Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Hari Guru: Panggung Euforia dan Realitas Pahit di Balik Profesi Guru
26 November 2024 16:55 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Mail Ismail tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika tanggal 25 November tiba, semua orang tiba-tiba menjadi "pecinta guru." Media sosial penuh dengan ucapan terima kasih dan penghargaan yang mengalir deras. Sekolah-sekolah menggelar upacara, pidato berisi pujian melambung tinggi, dan beberapa anak memberikan bunga plastik kepada guru mereka. Namun, di balik layar euforia itu, apakah kita benar-benar menghormati profesi guru, atau ini hanya rutinitas tahunan yang menguap begitu saja setelah hari berganti?
ADVERTISEMENT
Mari kita bongkar kenyataan di balik perayaan ini, dimulai dari ironi profesi guru hingga solusi konkret yang seharusnya dilakukan jika kita benar-benar peduli terhadap pendidikan.
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa: Sebutan Manis, Realitas Miris
Di atas panggung Hari Guru, mereka disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Namun, benarkah itu penghormatan? Atau sebenarnya hanya sekadar alibi untuk tidak memberikan hak yang layak kepada mereka?
Mari lihat guru honorer, misalnya. Dengan upah sering kali di bawah UMR, mereka tetap diminta untuk mencetak generasi unggul. Beberapa bahkan menerima gaji yang lebih kecil dari uang saku siswa mereka. Sementara itu, jalan menuju status ASN terasa seperti perjalanan di lorong gelap tanpa ujung. Bagaimana ini bisa terjadi di negara yang katanya menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama?
ADVERTISEMENT
Guru tetap pun tidak sepenuhnya bahagia. Kenaikan pangkat berbelit, tugas administratif menumpuk, dan kebijakan yang berubah-ubah membuat mereka lebih sibuk mengurus dokumen daripada fokus mengajar. Apakah ini profesi mulia, atau sekadar pekerjaan yang tidak dihargai?
Perayaan Seremonial Tanpa Makna
Hari Guru sering kali terasa seperti teater besar tanpa substansi. Setiap tahun, kita mendengar pidato panjang yang berbicara tentang pentingnya peran guru. Namun, pidato itu hanya menjadi formalitas belaka. Setelah itu, tidak ada tindakan nyata untuk mengatasi masalah fundamental yang dialami guru di lapangan.
Kesejahteraan? Janji tinggal janji.
Beban kerja? Semakin berat.
Penghormatan? Hanya sebatas retorika.
Bahkan dalam perayaan Hari Guru, guru sering kali hanya menjadi penonton dari perayaan yang katanya untuk mereka. Di sisi lain, siswa dan orang tua berlomba membuat konten ucapan di media sosial, tetapi lupa memberikan penghargaan nyata kepada mereka yang telah mengabdikan diri. Apakah ini penghormatan, atau sekadar sandiwara?
ADVERTISEMENT
Guru: Simbol Moralitas yang Diperas Tanpa Henti
Guru di Indonesia sering kali diposisikan sebagai simbol moralitas. Mereka diharapkan menjadi teladan sempurna, mendidik tanpa cacat, dan menginspirasi tanpa lelah. Namun, apa yang diberikan kepada mereka? Beban kerja yang tak masuk akal, tuntutan dari orang tua, dan kritik tanpa akhir dari masyarakat.
Parahnya lagi, di era digital dan post-truth, otoritas guru sering kali tergerus oleh opini di media sosial. Seorang guru yang mendisiplinkan siswa bisa langsung dihujat habis-habisan ketika videonya viral. Alih-alih dilindungi, guru malah dihadapkan pada proses hukum. Di mana letak penghormatan itu?
Di Era Influencer, Guru Bisa Tersingkirkan
Kenyataan pahit lainnya adalah bahwa di mata generasi muda, guru tidak lagi menjadi sumber utama pengetahuan. TikTok dan YouTube lebih dipercaya daripada penjelasan di kelas. Bahkan, ada influencer yang berani memberikan "tips belajar" meski tanpa latar belakang pendidikan. Apakah profesi guru sedang digeser oleh konten viral?
ADVERTISEMENT
Lebih ironis lagi, orang tua juga mulai melihat guru sebagai pelayan, bukan pendidik. Ketika anak mereka dihukum, bukannya mencari solusi, mereka malah merekam video untuk konten. Guru yang dulu dihormati, kini diperlakukan seperti karyawan yang bisa dipecat kapan saja.
Solusi atau Sekadar Janji Manis?
Jika Hari Guru ingin benar-benar bermakna, langkah konkret harus diambil, bukan sekadar pidato atau euforia tahunan. Berikut adalah beberapa solusi nyata yang bisa mengubah profesi guru:
1. Kesejahteraan Nyata untuk Guru Honorer:
Cukup sudah eksploitasi tenaga honorer dengan gaji tak manusiawi. Mereka adalah tulang punggung pendidikan di banyak daerah, dan mereka pantas mendapatkan upah layak.

2. Perlindungan Hukum untuk Guru:
Guru membutuhkan regulasi yang melindungi mereka dari kriminalisasi. Tindakan mendidik yang dilakukan dengan niat baik seharusnya tidak berujung pada hukuman.

ADVERTISEMENT
3. Kurangi Beban Administrasi:
Administrasi yang berlebihan hanya membuat guru lelah tanpa hasil nyata. Biarkan mereka fokus mengajar dan menciptakan pengalaman belajar yang bermakna.

4. Akses Pendidikan Lanjutan:
Pendidikan untuk guru seharusnya mudah diakses tanpa biaya mahal atau birokrasi yang rumit. Guru yang terus belajar akan menghasilkan siswa yang lebih baik.

5. Reformasi Standarisasi Profesi:
Standarisasi penting, tetapi harus dilakukan dengan bijak. Jangan sampai kebijakan hanya menjadi alat untuk menggagalkan guru tanpa memberikan pelatihan yang relevan.

Dari Penghormatan Simbolik ke Aksi Nyata
Ucapan terima kasih di Hari Guru memang penting, tetapi itu saja tidak cukup. Jika kita benar-benar peduli, kita harus mulai memperjuangkan hak-hak mereka. Kita harus memastikan bahwa profesi ini dihormati tidak hanya dalam kata-kata, tetapi juga dalam tindakan nyata.
ADVERTISEMENT
Pendidikan adalah fondasi bangsa, dan guru adalah pondasi pendidikan. Jika guru terus diabaikan dan dieksploitasi, kita sedang menghancurkan masa depan bangsa kita sendiri.
Renungan di Hari Guru
Hari Guru bukan sekadar perayaan, tetapi momentum untuk introspeksi. Apakah kita sudah benar-benar menghormati profesi ini? Ataukah kita hanya terjebak dalam rutinitas seremonial tanpa makna?
Mari jadikan Hari Guru sebagai titik awal perubahan nyata, bukan sekadar panggung retorika tahunan. Karena tanpa guru, tidak ada masa depan. Dan tanpa penghormatan sejati, profesi ini akan menjadi sejarah yang perlahan terkubur oleh ketidakadilan.