan tetap diterapkannya PT pada pemilu serentak, maka acuan suara partai politik didasarkan pada pemilu sebelumnya. Hal ini tidaklah relevan, mengingat pemetaan politik dapat berubah secara dinamis dalam jangka waktu lima tahun. Suatu partai politik yang memperoleh suara tinggi pada suatu pemilu belum tentu dapat mempertahankan perolehan suara tersebut pada pemilu berikutnya. Oleh karena itu, tidak ada jaminan bagi suatu sistem presidensial, atau dalam hal ini presiden dan wakil presiden pada suatu diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kekuatan suara atau mayoritas kursi di DPR.
ADVERTISEMENT
Selain itu, penerapan PT pada pemilu serentak belum memperhatikan sepenuhnya aspek keadilan sebagaimana yang termuat di dalam pasal 222 UU mengenai asas-asas penyelenggaraan pemilu yang di antaranya adalah pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, jujur, dan adil. Ketika berbicara mengenai keadilan, setiap peserta pemilu harus memiliki hak pencalonan yang sama dengan peserta yang lain. Namun demikian, dengan ketentuan ini maka partai politik baru yang tidak berkontestasi pada pemilu sebelumnya tidak memiliki kesempatan untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden. Dengan kata lain, hak bagi partai politik baru tidaklah sama dengan partai-partai lain yang sudah berkontestasi pada pemilu tahun sebelumnya.
Pada akhirnya, penggunaan PT dalam pemilu serentak menuai pro dan kontra. Namun demikian, terlepas dari seberapa kuat argumentasi yang disampaikan baik dari sisi pro maupun kontra, satu hal yang pasti dan harus dilakukan adalah Penyusun RUU dalam hal ini DPR dan Pemerintah meninjau kembali aturan PT apabila pemilu tetap dilaksanakan secara serentak.
ADVERTISEMENT